Sultan Ala'uddin Ri'ayat Syah Al-Kahhar Dalam Kemajuan Aceh (1537-1571)

Ali Mughayat Syah mangkat ditahun 1523 Masehi, digantikan oleh puteranya yang bergelar Sultan Salahuddin.

Perkembangan Aceh masa Sultan ini tidak jelas, "Bustanus-Salatin" mengatakan ia telah memerintah mencapai 17 tahun 11 bulan (menurut hitungan Hijriah), ketika dijatuhkan oleh adiknya dan manggantikannya menjadi Sultan dangan gelar Sultan Ala'uddin Ri'ayat Syah. "Bustanus Salatin" menyebut sebab pemakzulan "tiada tahu memerintahkan kerajaan".

Sultan Ala'uddin Ri'ayat Syah Al-Kahhar Dalam Kemajuan Aceh (1537-1571)

Tentunya banyak telah terjadi yang merugikan kerajaan akibat kelamahan pemerintahan Salahuddin tersebut. Setidak-tidaknya suatu pemerintahan yang dipegang oleh seseorang yang tidak becus barakibat lapangnya kesampatan bagi lawan Portugis untuk berkembang. Seorang tokoh yang mandampingi Salahuddin Raja Bungsu telah memperoleh keleluasan untuk aktif memerintah atas namanya, dengan hasil-hasil nagatif termasuk zalim dan korup. Adik Salahuddin yang ditugaskan oleh ayahnya menjadi Raja di Samudara Pasai, telah tidak dapat mambiarkan bahaya kemorosotan Aceh ditangan abangnya itu, iapun berangkat ka Banda Aceh dan tanpa ayal lalu manyerang Raja Bungsu dan menewaskannya. Abangnya Sultan Salahuddin ditangkap dan dipanjarakan.

Iapun segera memproklamirkan pimpinan kesultanan dan ditabalkan dengan gelar Sultan Ala'uddin Ri'ayat Syah Nama setelah mangkatnya Marhum Al Kahhar, Untuk memudahkan pengenalan disini Seterusnya disebut Sultan Al-Kahhar atau Al-Kahhar.

Semenjak itu terlaksanalah pemerintahan kerajaan yang berpusat dan beribu kota Banda Aceh Darussalam, dengan wilayahnya yang sudah manjadi luas pula. Antara lain tarkesan dari penunjukannya pada puteranya ke-2 menjadi Raja di Pariaman/Sumatera Barat dengan gelar Sultan Moghul. Istana kerajaan dibangun lebih luas dengan kota (benteng) tembok sekelilingnya, berikut didalamnya tampat balairung untuk musyawarah, untuk pertemuan, penerimaan tamu-tamu demikian pula untuk kediaman para keluarga Raja, para pengawal dan sebagainya, Kompleks yang mengelilingi istana dan istana sendiri dikenal dengan nama Dalam, lebih kurang seperti  makna Kraton di Jawa.

 Prioritas utama yang dilancarkan oleh Al-Kahhar adalah:

  1. Peningkatan perdagangan dan jaminan kesalamatannya yang juga merupakan kelanjutan kebijaksanaan Sultan Mughayat Syah.
  2. Sekaligus meneruskan penumpasan imperialis Portugis yang terus-terus mengancam, antara lain ditandai oleh kegiatan-kegiatan Portugis di Selat Malaka dan dilautan Hindia.
Sambil menghadapi rintangan-rintangan hebat Portugis, perdagangan internasional yang telah berkembang lama sejak Ali Mughayat Syah ditingkatkan terus oleh Sultan ini. Ekspor Aceh terutama lada yang juga diangkut oleh saudagar Gujarat dan asing lainnya maupun oleh orang Aceh sendiri, sampai kelaut Merah dapat diteruskan Makin ramailah jadinya pandatang asing kaya dan miskin baik dari luar daerah maupun dari Malabar, Arab dan Mesir. Sebagai lumrahnya terjadi para pandatang 
sedemikian menggabung diri berkampung kegolongan bangsa atau sukunya masing-masing yang sudah lebih dulu datang atau turun temurun.

Sesuai dengan perkembangan yang diramaikan oleh para pendatang asing dan yang terpupuk menjadi satu masyarakat penduduk dibawah pemerintahan kerajaan yang tersusun, maka jadilah terlihat seperti didapati golongan atau kaum, yang dizaman Sultan Ala'uddin itupun sudah dikenal terdiri dari empat kaum, Yaitu:
  1. Golongan rakyat asli yang dibari nama kaum Lhee Reutoh atau kaum Tiga Ratus.
  2. Kaum Imum Peut, yang terdiri dari keturunan pendatang Hindu.
  3. Kaum Tu'Batee.
  4. Kaum Ja Sandang.
Asal muasal sabutan Lhee Reutoh atau "Tiga Ratus", ialah demikian: Pada suatu katika terjadi sengketa hebat antara golongan rakyat asli sekitar tiga ratus massa, dengan golongan pendatang Hindu Sekitar 400, yang tidak dapat diatasi.
 
Persengketaan hampir saja disusul dangan bentrok bersenjata antara kedua golongan tersebut yang tadinya barpangkal pada sebab soal perzinahan, Untung juga diantara mereka sipenengah diperolah sesuatu jalan keluar. Kebijaksanaan yang dirumuskan berhasil dipenuhi oleh mereka yang bersalah. Dengan demikian kesalahan mereka dimaafkan, dan kedua kaum tersebut mengikat silaturrahimnya dengan akrab. sejak itu rakyat asli diperkanalkan dengan golongan kaum Lee Reutoh atau Tiga Ratus dan golongan Peut Reutoh atau Empat Ratus, diperkenalkan dangan Imum Peut.

Disebut Imum Peuet karena samula mereka menempati empat mukim. Yaitu Tanah Abe, Lam Loot, Montasik dan Lam Nga. Setiap mukim dikepalai Imeumnya masing-masing, semuanya menjadi empat imam, tegasnya Imum Peut.
 
Tentang golongan ke 3 yang diperkenalkan dengan Tu'Batee, yang terdiri dari pendatang luar Aceh, diketahui asal muasal namanya sebagai berikut.

Sultan Al-Kahhar merencanakan pembangunan sebuah istana baru, Untuk ini dikeluarkannya perintah supaya golongan pendatang luar daerah ini bergotong royong mencari dan membawa batu batu untuk pembangunan istana tersebut. Begitu barsemangatnya mareka mengumpul batu-batu yang dimaksud, sehingga tepat pada suatu hari tiba-tiba saja Sultan memberi tahu supaya pengambilan batu dihentikan sabab batu sudah cukup (tu'batee), Sajak itu golongan ini dinamakan kaum Tu'Batee.
 
Mengenai Ja Sandang, ada disebut-sehut bahwa tokoh ini asalnya kapala dari suku pribumi Mantee yang mandiami Mukim Lam Panah.

Ceritanya begini pula. Suatu katika Al-Kahhar berangkat ke Pidie untuk suatu pengamanan. Ketika melewati Lampanah Mukim XXII ia mangalami kehausan, tidak seorang yang ditemui berhasil mamparoleh air untuk menghilangkan dahaganya. Tiba-tiba ia bertemu dengan seorang manyandang nira, lalu manawarkan minuman tersebut kepada Sultan, yang menyambut dangan rasa legah terutama setalah selesai minum.

Sultan mengucapkan terima kasih sambil mengundangnya datang ka Banda Acah jika pengamanan sudah selesai. Orang itu manjawab, bagaimana mungkin para patugas akan mengenalinya sebagai orang yang pernah menghilangkan dahaga Sultan untuk memperkenankannya masuk ke Dalam. 

Sultan lalu memberi petunjuk, yaitu supaya orang itu menyandang bambu niranya dengan memberi tanda sehelai daun kelapa dikepalanya.
 
Demikianlah setiap kali Ja Sandang pergi kekota ia berkesempatan masuk istana, dan dengan demikian semakin dikenal oleh Sultan bahwa ia seorang yang baik.
 
Menurut keterangan yang diperolah Dr. Snouck Hurgronje turunan orang itu telah diangkat menjadi kadi dengan gelar Maliku'l-Adil, demikian tradisi itu diteruskan. Tentang 4 kaum ini terdapat pantun rakyat yang berbunyi  Sebagai berikut:

Ureng Lhee Reutoh aneuk derang. 
Ureng Ja Sandang jira haleba, 
Ureng Tu'Batee na bacut, 
Ureng Imem Peuet yang gok gok donya 

Artinya menurut T.H.Zainuddin sebagai berikut:
"Kaum Tiga Ratus sabagai biji drang, sebangsa kacang tanah yang tumbuh setelah musim memotong padi, segala jerami mati lalu tumbuh sendiri pohon drang dengan subur."
 
Kaum Ja Sandang sehagai Jeura haleba (biji kelabat) warna kuning. Biji ini digunakan untuk campuran menghilangkan bau anyir. Biji tersebut besar sedikit dari biji drang. Kaum To'Batee bacut-bacut, yakni hanya sedikit.
 
Kaum Imeum Peut, yang gok-gok donya. Maksudnya berpengaruh besar dan berperanan panting dalam pamerintahan. Dr. Snocuk Hurgronje ada juga membicarakan kaum ini secara luas. Ia mengeja sebagai berikut:

Thoekee Lhee Reutoh 
ba aneuk drang,

Thoekee Dja Thandang 
djrahaleuba,

Thoekee Dja Batee 
na batjoet batjoet;

Thoekee Imum peuet 
njang go'-go' donja.

Seperti diungkap dibagian lalu golongan Melayu Tua pindah kepedalaman katika Melayu Muda tampil dan menempati pelahuhan dan pantai-pantai. Golongan Melayu Muda ini aktif dan lebih menonjol dalam perkembangan sejarahnya.
 
Diketika pendatang asing dari India, Arab dan Eropa masuk pendatang-pendatang tersebut memperhitungkan penduduk setempat sabagai pribumi asli. Seperti dikatakan juga orang Gayo dan Alas digolangkan pula sebagai Melayu Tua, sama sabagai orang Batak yang tinggal disekitar Toba dan ditanah Karo dilihat  dari berbagai keseragamannya adat istiadat dan cara-cara  hidup. Tentu melebihi dari kemampuan sipenulis untuk berbicara segi antropologi tentang jenis golongan-golongan dimaksud. Namun bagaimanapun, penulis lebih cenderung untuk mengatakan bahwa yang banyak disebut-sebut orang adanya rakyat asli katurunan Batak di Aceh Besar, yang kemudian diperkenalkan pula sebagai kaum Lhee Reutoh itu adalah golngan Melayu Tua itu Sendiri yang tiba di Aceh dari tanah luhurnya (tanah besar Asia Tenggara) Sekitar 2000/3000 tahun dahulu dan kemudian pindah kepedalaman, Sebagai juga golongan Melayu Tua yang mendiami pantai Sumatara Utara dan daerah lainnya pindah kepedalaman diketika pendatang Melayu Muda memasuki pantainya.

Kemungkinan lain jika yang penulis maksud dianggap sebagai mustahil tapi yang tidak penulis dukung ialah kedatangan rakyat suku Batak dari Sumatera Timur barsama Raja mareka yang sengaja pergi ka Aceh baik dalam kemungkinan sebagai orang-orang yang dikalahkan dalam perang maupun disebabkan kemungkinan berhasrat untuk melawan Sultan Aceh. Tentang yang disebut balakangan ini akan diungkap seperlunya dihalaman lain, yaitu dilihat dari sumber Portugis ketika dikatakannya bahwa Sultan Al-Kahhar mengadakan invasi ke tanah Batak dan Haru dalam rangka pangembangan Islam.
 
Hasil utama yang membangkitkan minat orang luar adalah produksi pertanian, lada, kapur barus, kemanyan, tidak ketinggalan emas, yang semuanya amat tinggi harganya dipasaran Eropa. Sebelum orang Portugis, pedagang-padagang dari India, Parsi dan Arab telah datang ke Malaka, karena negeri itu merupakan tempat pegumpulan semua barang kebutuhan yang datang dari kawasan Nusantara, Malaka yang tumbuh diawal abad ke-15 telah berhasil menggantikan tempat Pasai yang pernah memegang peranannya sejak menjelang akhir abad ke-13. Ketika Portugis merampas Malaka ditahun 1511, para saudagar bangsa Asia yang  kehilangan pasaran bebas memindahkan pusat pembeliannya kecuali ke Jawa, juga banyak yang memilih tempat terdekat yaitu ke-Aceh. Dengan sendirinya minat pertanaman lada menjadi membesar, dan demi perkembangan ekonominya itulah Sultan Al-Kahhar berjuang mengimbangi dan sedapat mungkin memukul peranan Portugis yang sudah manguasai Malaka dan yang sedang berusaha mencoba memonopoli lintasan laut yang penting Selat  Malaka. 

Memperhatikan banyaknya kekayaan bumi yang menumpuk dan merupakan harta karun yang tak habis-habisnya dikepulauan Nusantara, maka nafsu menguasai semua itu bagi Portugis kian hari kian mambesar secara tidak terkandalikan lagi. Keuntungan-keuntungan yang jatuh ketangan orang lain telah tidak dapat didiamkan begitu saja oleh Portugis walaupun ia sandiri sudah berhasil mengorek keuntungan berlipat-lipat ganda lebihnya dari sebelum kesempatannya melayari Selat  Malaka.
 
Professor C.R. Boxer mengungkap apa yang pernah dibentangkan oleh Jorge de Lemos, direktur parbendaharaan Portugis di Goa disekitar tahun 1590-an, mengenai hasil yang diperolah Sultan Aceh dari perdagangan luar negerinya dalam satahun masa melintasi Laut Merah.
 
Katanya mencapai tiga sampai empat juta darkat emas, sebagai hasil ekspor lada dan Iain-lain sebesar 3000 sampai 40000 kwintal. De Lemos berkata:
 
"Sungguh-sungguh amat menakjubkan kakayaan Sumatera itu, sehingga jika apa yang diekspor olah Aceh berhasil direbut pastilah "mahkota" kerajaan Portugis/Spanyol akan dapat mamulihkan kembalinya wilayah-wilayah Kristen yang telah copot (termasuk Jerusalem) bahkan juga maruntuhkan kerajaan Ottaman  (Turki)".
 
Sikap Portugis itu tentu tidak ganjil lagi pihak Aceh, dan itu sebabnya Aceh bertekad untuk menghancurkan musuh bebuyutannya itu.

Pertama, bersandar kekuatan Sendiri dan kedua dengan kerajaan-kerajaan sekutu yang ingin turut mengambil bagian. Seyogianya apabila kerajaan-kerajaan di Nusantara, atau paling minimal kerajaan-kerajaan dipantai Selat Malaka berpadu kekuatan dengan Aceh, tidaklah akan sukar menghancurkan Portugis itu. Namun sebagai ternyata kemudian, justru kerajaan-kerajaan dimaksudlah yang bersekongkol (menyediakan diri) dengan penjajah Barat tersebut. Sukses maupun kesukaran yang dialami oleh Sultan Ala'uddin Ri'ayat Syah Al-Kahhar dicerminkan oleh ada tidaknya teman sekutu dimaksud. Pertama-tama sajak Al-Kahhar menggantikan abangnya Pada bulan September 1537, Aceh telah mencoba menyerang benteng Portugis di Malaka. Pengalaman Portugis dari penyerangan tersebut membuat ia mempercepat datangnya tambahan kekuatan. Disamping itu Estevao de Gama yang menjadi Gubernur Portugis di Malaka maningkatkan ikhtiarnya untuk mendekati Raja-raja Melayu siapa saja yang bersedia bersekutu dengannya menghadapi Aceh.

Posting Komentar untuk "Sultan Ala'uddin Ri'ayat Syah Al-Kahhar Dalam Kemajuan Aceh (1537-1571)"