Sejarah Negeri Tamiang: Jejak Peradaban di Ujung Timur Aceh
Sejarah Negeri Tamiang
Kata sahibul hikayat, yang asalnya dari Raja-Raja Melaju sampai kepada anak-anak cucu pesan berpesan (mitos), tatkala sebuah Kerajaan Melaju Raja yang pusat pemerintahan di Bandar Pirus, Bintan, dalam pulau yang bernama juga Pulau Bintan.
Dalam Kerajaan besar itu, ada pula Raja-Raja kecil yang memerintah di seluruh Alam tanah Melayu Raja itu, yaitu dari tanah Semenanjung, Pulau Riau, Pesisir Tanah Kuantan, (Indragiri dan Batanghari), yang seluruhnya takluk ke pusat pemerintahan di Bintan.
Diceriterakan lagi, bahwa tatkala seorang Raja memerintah dalam Kerajaan Melaju Raja yang bergelar Raja Diraja Mambang Seperlah Tun Dewa Ditaseh, keturunan dari Raja-Raja Mambang (Dewa Laut).
Di masa pemerintahan Raja Diraja ini, Kerajaan Bintan meningkat jaya lebih dari yang lain, sehingga negeri tetangganya mengerlingkan matanya ke Bintan. Maharaja Sriwijaya (Palembang) menjadi kuat dan jaya pula, maka diperintahkan tentaranya pergi menyerang Kerajaan Melaju Raja di Bintan.
Dalam peperangan ini binasalah Kerajaan Melaju Raja itu, negeri dibakar sehingga Kota Pirus, menjadi lebur yang menjita pula beberapa banyak kekayaan dari Kerajaan Bintan, lalu dibawa ke Palembang. Raja Diraja Mambang Seperlah Tun Dewa Ditasek yang gagah perkasa itupun tiwas dalam peperangan itu. Maka oleh karena itu, seluruh Kerajaan Melaju Raja takluklah di bawah kekuasaan Maharaja Sriwijaya, kejadian ini kira-kira dalam abad VII tahun 670 Masehi.
Dalam buku-buku sejarah Tiongkok, "Melaju" disebut dengan kata "Mo-Io-yen" dan Sriwijaya (Srivijaya) disebut dengan kata "Che-Ii-fo-che".
Seorang Tionghoa bernama I Tsing diutus oleh Kaisar Tiongkok pergi ke Nusantara guna mempelajari ilmu dan bahasa Sanskerta, ia meninggalkan Canton pada tahun 671 Masehi pergi ke Chelifoche (Sriwijaya), pengembaraannya itu baru pada tahun 695 kembali ke Tiongkok. Dalam perjalanannya itu ia sampai juga ke Poli (Pidie) dan Lamuri (Aceh Besar).
Setelah seluruh Kerajaan Melaju Raja itu takluk pada Sriwijaya, maka terjadilah perpindahan (imigrasi) bangsa-bangsa Melaju itu dengan pesatnya ke sana-sini.
Seperti telah diketahui sifat-sifat dari suku-suku bangsa Melayu itu suka damai, lemah lembut dan mencintai persaudaraan, karena dalam batin mereka itu tersimpul cita-cita bebas (merdeka) dan damai. Walaupun mereka itu lemah lembut tidak dapat bertindak apa-apa terhadap yang menundukkan, tetapi hasrat mereka tetap mencari bebas (merdeka) dan damai. Karena pembawaan bangsa-bangsa Melaju itu suka damai dan hidup dalam kegembiraan, kurang suka pada perang, ataupun perkelahian dan paksaan. Begitu juga walaupun mereka itu dilamun kesusahan-kesusahan, lahirnya mereka itu bertabiat gembira saja dan bersyukur pada apa-apa yang ada dimilikinya, maka oleh karena itu selalu mengadakan pertemuan dengan tari-tarian penghibur lara kekeluargaan mereka, bersuka-suka, makan-makan dan minum-minum bersama-sama, tidak mempunyai sifat-sifat yang pendendam.
Beralainan sifatnya dengan bangsa Manti (Mante) yang menghuni Aceh Besar. Sifat-sifat mereka ini sebelum dapat membalas dendam pada musuh-musuhnya, mereka ini belum puas kemarahannya, sehingga dendam-dendam itu diteruskan pada turun-temurun sampai pada anak-anak dan cucu-cucunya harus membalasnya.
Tetapi pada bangsa Melayu yang di Tamiang ini tidak sedemikian, sekiranya mereka itu tidak dapat melawan musuhnya, mereka meninggalkan musuhnya itu mencari tempat lain yang aman, walaupun mereka itu menderita kemelaratan, rintangan-rintangan dan kesulitan.
Adapun perpindahan-perpindahan suku-suku bangsa Melaju itu pada zaman pemerintahan Sriwijaya, tatkala itulah bangsa-bangsa Melaju itu mulai berpindah ke: Utara, Selatan, Timur dan Barat. Bangsa-bangsa Melaju itu terkenal memang bangsa yang wataknya berani dan pandai mengarungi lautan yang luas dengan perahu-perahu mereka, sehingga sampai sekarang masih terdapat suku-suku bangsa Melaju itu di sekitar kepulauan Belitung dan Bangka, yang masih hidup berumah tangga dalam perahu-perahu mereka (perahu yang diberi bergaji). Suku-suku Melaju ini dinamakan bangsa Djakun alau dan disebut juga Orang Laut.
Sebagian dari suku-suku bangsa Melayu itu mengungsi dengan kepala-kepala sukunya ke arah Utara Nusantara, sehingga mereka itu mendirikan perkampungan-perkampungan (kolonisasi) dan mendirikan Kerajaan baru di Kalimantan Selatan. Setengahnya terus lewat menuju ke Utara, sehingga berdiam di Pulau Sulu, Pulau Palawan dan Mindanau (Filipina). Kemudian bercampur darah dengan penduduk di sana, tetapi setengahnya dari itu terus berpindah ke Utara dan Timur, sehingga bertebaranlah sampai kepulauan Pasifik dan Hawaii.
Suku-suku bangsa Melayu yang menuju ke arah Selatan yang melewati Selat Sunda, sampailah mereka itu ke kepulauan Tenggara Selatan di kepulauan Nusa Marege (Maluku) dan Bima, setengahnya pula terus dan terdampar ke Ternate dan Banda.
Maka yang sampai ke Barat pindah lagi mencari daerah-daerah yang aman ke Pulau Pertja (Sumatera). Maka sebagian dari suku-suku bangsa Melayu itu masuk ke daerah Jambi sekarang dan mendirikan Kerajaan baru yang disebut Kerajaan Pemelaju, dari situ terus memasuki pedalaman Gunung Merapi (Sumatera Barat) dan mendirikan pula lagi sebuah Kerajaan yang dinamakan Kerajaan Pagaruyung, dengan ibu kotanya yang bernama Ulak Tandjung Bunga (Batusangkar).
Dari pecahan suku-suku Melaju itu terus menuju ke arah Utara dan mendiami seluruh pantai-pantai Pulau Pertja bagian Tengah dan Pesisir Timur-nya, dengan mendirikan pula Kerajaan-kerajaan kecil yang dinamakan Kerajaan Kuantan (Riau), yang berpusat pemerintahan di Rengat. Kemudian Raja-raja Kuantan ini mendirikan ibu kota yang baru di Daik dalam kepulauan Riau, dengan nama Kerajaan Riau.
Adapun suku-suku bangsa Melaju yang berada di Pesisir Sumatera Timur, mendirikan pula beberapa buah Kerajaan-kerajaan kecil di sana.
Ada satu rombongan lain pula berpindah ke arah Utara Barat Pulau Pertja dengan berpuluh-puluh perahu menembus gelombang-gelombang ombak yang deras dan besar, maka dalam perjalanan mereka itu terjadi taufan musim Barat, maka terdamparlah semuanya ke sebuah Pulau dan bermukimlah di Pulau itu, sambil berladang menanami: pelawidja (jagung, ubi rambat dan kencendai) sementara menantikan berhentinya musim Barat itu.
Setelah lebih kurang empat bulan lamanya berkemah di Pulau itu, maka musim Barat pun mulailah teduh kembali, sehingga laut pun menjadi hening dan tenang.
Pada suatu hari berkumpullah semuanya orang-orang Melaju itu yang dipanggil oleh Kepala Kaumnya bermufakat bagaimana yang baik, "melanjutkan perjalanan ke Utara Barat atau ada yang menetap tinggal di Pulau ini". Maka dalam musyawarah itu ada dua pendapat, yang sebagian menyatakan lebih baik tinggal menetap saja di Pulau itu dan yang lain mau melanjutkan perjalanan ke Utara Barat, agar jauh dengan kekuasaan Sriwijaya. Mungkin mereka inilah yang mendirikan Kerajaan Aru?
Maka kaum itu berpecah menjadi dua rombongan: yang tinggal bermukim di Pulau itu, yang lain melanjutkan perjalanannya dengan membawa anak-anak dan istri-istrinya menuju ke Utara Barat mengikuti ujung Pulau Pertja bagian Utara, tetapi di sana mereka menemui sudah ada bangsa-bangsa lain yang mendiami daerah-daerah itu, misalnya bangsa-bangsa Manti (Mante) di Telaga Tujuh, Araminjah (Aceh Timur), di Jambo Aye (Aceh Utara), di Pidie (Poli), Kalee, Rami dan di Pulau Weh (Sabang).
Menurut dongeng-dongeng (mitos), orang-orang Manti (Mante disebut Aceh) inilah bangsa Aceh asli yang datangnya dari Utara Burma daerah Sungai Selueng.
Maka karena itu suku-suku bangsa Melayu itu tidak jadi singgah di pantai-pantai itu melainkan teruslah mengarungi laut, menuju ke dalam pedalaman Daratan Besar yang luas di tengah hutan-hutan belantara mencari tempat yang damai.
Sekitar tahun 1300-an, bangsa-bangsa itu tiba di bagian paling utara Sumatera dan menginjakkan kakinya di Tanah Tamiang yang terletak di sepanjang Sungai Tamiang yang berkelok-kelok menyusuri jejak hilir Sungai yang kaya di hutan belantara ini.
Tanah Tamiang yang meluas ini mulai mereka pergunakan sebagai tempat perlindungan yang aman dan nyaman dari ancaman perpecahan dari musuh mereka, maka di sini mereka membuat kampung-kampung di tepi-tepi sungai, menanam bahan makanan dan mendirikan kerajaan-kerajaan kecil sampai pada zaman penjajahan Belanda.
Suku-suku bangsa yang mengungsi ini akhirnya mendirikan Kerajaan Tamiang.
Posting Komentar untuk "Sejarah Negeri Tamiang: Jejak Peradaban di Ujung Timur Aceh"