Mengungkap Kepalsuan Teori Gujarat: Sejarah Islamisasi Aceh yang Sesungguhnya

1. Mengungkap Kepalsuan Teori Gujarat Snouck Hourgronje

Islamisasi di Aceh merupakan salah satu fenomena sejarah yang paling menarik dalam perjalanan peradaban Nusantara. Namun, hingga saat ini, berbagai teori tentang masuknya Islam ke Nusantara, khususnya ke Aceh, masih menjadi perdebatan. Salah satu teori yang paling sering dikutip dalam buku-buku sejarah adalah Teori Gujarat, yang dikembangkan oleh Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang memiliki misi untuk melemahkan Islam di Aceh.

Mengungkap Kepalsuan Teori Gujarat: Sejarah Islamisasi Aceh yang Sesungguhnya

Teori ini menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara dari anak benua India, terutama dari Gujarat dan Bengali, sekitar abad ke-12 atau ke-13. Sayangnya, teori ini masih diajarkan dalam sistem pendidikan Indonesia, meskipun banyak bukti sejarah yang menunjukkan bahwa Islam datang langsung dari Timur Tengah, bukan dari India.

Oleh karena itu, penting untuk mendekonstruksi sejarah dan mengungkap kepalsuan Teori Gujarat dengan menyajikan bukti-bukti yang lebih akurat tentang proses Islamisasi di Aceh.

A. Snouck Hurgronje dan Misinya Memecah Belah Islam di Aceh

Snouck Hurgronje bukanlah sejarawan biasa. Ia adalah seorang orientalis dan mata-mata Belanda yang ditugaskan untuk memahami Islam di Nusantara agar dapat menghancurkan kekuatan umat Islam, terutama di Aceh. Dalam usahanya, Snouck:
  • Mempelajari bahasa Arab dan ajaran Islam secara mendalam hingga ke Mesir dan Mekkah.
  • Mengaku sebagai ulama Muslim untuk memperoleh kepercayaan masyarakat Muslim.
  • Menikahi seorang Muslimah, anak seorang tokoh berpengaruh di zamannya.
  • Menyusun Teori Gujarat sebagai strategi untuk memutus hubungan Islam di Nusantara dengan Timur Tengah, khususnya dengan Mekkah dan Madinah.
Snouck menyatakan bahwa karena pada abad ke-12 dan ke-13 tidak terlihat banyak pengaruh budaya Arab dalam Islam di Nusantara, maka dapat disimpulkan bahwa Islam dibawa oleh pedagang India, bukan langsung dari Timur Tengah.

Namun, teori ini tidak didukung oleh bukti kuat. Bahkan, banyak bukti sejarah yang justru menunjukkan bahwa Islam datang langsung dari Arab, bukan melalui India.

B. Bukti-Bukti yang Membantah Teori Gujarat

Untuk membuktikan bahwa Islam masuk ke Aceh langsung dari Timur Tengah, bukan dari Gujarat, berikut beberapa bukti sejarah yang perlu diperhatikan:

1. Islam Telah Ada di Nusantara Sebelum Abad ke-12

Teori Gujarat menyebutkan bahwa Islam masuk ke Aceh pada abad ke-12 atau ke-13, tetapi banyak bukti sejarah yang menunjukkan bahwa Islam telah berkembang di Nusantara sejak abad ke-7 atau ke-8.

Bukti-bukti tersebut antara lain:
  • Catatan sejarah dari Dinasti Tang (Cina) yang menyebutkan keberadaan pedagang Muslim di pesisir Sumatra sejak abad ke-7.
  • Prasasti Leren di Jawa Timur (1082 Masehi) yang menyebutkan komunitas Muslim.
  • Makam Sultan Malik al-Saleh (1297 M), raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, yang menggunakan tulisan Arab dengan gaya khas Timur Tengah, bukan India.

C. Hubungan Aceh dengan Timur Tengah Sejak Awal

Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah karena sejak awal telah menjalin hubungan erat dengan Timur Tengah, terutama dalam bidang agama dan pendidikan.
  • Pedagang Arab dan Persia telah berdagang di Selat Malaka sejak abad ke-7, membawa ajaran Islam langsung ke Aceh.
  • Banyak ulama dari Hadramaut (Yaman) yang datang dan menyebarkan Islam di Nusantara.
  • Bahasa yang digunakan dalam kitab-kitab Islam awal di Nusantara adalah bahasa Arab, bukan bahasa India atau Persia.

D. Aceh sebagai Pusat Dakwah Islam di Nusantara

Jika Islam masuk ke Aceh dari Gujarat, maka seharusnya ajaran Islam di Aceh lebih mirip dengan Islam di India. Namun, kenyataannya:
  • Islam di Aceh memiliki mazhab Syafi’i, sama seperti yang berkembang di Mekkah dan Madinah, bukan mazhab Hanafi yang banyak dianut di Gujarat.
  • Banyak ulama besar Aceh, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan Nuruddin Ar-Raniry, yang memiliki hubungan erat dengan Timur Tengah, bukan dengan India
  • Kesultanan Aceh sering mengirim santri dan ulama ke Mekkah, bukan ke Gujarat atau India.
Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa Aceh bukan sekadar wilayah yang menerima Islam dari India, tetapi justru menjadi pusat dakwah yang menyebarkan Islam ke berbagai penjuru Nusantara.

E. Dampak Negatif Teori Gujarat terhadap Sejarah Aceh

Penyebaran Teori Gujarat yang dipaksakan oleh Snouck Hurgronje dan antek-anteknya memiliki dampak besar terhadap sejarah Aceh, antara lain:
  1. Pengkerdilan Peran Aceh dalam Sejarah Islam
    Teori ini membuat Aceh seolah-olah baru mengenal Islam beberapa abad lalu, padahal Aceh adalah pusat Islamisasi Nusantara sejak awal
  2. Pemutusan Mata Rantai Spiritual Islam Nusantara
    Islam di Aceh bukan sekadar "import" dari India, tetapi merupakan bagian dari jaringan Islam global yang langsung terhubung dengan Mekkah dan Madinah.
  3. Distorsi Sejarah dalam Pendidikan
    Hingga kini, banyak buku sejarah di sekolah dan universitas masih mengajarkan Teori Gujarat, padahal teori ini telah dibantah oleh banyak penelitian modern.
Untuk meluruskan sejarah, penting bagi generasi muda untuk memahami asal-usul Islam di Aceh dengan benar, berdasarkan bukti sejarah yang kuat, bukan berdasarkan propaganda penjajah.

2. Teori Mekkah (Arab): Mengungkap Asal-Usul Islamisasi Aceh yang Sesungguhnya

Teori Mekkah atau Teori Arab merupakan salah satu teori yang paling kuat dan didukung oleh banyak bukti dalam menjelaskan bagaimana Islam masuk ke Nusantara, khususnya ke Aceh. Berbeda dengan Teori Gujarat yang menyatakan bahwa Islam datang dari anak benua India, Teori Mekkah menegaskan bahwa Islam dibawa langsung dari Timur Tengah, terutama dari Mekkah dan Madinah, melalui jaringan perdagangan dan dakwah sejak abad ke-7 Masehi.

Teori ini dikembangkan oleh berbagai cendekiawan Muslim dan didukung oleh beberapa sejarawan non-Muslim. Beberapa tokoh yang mendukung Teori Mekkah antara lain:
  • T.W. Arnold
  • Crawfurd
  • Keijzer
  • Niemann
  • SMN. Al-Attas
  • A. Hasymi
  • Hamka
Teori ini juga merupakan bantahan terhadap Teori Gujarat dan Teori Persia, yang dianggap kurang memiliki dasar kuat dalam menjelaskan proses Islamisasi di Nusantara.

A. Bukti-Bukti Teori Mekkah dalam Islamisasi Aceh dan Nusantara

1. Catatan Sejarah Mengenai Pedagang Arab di Nusantara

Sejarawan T.W. Arnold menyatakan bahwa Islam disebarkan oleh pedagang Arab yang telah mendominasi jalur perdagangan Timur-Barat sejak abad ke-7 dan ke-8 Masehi. 
  • Sumber-sumber sejarah dari Cina menyebutkan bahwa pada akhir abad ke-7, seorang pedagang Arab telah menjadi pemimpin komunitas Muslim di pesisir Sumatera.
  • Sebagian dari pedagang ini melakukan perkawinan dengan penduduk lokal, membentuk komunitas Muslim yang berkembang pesat dan ikut serta dalam penyebaran Islam.
  • Dalam kitab ‘Ajaib al-Hind, disebutkan adanya komunitas Muslim di Sriwijaya pada abad ke-10, menunjukkan bahwa Islam telah eksis jauh sebelum abad ke-13 sebagaimana yang diklaim oleh Teori Gujarat.

2. Hubungan Langsung Aceh dengan Mekkah dan Madinah

Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah, yang menandakan hubungan eratnya dengan pusat Islam di Timur Tengah.
  • Crawfurd menegaskan bahwa Islam di Nusantara, termasuk Aceh, dibawa langsung dari Arab.
  • Keijzer menekankan bahwa Islam di Nusantara bermazhab Syafi’i, yang merupakan mazhab utama di Mekkah dan Madinah.
  • Niemann dan De Hollander berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara dari Hadramaut, Yaman, yang merupakan pusat penyebaran Islam sejak awal.
Sejarah mencatat bahwa banyak ulama dan santri dari Nusantara yang menimba ilmu langsung di Mekkah dan Madinah, kemudian kembali ke tanah air untuk menyebarkan Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Islam di Nusantara memiliki jalur hubungan langsung dengan pusat Islam di Timur Tengah, bukan sekadar dari Gujarat atau India.

3. Bukti dari Literatur Islam di Nusantara

Menurut SMN. Al-Attas, salah satu kesalahan dalam Teori Gujarat adalah penggunaan batu nisan sebagai bukti penyebaran Islam dari India
  • Al-Attas menegaskan bahwa batu nisan yang ditemukan di Nusantara bukan bukti asal Islam dari Gujarat, melainkan batu-batu itu diimpor dari Gujarat karena pertimbangan jarak dan ketersediaan material.
  • Al-Attas juga mengkritik pendekatan sejarawan Barat yang cenderung mengabaikan literatur Islam Nusantara, seperti Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu, yang dengan jelas menunjukkan interaksi langsung antara Nusantara dengan Timur Tengah.

B. Pandangan Hamka: Islamisasi Aceh Berasal Langsung dari Mekkah

Hamka merupakan salah satu tokoh yang paling vokal dalam menolak Teori Gujarat dan mendukung Teori Mekkah.
  • Pada Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta tahun 1958, Hamka mengemukakan bahwa Islam berasal langsung dari Mekkah, bukan Gujarat.
  • Dalam Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963, Hamka kembali menegaskan bahwa Islam sudah masuk ke Nusantara jauh sebelum abad ke-13, yakni sekitar abad ke-7 Masehi.
Hamka menyoroti beberapa bukti penting, antara lain:

1. Mazhab Syafi’i yang kuat di Indonesia

  • Islam di Nusantara didominasi oleh mazhab Syafi’i, yang merupakan mazhab utama di Mekkah.
  • Jika Islam berasal dari Gujarat, seharusnya mazhab yang dominan adalah mazhab Hanafi, yang lebih banyak dianut di India.

2. Kunjungan Ibnu Batutah ke Samudera Pasai

  • Dalam catatan Ibnu Batutah (abad ke-14), disebutkan bahwa kerajaan Islam Samudera Pasai sudah berkembang pesat dan menjalankan ajaran Islam dengan baik.
  • Hukum Islam yang diterapkan di Samudera Pasai adalah Syafi’i, bukan Hanafi, yang mengindikasikan pengaruh langsung dari Mekkah.

3. Peranan Arab dalam Perdagangan dan Dakwah

  • Bangsa Arab telah menguasai perdagangan di Ceylon (Sri Lanka) sejak abad ke-2 SM, yang berarti interaksi mereka dengan Nusantara sudah berlangsung sejak lama.
  • Banyak pedagang dan ulama Arab yang datang ke Nusantara secara langsung, baik melalui Yaman, Hadramaut, Mesir, maupun Persia.

C. Islamisasi Aceh Berakar dari Timur Tengah

Teori Mekkah lebih masuk akal dibandingkan Teori Gujarat karena didukung oleh bukti sejarah yang kuat.
  • Islam telah hadir di Nusantara sejak abad ke-7, jauh sebelum abad ke-13 seperti yang diklaim dalam Teori Gujarat. 
  • Komunitas Muslim Arab sudah ada di pesisir Sumatera sejak abad ke-7, sebagaimana disebut dalam sumber sejarah Cina.
  • Mazhab Syafi’i yang dominan di Nusantara berasal dari Mekkah, bukan India, yang menunjukkan hubungan langsung dengan Timur Tengah. 
  • Aceh memiliki hubungan erat dengan Mekkah dan Madinah, dan banyak ulama serta santri yang belajar langsung ke sana.
Teori Mekkah juga mengoreksi kesalahan historiografi kolonial yang mencoba menanamkan narasi bahwa Islam di Nusantara berasal dari India, bukan dari pusat Islam di Arab.

Dengan memahami fakta sejarah yang benar, generasi muda dapat melihat bahwa Aceh bukan sekadar daerah yang menerima Islam, tetapi merupakan pusat utama Islamisasi Nusantara yang memiliki hubungan langsung dengan dunia Islam di Timur Tengah.

Sudah saatnya Teori Mekkah menjadi rujukan utama dalam buku-buku sejarah, menggantikan Teori Gujarat yang penuh dengan kepentingan kolonial.

3. Teori Champa (Jeumpa) Versi Raffles: Mengungkap Peran Jeumpa sebagai Pusat Awal Islamisasi di Nusantara

Salah satu teori menarik tentang masuknya Islam ke Nusantara adalah Teori Champa (Jeumpa), yang dikemukakan oleh Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java. Raffles berpendapat bahwa Champa yang terkenal di Nusantara bukanlah wilayah yang sekarang berada di Kamboja, sebagaimana yang banyak diklaim oleh para peneliti Belanda, melainkan berada di Aceh, tepatnya di daerah Jeumpa (sekarang Bireuen, Aceh).

Teori ini menyoroti peran Kerajaan Jeumpa sebagai tapak awal Islamisasi di Nusantara, jauh sebelum berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam besar seperti Perlak, Pasai, dan Aceh Darussalam. Jika teori ini benar, maka dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Nusantara lebih awal daripada yang selama ini diajarkan dalam buku-buku sejarah.

A. Jeumpa sebagai Pusat Awal Islam di Nusantara

1. Jeumpa Dalam Catatan Sejarah

Berdasarkan Hikayat Raja Jeumpa yang ditulis oleh Ibrahim Abduh, Kerajaan Jeumpa berdiri sekitar abad ke-8 Masehi, tepatnya pada tahun 777 M. Wilayah kerajaan ini membentang dari pinggir Sungai Peudada di sebelah barat hingga ke Pante Krueng Peusangan di sebelah timur, dengan ibu kotanya terletak di Blang Seupeueng.

Jeumpa bukan hanya pusat pemerintahan, tetapi juga pelabuhan dagang besar yang dikenal sebagai Kuala Jeumpa. Sejumlah kapal dari berbagai wilayah datang ke pelabuhan ini untuk berdagang, menunjukkan bahwa Jeumpa telah menjadi bagian dari jaringan perdagangan internasional yang menghubungkan Arab, India, dan Cina.

Observasi terbaru terhadap peninggalan sejarah di lokasi yang diyakini sebagai tapak Maligai (Istana) Kerajaan Jeumpa mengungkapkan berbagai artefak penting, seperti:
  • Kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 meter
  • Kaca jendela dan porselen
  • Cincin, kalung panjang, dan anting besar
  • Pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya, yang ditandai dengan batu-batu besar
Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa Jeumpa adalah pusat peradaban yang maju, yang kemungkinan besar telah menerima Islam lebih awal dibandingkan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara.

2. Hubungan Jeumpa dengan Kesultanan Islam di Nusantara

Salah satu bukti penting dalam teori ini adalah silsilah Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu-Mindanao.

Dalam silsilah ini disebutkan bahwa pada 154 Hijriah (777 Masehi), Kerajaan Jeumpa dipimpin oleh Syahriansyah Salman (Sasaniah Salman), seorang pangeran dari Persia yang menikah dengan Puteri Mayang Seulodong. Dari pernikahan ini lahirlah beberapa tokoh penting, di antaranya:
  • Shahri Poli
  • Shahri Tanti
  • Shahri Nawi
  • Shahri Dito
  • Puteri Makhdum Tansyuri (Ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak)
Menurut penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, "Shahri" adalah gelar pertama yang digunakan oleh keturunan Nabi Muhammad di Nusantara, sebelum akhirnya berkembang menjadi gelar seperti Meurah, Habib, Sayid, Syarif, Sunan, dan Teuku.

Salah satu keturunan Syahriansyah Salman yang paling terkenal adalah Syahr Nawi, yang berperan besar dalam pembangunan Kota Perlak dan pendirian Kerajaan Islam Perlak pada tahun 805 Masehi. Hal ini menegaskan bahwa Kerajaan Islam Jeumpa memiliki hubungan erat dengan Perlak, Pasai, dan Aceh Darussalam, yang kemudian menjadi pusat Islamisasi Nusantara.

B. Jeumpa dan Peranannya dalam Islamisasi Jawa

1. Hubungan Puteri Champa dengan Raden Fatah

Salah satu fakta menarik yang mendukung teori ini adalah kisah Puteri Champa, yang menikah dengan Raja Majapahit Brawijaya V dan melahirkan Raden Fatah.

Raffles menyebutkan bahwa Puteri Champa sebenarnya berasal dari Jeumpa, Aceh, bukan dari Champa di Kamboja. Setelah menikah dengan Brawijaya V, Puteri Champa melahirkan Raden Fatah, yang kemudian menjadi Sultan pertama Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa.

Sejarah mencatat bahwa setelah lahir, Raden Fatah dikirim ke Surabaya untuk dididik oleh Sunan Ampel, yang juga berasal dari keluarga Jeumpa. Hal ini menunjukkan bahwa Jeumpa memainkan peran penting dalam Islamisasi Jawa, baik melalui perdagangan, perkawinan politik, maupun pendidikan Islam.

C. Syekh Hamzah Fansuri dan Keterkaitannya dengan Jeumpa

Salah satu tokoh besar yang turut mendukung teori ini adalah Syekh Hamzah Fansuri, seorang ulama sufi dan sastrawan besar dari Nusantara.

Dalam beberapa syairnya, Hamzah Fansuri menyebutkan asal-usulnya sebagai berikut:
Hamzah ini asalnya Fansuri,
Mendapat wujud di tanah Shahrnawi,
Beroleh khilafat ilmu yang ‘ali,
Daripada ‘Abd al-Qadir Jilani.

Dalam syair ini, Shahrnawi merujuk pada Syahr Nawi, tokoh dari Kerajaan Jeumpa, yang juga merupakan pendiri Kota Perlak. Syair ini membuktikan bahwa Hamzah Fansuri memiliki keterkaitan langsung dengan Jeumpa, sehingga memperkuat teori bahwa Jeumpa adalah pusat awal Islam di Nusantara. 

D. Jeumpa sebagai Titik Awal Islam di Nusantara

Dari berbagai bukti sejarah yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa:
  1. Jeumpa bukan hanya sebuah kerajaan kecil di Aceh, tetapi merupakan pusat awal Islamisasi Nusantara.
  2. Kerajaan Islam Jeumpa telah berdiri sejak abad ke-8 Masehi (tahun 777 M), lebih awal dibandingkan Perlak dan Pasai.
  3. Jeumpa memiliki hubungan erat dengan Perlak, Pasai, dan Kesultanan Islam lainnya di Nusantara, termasuk Demak di Jawa.
  4. Puteri Champa, yang menjadi ibu dari Raden Fatah, kemungkinan besar berasal dari Jeumpa, Aceh, bukan dari Champa di Kamboja.
  5. Syekh Hamzah Fansuri, salah satu ulama terbesar Nusantara, mengakui asal-usulnya dari wilayah Shahrnawi (Jeumpa).
Dengan demikian, Teori Champa (Jeumpa) yang dikemukakan oleh Raffles memberikan perspektif baru dalam memahami sejarah awal Islam di Nusantara. Jika teori ini terbukti benar, maka perlu ada revisi besar dalam buku-buku sejarah untuk mengakui peran Jeumpa sebagai titik awal penyebaran Islam di Nusantara.

Sebagai Serambi Mekkah, Aceh telah membuktikan bahwa ia bukan hanya menjadi benteng terakhir Islam di Nusantara, tetapi juga menjadi pintu gerbang pertama masuknya Islam ke tanah air.

4. Teori Hubungan Dagang Arab-Cina: Jalur Perdagangan yang Mengantar Islam ke Nusantara 

Salah satu teori yang menjelaskan proses Islamisasi di Nusantara, khususnya di Aceh, adalah Teori Hubungan Dagang Arab-Cina. Teori ini menegaskan bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui jalur perdagangan laut, yang sejak awal telah menjadi penghubung antara Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Cina.

Para sejarawan seperti Peter Bellwood, G.R. Tibbetts, dan HAMKA menemukan berbagai bukti arkeologis dan literatur sejarah yang menunjukkan bahwa pedagang Arab telah datang ke Nusantara sejak abad ke-5 Masehi, jauh sebelum teori Gujarat yang mengklaim Islam baru masuk pada abad ke-13.

Bukti-bukti sejarah ini menunjukkan bahwa jalur perdagangan Selat Malaka telah memainkan peran sentral dalam proses Islamisasi Nusantara, menjadikan Aceh sebagai pintu gerbang utama masuknya Islam di kepulauan Indonesia.

A. Jalur Perdagangan Nusantara dan Hubungan Dagang Arab-Cina

1. Bukti Arkeologis dan Catatan Sejarah

Sejarawan Peter Bellwood, dalam penelitiannya di Australian National University, menemukan berbagai bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad ke-5 Masehi, jalur perdagangan utama telah menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina.
  • Museum Nasional Jakarta menyimpan bejana keramik dari Sumatera Utara dan barang perunggu Cina dari masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM).
  • Bukti arkeologi di Sumatera menunjukkan bahwa jalur perdagangan Arab-Cina telah berkembang jauh sebelum berdirinya Kerajaan Sriwijaya pada tahun 607 Masehi.
  • Jalur Sutra Maritim yang menghubungkan Laut Merah, Teluk Persia, India, Nusantara, dan Cina sudah aktif sejak abad ke-1 Masehi.
Menurut G.R. Tibbetts, sejak abad ke-5 Masehi, kapal-kapal Arab telah berlayar ke Cina dengan singgah di pelabuhan-pelabuhan di Sumatera. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara dunia Islam dan Nusantara telah terjadi jauh sebelum teori-teori kolonial seperti Teori Gujarat dikembangkan.

2. Peran Selat Malaka sebagai Pusat Perdagangan Global

Jalur perdagangan antara Timur Tengah, Nusantara, dan Cina mengalami perkembangan pesat sejak abad ke-5 Masehi. Dua jalur utama yang menghubungkan kawasan ini adalah:
  • Jalur Darat (Jalur Sutra) 
    • Menghubungkan Cina dengan Timur Tengah dan Eropa melalui Asia Tengah dan Turkistan.
    • Digunakan sejak 500 SM, tetapi mulai mengalami gangguan akibat konflik di Asia Tengah.
  • Jalur Laut (Jalur Sutra Maritim)
    • Berawal dari Semenanjung Shantung (Cina), melewati Selat Malaka, lalu ke India, Teluk Persia, Suriah, dan Mesir.
    • Jalur ini semakin ramai sejak tahun 500 Masehi, ketika keamanan Jalur Sutra darat terganggu.
Seiring meningkatnya aktivitas perdagangan di Selat Malaka, banyak kota pelabuhan besar tumbuh di pesisir Sumatera, termasuk di Aceh. Kota-kota ini berfungsi sebagai pusat transit dan perdagangan internasional, yang menjadi tempat pertemuan pedagang Arab, Persia, India, dan Cina.

B. Bukti Keberadaan Komunitas Muslim di Sumatera sebelum Abad ke-7 Masehi

Bukti lain yang memperkuat teori ini adalah keberadaan komunitas Muslim di Sumatera sejak abad ke-7 Masehi.
  • Sumber sejarah Cina menyebutkan bahwa pada tahun 625 Masehi, hanya 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama, sudah ada perkampungan Arab Muslim di pesisir Sumatera.
  • Pada tahun 674 Masehi, seorang pencatat sejarah dari Cina menemukan komunitas Muslim yang telah menetap dan berdagang di pesisir barat Sumatera.
  • HAMKA menguatkan temuan ini dan menyebut bahwa bukti-bukti ini telah diakui oleh sejarawan dunia Islam di Princeton University, Amerika Serikat.
Temuan ini mengubah pandangan tentang sejarah masuknya Islam ke Nusantara. Jika komunitas Muslim telah ada di Sumatera pada pertengahan abad ke-7, maka Islam telah masuk ke Nusantara jauh sebelum abad ke-13 seperti yang diklaim dalam Teori Gujarat.

C. Catatan Sejarah Dinasti Cina tentang Kedatangan Muslim di Asia Timur

Catatan sejarah dari Dinasti Tang dan Dinasti Song di Cina juga memberikan bukti kuat tentang keberadaan Islam di Nusantara sejak abad pertama Islam.

1. Hubungan Diplomatik antara Arab dan Cina

Dalam kitab sejarah Cina Chiu T’ang Shu, disebutkan bahwa pada tahun 651 Masehi (31 Hijriah), Kekaisaran Cina menerima kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih (Arab Muslim).
  • Empat tahun kemudian, duta Muslim datang kembali mewakili Amirul Mukminin (Tan mi mo ni’), yaitu Khalifah Utsman bin Affan.
  • Pada masa Dinasti Umayyah, tercatat 17 kunjungan diplomatik Muslim ke Cina.
  • Pada masa Dinasti Abbasiyah, jumlah duta Muslim yang datang ke Cina meningkat menjadi 18 kali.
Fakta ini menunjukkan bahwa para pedagang Arab dan Muslim telah menjelajahi dunia jauh sebelum bangsa Eropa menemukan jalur pelayaran ke Asia.

2. Hubungan Islam dengan Nusantara di Era Dinasti Song

Pada abad ke-10 Masehi, Islam semakin berkembang di Nusantara.
  • Sejarah negeri Tiongkok mencatat bahwa pada tahun 977 Masehi, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) mengunjungi Cina sebagai perwakilan dari Kerajaan Islam Perlak.
  • Ini membuktikan bahwa Islam telah berkembang pesat di Sumatera sebelum abad ke-10 dan telah memiliki hubungan diplomatik dengan Cina.

D. Hubungan Dagang sebagai Faktor Utama Islamisasi Nusantara

Berdasarkan bukti sejarah dan arkeologi, dapat disimpulkan bahwa:
  • Islam masuk ke Nusantara jauh sebelum abad ke-13, sebagaimana yang diklaim dalam Teori Gujarat.
  • Jalur perdagangan Arab-Cina melalui Selat Malaka telah aktif sejak abad ke-5 Masehi, memungkinkan interaksi antara Muslim Arab dan masyarakat Nusantara.
  • Komunitas Muslim telah ada di pesisir Sumatera sejak tahun 625 M, menunjukkan bahwa Islam masuk ke Nusantara hampir bersamaan dengan perkembangannya di Timur Tengah.
  • Hubungan diplomatik antara dunia Islam dan Cina telah terjalin sejak abad ke-7, dengan adanya kunjungan duta dari Khalifah Utsman bin Affan ke istana Kaisar Cina.
  • Pada abad ke-10, Kerajaan Islam Perlak telah mengirimkan utusannya ke Cina, menunjukkan bahwa Islam telah berkembang pesat di Nusantara.
Dengan demikian, Teori Hubungan Dagang Arab-Cina lebih masuk akal dibandingkan Teori Gujarat karena didukung oleh bukti sejarah yang lebih kuat.

5. Teori Barus-Fansur Aceh: Pusat Perdagangan dan Penyebaran Islam di Nusantara

Salah satu teori yang menegaskan bahwa Islam masuk ke Nusantara lebih awal dari yang selama ini diajarkan dalam buku sejarah adalah Teori Barus-Fansur Aceh. Teori ini didasarkan pada fakta bahwa wilayah Barus dan Fansur di pesisir barat Aceh telah dikenal dunia sejak zaman kuno sebagai penghasil kapur barus berkualitas tinggi, yang sangat dibutuhkan dalam berbagai bidang seperti pengobatan, pengawetan jenazah, parfum, dan ritual keagamaan.

Banyak catatan sejarah dari berbagai peradaban, mulai dari Arab, Persia, Cina, hingga Yunani, yang menyebutkan tentang kapur barus dari Fansur. Keberadaan kota dagang ini yang begitu strategis menjadikannya sebagai titik awal pertemuan antara pedagang Arab-Muslim dengan masyarakat Nusantara, sehingga Islam masuk ke wilayah ini lebih awal dibandingkan daerah lain di Indonesia.

A. Barus-Fansur: Kota Dagang Tertua di Nusantara

1. Bukti Sejarah Kapur Barus dalam Perdagangan Global

Barus-Fansur telah disebut dalam berbagai sumber kuno sebagai pusat penghasil kapur barus terbaik di dunia.
  • Dalam catatan sejarah Arab, Persia, dan Yunani, kapur barus dari Fansur dikenal sebagai "al-Kafur al-Fansuri", yang disebut dalam berbagai buku botani, kedokteran, dan perjalanan.
  • Ibn al-Atir (wafat 1233 M) dan Ibn al-Baladuri (wafat 1473 M) mencatat bahwa saat perebutan ibu kota Dinasti Sassanid (Ctesiphon) oleh pasukan Muslim pada tahun 637 M, ditemukan kamper/kafur dalam jumlah besar yang awalnya dikira garam.
  • Ibn Gulgul (abad ke-10 M), Ibn Sarabiyun, dan Ibn al-Baytar mencatat bahwa kamper dari Fansur digunakan dalam pengobatan dan ritual keagamaan sejak abad ke-9 M.
Keberadaan kapur barus dari Barus-Fansur dalam perdagangan dunia menunjukkan bahwa jalur perdagangan internasional sudah aktif sejak masa pra-Islam, yang memungkinkan Islam masuk lebih awal ke Nusantara.

2. Barus dalam Catatan Peradaban Arab dan Persia

Para ilmuwan Arab dan Persia sejak abad ke-9 hingga abad ke-15 sering menyebut kapur barus dari Fansur dalam karya-karya mereka:
  • Al-Kindi (abad ke-9 M) menyebutkan bahwa kapur barus adalah salah satu unsur utama dalam industri parfum dan obat-obatan di dunia Islam.
  • Ibnu Sina (Avicenna, abad ke-10 M) dalam bukunya Al-Qanun Fi al-Tib mencatat bahwa kamper digunakan sebagai obat penenang, antipiretik, dan antiseptik.
  • Al-Razi (abad ke-9 M) mengembangkan 31 resep pengobatan berbasis kapur barus, termasuk untuk menangani penyakit pes dan infeksi.
  • Dari bukti ini, terlihat bahwa kapur barus dari Fansur tidak hanya terkenal di dunia perdagangan, tetapi juga menjadi bagian penting dalam dunia kedokteran dan sains Islam, yang memperkuat posisi Nusantara dalam peradaban Islam.

B. Barus-Fansur sebagai Pintu Masuk Islam ke Nusantara

1. Bukti Keberadaan Komunitas Muslim di Barus Sejak Abad ke-7 M

  • Dokumen sejarah Cina mencatat bahwa pada tahun 625 Masehi, hanya 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama, telah ditemukan perkampungan Muslim di pesisir Sumatera.
  • Prof. Dr. HAMKA menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Cina yang mengembara pada tahun 674 Masehi menemukan komunitas Arab-Muslim di pesisir barat Sumatera, yang kemungkinan besar adalah Barus atau Fansur.
  • Dalam kitab sejarah Cina Chiu T’hang Shu (abad ke-7 M), disebutkan bahwa Kekaisaran Cina menerima kunjungan diplomatik dari utusan Muslim pada tahun 651 M, yang berarti interaksi dengan dunia Islam sudah terjadi dalam periode sangat awal.
Jika komunitas Muslim telah eksis di Sumatera sejak abad ke-7, maka kemungkinan besar Islam masuk melalui pelabuhan dagang Barus-Fansur, yang telah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan kapur barus sejak zaman kuno.

2. Barus dalam Literatur Geografi Islam

Banyak sejarawan Muslim yang mencatat keberadaan Barus sebagai pusat perdagangan dan tempat persinggahan penting bagi pedagang Muslim.
  • Ibnu Khurdadhbih (abad ke-9 M) menyebutkan bahwa di belakang Serendib (Sri Lanka) terdapat daerah yang menghasilkan kayu gaharu, kapur barus, dan emas—yang diyakini sebagai Barus dan sekitarnya.
  • Abu Zaid Hasan (916 M) menyebut bahwa Fansur dan Barus adalah daerah penting dalam jalur perdagangan Islam, dengan komoditas utama berupa kapur barus dan kayu gaharu.
  • Masudi (943 M) mencatat bahwa Fansur adalah satu-satunya daerah yang menghasilkan kapur barus dalam jumlah besar dan menjadi pusat perdagangan internasional.
Bukti ini menunjukkan bahwa pedagang Muslim telah menjadikan Barus sebagai pusat perdagangan strategis sejak abad ke-9 M, yang mempercepat proses penyebaran Islam di Nusantara.

C. Hubungan Barus-Fansur dengan Kerajaan Islam Nusantara

1. Peran Barus dalam Perkembangan Islam di Sumatera

  • Barus-Fansur bukan hanya kota dagang, tetapi juga menjadi pusat awal perkembangan Islam di Sumatera.
  • Islam berkembang lebih pesat di Barus dibandingkan daerah lain karena interaksi langsung dengan pedagang Muslim dari Arab dan Persia.
  • Para ulama dari Barus kemudian menyebarkan Islam ke kerajaan-kerajaan di sekitar Sumatera, termasuk Perlak, Pasai, dan Aceh Darussalam.
  • Barus disebut dalam berbagai literatur sebagai salah satu pusat intelektual Islam awal di Nusantara, tempat banyak ulama belajar dan berdakwah.

D. Barus-Fansur sebagai Pusat Islamisasi Awal di Nusantara

Dari berbagai bukti sejarah dan arkeologi, dapat disimpulkan bahwa:
  1. Barus-Fansur adalah pusat perdagangan internasional yang telah berinteraksi dengan dunia Islam sejak abad ke-7 Masehi, menjadikannya sebagai pintu gerbang awal masuknya Islam ke Nusantara.
  2. Komunitas Muslim telah eksis di Barus sejak abad ke-7, sebagaimana dicatat dalam sejarah Cina dan Arab.
  3. Barus disebut dalam banyak literatur Islam sebagai pusat perdagangan kapur barus yang terkenal di dunia, yang mempercepat penyebaran Islam melalui jalur perdagangan.
  4. Para ulama dan pedagang Muslim dari Barus berperan dalam penyebaran Islam ke kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, termasuk Perlak, Pasai, dan Aceh Darussalam.
Dengan demikian, Teori Barus-Fansur memberikan bukti kuat bahwa Islam masuk ke Nusantara jauh sebelum abad ke-13, sebagaimana yang diklaim dalam Teori Gujarat.

6. Teori Kaafuro dalam al-Qur’an: Jejak Kafur Barus sebagai Penghubung Islam dan Nusantara

Islamisasi di Nusantara, khususnya di Aceh, dapat ditelusuri melalui berbagai teori sejarah, salah satunya adalah Teori Kaafuro dalam al-Qur’an. Teori ini berangkat dari adanya kata "kafur" dalam al-Qur’an, yang diyakini merujuk pada kapur barus dari Barus, Aceh, yang telah menjadi komoditas mewah sejak zaman kuno.

Dengan kata lain, kemunculan kata "kafur" dalam kitab suci umat Islam bukan sekadar menunjukkan pentingnya kapur barus dalam dunia Arab dan Islam, tetapi juga menjadi bukti bahwa Nusantara telah terhubung dengan dunia Islam sejak periode yang sangat awal, bahkan sebelum Islam berkembang di wilayah lain.

A.  Kafur dalam al-Qur’an: Bukti Keagungan Komoditas Barus di Dunia Islam

1. Makna Kafur dalam al-Qur’an

Kata "kafur" disebutkan dalam al-Qur’an, tepatnya dalam Surah Al-Insan (76) ayat 5:
"Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan akan meminum dari gelas, minuman yang dicampur kafur."

Para mufassir, seperti Ibn Abbas, Jalalain, al-Qurthubi, dan Ibn Katsir, sepakat bahwa kafur dalam ayat ini mengacu pada: 

  • Minuman yang menenangkan dan menyegarkan, memberikan kenikmatan bagi penghuni surga.
  • Obat dan wewangian, yang dikenal di dunia Arab sejak zaman pra-Islam.
  • Sumber kenikmatan dan kemewahan, yang dalam konteks historis merujuk pada kapur barus dari Barus, Nusantara.
Sejarawan Islam Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab menyebutkan bahwa kafur bukanlah kata asli dalam bahasa Arab, karena tidak ditemukan dalam bahasa Arab Jahiliyah. Artinya, kata ini berasal dari bahasa asing yang telah masuk ke dalam kosa kata Arab, dan dalam konteks perdagangan, hal ini merujuk pada kapur barus dari Nusantara.

2. Kafur dalam Kajian Sejarah dan Bahasa

Pendapat ini juga didukung oleh Karel Steenbrink, seorang pakar Islamisasi di Nusantara. Menurutnya:
  • Kata "kafur" dalam al-Qur’an secara etimologis bukan berasal dari bahasa Arab, tetapi dari bahasa Melayu.
  • Kafur sebagai komoditas sudah masuk ke dunia Islam sejak abad ke-7, yang berarti para pedagang Muslim telah membawa kapur barus dari Nusantara ke wilayah Arab dan Persia sejak awal perkembangan Islam.
Dengan demikian, kata "kafur" dalam al-Qur’an bukan hanya menjadi penghubung etimologis antara Islam dan Nusantara, tetapi juga menegaskan bahwa wilayah Barus, Fansur, dan Aceh telah memiliki hubungan erat dengan dunia Islam jauh sebelum teori-teori kolonial menyebutkan Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13.

B. Barus sebagai Penghasil Kafur: Bukti Hubungan Islam dan Nusantara

1. Barus dalam Catatan Sejarah Islam

Sejak zaman kuno, Barus dan Fansur di pesisir barat Aceh telah terkenal sebagai penghasil kapur barus terbaik di dunia. Banyak catatan dari berbagai peradaban, termasuk Arab, Persia, dan Cina, yang menyebutkan tentang kapur barus dari Barus, di antaranya:
  • Ibn al-Atir (wafat 1233 M) dan Ibn al-Baladuri (wafat 1473 M) mencatat bahwa pada tahun 637 M, ketika pasukan Muslim menaklukkan ibu kota Dinasti Sassanid (Ctesiphon, Persia), mereka menemukan kapur barus dalam jumlah besar.
  • Ibnu Sina (Avicenna, abad ke-10 M) dalam Al-Qanun Fi al-Tib mencatat bahwa kapur barus digunakan sebagai obat penenang, antiseptik, dan penyegar tubuh.
  • Ibnu Khurdadhbih (abad ke-9 M) mencatat bahwa kapur barus dari Fansur adalah barang dagangan berharga dalam perdagangan global.
Dengan demikian, kapur barus dari Barus telah menjadi komoditas global sejak awal abad ke-7 M, yang memperkuat teori bahwa wilayah Nusantara telah berinteraksi dengan dunia Islam sebelum Islam berkembang luas di wilayah lain.

2. Barus dalam Catatan Geografi Islam

Banyak ahli geografi Muslim yang menyebutkan Barus sebagai pusat perdagangan dan pertemuan para pedagang Muslim:
  • Masudi (943 M) menyebut bahwa Fansur adalah satu-satunya wilayah yang menghasilkan kapur barus dalam jumlah besar, menjadikannya sebagai pusat perdagangan internasional.
  • Abu Zaid Hasan (916 M) mencatat bahwa Ramni (Sumatera Utara) adalah wilayah yang kaya akan komoditas seperti kapur barus dan kayu gaharu.
  • Marco Polo (1292 M) dalam perjalanannya dari Cina ke Eropa juga menyebutkan bahwa Barus dan Perlak telah menerima pengaruh Islam lebih awal dibandingkan daerah lain di Nusantara.
Bukti ini semakin memperkuat bahwa Barus adalah salah satu titik awal masuknya Islam ke Nusantara, dan komoditas kapur barus menjadi faktor utama yang menghubungkan dunia Islam dengan Nusantara sejak awal.

C. Hubungan Aceh dan Islam: Kehormatan bagi Negeri Kafur

1. Barus sebagai Pintu Gerbang Islam di Nusantara

Jika kita mengambil hikmah dari penggunaan kata kafur dalam al-Qur’an, maka tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Allah telah memberikan perhatian khusus kepada tanah yang menghasilkan kafur, yaitu Barus, Aceh.
  • Aceh telah lama menjadi pusat peradaban Islam di Nusantara, yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Islam Perlak, Pasai, dan Aceh Darussalam.
  • Barus tidak hanya menjadi pusat perdagangan, tetapi juga menjadi pusat penyebaran Islam di Nusantara, yang kemudian menggantikan dominasi Hindu-Buddha.
  • Para pedagang Muslim yang datang ke Barus turut menyebarkan Islam, sehingga menjadikan Barus sebagai salah satu tempat awal berkembangnya Islam di Nusantara.

D. Kesimpulan: Kata Kaafuro sebagai Jejak Islamisasi Awal di Nusantara

Berdasarkan berbagai bukti yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa:
  1. Kata "kafur" dalam al-Qur’an bukan berasal dari bahasa Arab asli, tetapi dari bahasa Melayu, yang merujuk pada kapur barus dari Barus, Aceh.
  2. Sejak abad ke-7 Masehi, kapur barus dari Barus telah menjadi komoditas utama dalam perdagangan dunia Islam, yang menunjukkan bahwa Nusantara telah memiliki hubungan erat dengan dunia Islam sejak awal perkembangan Islam.
  3. Para mufassir dan sejarawan Islam mencatat bahwa kapur barus dari Barus adalah simbol kemewahan dan digunakan dalam berbagai bidang, seperti pengobatan, parfum, dan ritual keagamaan.
  4. Barus menjadi titik awal interaksi antara Nusantara dan dunia Islam, sehingga tidak mengherankan jika wilayah ini menjadi salah satu pusat penyebaran Islam pertama di Nusantara.
Dengan demikian, Teori Kaafuro dalam al-Qur’an memberikan perspektif baru dalam memahami sejarah masuknya Islam ke Nusantara. Islam bukan hanya datang melalui Gujarat atau India, tetapi memiliki jalur langsung dari dunia Arab ke Nusantara melalui jalur perdagangan kapur barus dari Barus, Aceh.

7. Teori Korespondensi Khalifah Abdul Aziz-Raja Sri Indravarman: Awal Islamisasi di Nusantara

Salah satu teori yang memperkuat masuknya Islam ke Nusantara sejak abad ke-7 Masehi adalah Teori Korespondensi antara Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Raja Sriwijaya, Sri Indravarman. Teori ini didasarkan pada catatan sejarah dalam kitab Al-Iqd al-Farid karya Ibn Abd al-Rabbih, yang kemudian dikutip oleh sejarawan Islam, Azyumardi Azra, dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII.

Teori ini menunjukkan bahwa hubungan antara Nusantara dan dunia Islam bukan hanya sebatas perdagangan, tetapi juga mencakup hubungan diplomatik dan keagamaan, di mana para penguasa di Nusantara mulai menunjukkan ketertarikan terhadap Islam.

A. Bukti Korespondensi antara Raja Sri Indravarman dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz

1. Isi Surat Raja Sri Indravarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Dalam catatan Ibn Abd al-Rabbih, disebutkan bahwa Sri Indravarman, Raja Sriwijaya pada abad ke-8 Masehi, mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717–720 M), yang merupakan khalifah dari Dinasti Umayyah yang dikenal adil dan saleh., Berikut kutipan isi surat tersebut:
"Dari Raja di Raja (Malik al-Amlak) yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan Tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya."

Dari isi surat ini, beberapa poin penting dapat diambil:

  • Raja Sri Indravarman menyebut dirinya sebagai "Raja di Raja", yang menunjukkan bahwa Sriwijaya saat itu adalah kerajaan besar dan kuat di Asia Tenggara.
  • Sriwijaya memiliki komoditas unggulan seperti gaharu, rempah-rempah, pala, dan kapur barus, yang menegaskan bahwa Nusantara telah menjadi pusat perdagangan global.
  • Raja Sriwijaya mengakui keberadaan Islam dan menunjukkan ketertarikannya terhadap ajaran Islam, dengan meminta khalifah mengirimkan seorang ulama untuk mengajarkan Islam dan hukum-hukumnya. 

2. Tahun Korespondensi dan Awal Islamisasi Politik di Nusantara

Menurut perkiraan sejarah, korespondensi ini terjadi pada tahun 100 Hijriah atau sekitar 718 Masehi.
  • Sebelumnya, Islam masuk ke Nusantara melalui jalur perdagangan, di mana para pedagang Arab dan Persia yang datang ke pelabuhan-pelabuhan di Sumatera dan Jawa turut menyebarkan ajaran Islam.
  • Setelah korespondensi ini, hubungan Islam dengan Nusantara berkembang ke arah politik dan diplomasi, dengan adanya komunikasi langsung antara penguasa Nusantara dan pemimpin dunia Islam di Arab.
Namun, sejarah tidak mencatat secara pasti apakah Sri Indravarman akhirnya memeluk Islam atau tidak. Meski demikian, permintaan Raja Sriwijaya agar dikirimkan ulama untuk mengajarkan Islam menunjukkan bahwa Islam mulai masuk ke dalam struktur kerajaan dan kehidupan politik Nusantara, yang kemudian berlanjut pada era kerajaan-kerajaan Islam seperti Perlak, Pasai, dan Aceh Darussalam.

B. Dampak Korespondensi terhadap Islamisasi Nusantara

1. Pengaruh terhadap Penyebaran Islam di Kerajaan Sriwijaya

Sriwijaya pada abad ke-7 hingga ke-11 Masehi dikenal sebagai pusat agama Buddha Mahayana, dengan hubungan erat ke India dan Tiongkok. Namun, adanya korespondensi ini menunjukkan bahwa pengaruh Islam mulai masuk ke lingkungan istana Sriwijaya.

Dampak dari hubungan diplomatik ini antara lain:
  • Meningkatnya hubungan antara Sriwijaya dan dunia Islam, yang tidak lagi terbatas pada perdagangan tetapi juga mencakup aspek keagamaan dan budaya. 
  • Masuknya ulama ke Sriwijaya, yang kemungkinan besar mulai berdakwah di kalangan istana dan masyarakat umum.
  • Terbukanya pintu bagi penyebaran Islam di wilayah Nusantara lainnya, khususnya di Sumatera dan Semenanjung Malaya.
Hal ini dapat dilihat dari perkembangan Islam di wilayah sekitar Sriwijaya, seperti:
  • Kerajaan Islam Perlak (berdiri tahun 805 Masehi), yang menjadi salah satu kerajaan Islam pertama di Nusantara.
  • Kerajaan Samudera Pasai (abad ke-13), yang menjadi pusat studi Islam dan perdagangan Islam di Sumatera.

2. Awal Islamisasi Raja-Raja di Nusantara

Sebelum korespondensi ini, Islam lebih dikenal di Nusantara sebagai agama pedagang. Namun, setelah hubungan diplomatik antara Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Raja Sri Indravarman, Islam mulai memasuki lingkungan kerajaan dan kekuasaan politik di Nusantara.

Pada abad-abad berikutnya, Islam mulai dianut oleh para raja di Nusantara, yang kemudian membawa kepada:
  • Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera, Jawa, Kalimantan, hingga Sulawesi.
  • Transformasi sosial dan budaya, dari sistem kepercayaan Hindu-Buddha menuju nilai-nilai Islam.
  • Hubungan yang lebih erat antara Nusantara dan dunia Islam di Timur Tengah, yang semakin berkembang pada era Kesultanan Aceh dan Kesultanan Demak.

C. Kesimpulan: Korespondensi Sebagai Bukti Masuknya Islam ke Nusantara Sejak Awal

Berdasarkan teori ini, dapat disimpulkan bahwa:
  1. Islam telah dikenal oleh penguasa Nusantara sejak abad ke-7 hingga ke-8 Masehi, jauh sebelum Islam berkembang pesat pada abad ke-13 sebagaimana yang diklaim oleh Teori Gujarat.
  2. Korespondensi antara Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Raja Sri Indravarman menunjukkan bahwa Islamisasi di Nusantara tidak hanya melalui jalur perdagangan, tetapi juga melalui hubungan diplomatik dan politik.
  3. Permintaan Raja Sri Indravarman agar dikirimkan ulama menunjukkan ketertarikan kalangan kerajaan terhadap Islam, yang kemungkinan besar menjadi cikal bakal penyebaran Islam di Sumatera dan sekitarnya.
  4. Setelah era Sriwijaya, Islam mulai berkembang lebih pesat, yang ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam seperti Perlak, Pasai, dan Aceh Darussalam.
Dengan demikian, Teori Korespondensi Khalifah Abdul Aziz-Raja Sri Indravarman menjadi salah satu bukti kuat bahwa Islam masuk ke Nusantara lebih awal dari yang selama ini diajarkan dalam buku-buku sejarah, dan bahwa Islamisasi di Nusantara tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga memiliki dimensi politik yang signifikan.

8. Teori Kerajaan Islam Perlak: Awal Islamisasi dan Peradaban Islam di Nusantara

Kerajaan Islam Perlak merupakan salah satu bukti kuat bahwa Islam telah berkembang di Nusantara jauh sebelum abad ke-13, sebagaimana yang diklaim dalam Teori Gujarat. Berdiri pada tahun 840 Masehi, Kerajaan Perlak dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara dan menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah Sumatera, Semenanjung Malaya, dan sekitarnya.

Perlak memiliki posisi strategis sebagai bandar dagang internasional yang menjadi tempat persinggahan para pedagang Arab, Persia, dan India. Akibatnya, terjadi asimilasi budaya dan agama, yang mendorong perkembangan komunitas Muslim di Perlak, hingga akhirnya berdirinya sebuah pemerintahan Islam di bawah Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah.

Teori ini menegaskan bahwa Aceh adalah pusat awal peradaban Islam di Nusantara, jauh sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lain seperti Samudera Pasai, Demak, dan Mataram.

A. Asal-Usul Kerajaan Islam Perlak

1. Perlak sebagai Pusat Perdagangan Islam di Nusantara

Perlak merupakan pelabuhan dagang utama di Nusantara yang terkenal dengan hasil kayu gaharu, kapur barus, rempah-rempah, dan emas.
  • Pada abad ke-8 Masehi, pelabuhan ini telah dikuasai oleh para pedagang Muslim dari Persia dan Arab, yang menjadikan Perlak sebagai pusat aktivitas perdagangan Islam di Asia Tenggara.
  • Banyak pedagang Muslim yang menetap di Perlak, menikah dengan penduduk setempat, dan membentuk komunitas Muslim yang berkembang pesat.
  • Akhirnya, komunitas Muslim ini membangun pemerintahan Islam pertama di Nusantara, dengan mendirikan Kerajaan Islam Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 Masehi).

2. Hubungan Perlak dengan Kerajaan Islam Jeumpa

Kerajaan Perlak memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Islam Jeumpa, yang telah berdiri sebelumnya pada tahun 777 Masehi.
  • Pendiri Kerajaan Islam Perlak adalah Maulana Abdul Aziz Syah, cucu dari Syahr Nuwi, seorang Pangeran Jeumpa yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh penyebaran Islam awal di Aceh.
  • Perlak berkembang sebagai kerajaan yang mewarisi budaya Islam dari Jeumpa, yang sebelumnya telah menerima pengaruh dakwah Islam dari para pedagang Arab dan Persia.
  • Dengan berdirinya Perlak, Islam semakin kuat di wilayah Aceh, yang kemudian berkembang ke Samudera Pasai, Malaka, hingga ke Jawa.

B. Kerajaan Islam Perlak dan Pengaruh Syi’ah di Nusantara

1. Hubungan Perlak dengan Revolusi Syi’ah di Persia

Menurut sejarawan Wan Hussein Azmi, berdirinya Kerajaan Perlak memiliki hubungan dengan Revolusi Syi’ah yang terjadi di Persia pada tahun 744-747 Masehi.
  • Abdullah bin Mu'awiyah, seorang keturunan Ja’far bin Abi Thalib, memimpin pemberontakan melawan Dinasti Umayyah, namun akhirnya kalah dalam Pertempuran Maru Sydhan pada tahun 746 Masehi.
  • Para pengikutnya melarikan diri ke India, Semenanjung Malaya, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak.
  • Mereka membawa ajaran Islam bercorak Syi’ah, yang kemudian berasimilasi dengan budaya lokal dan berkembang di Perlak.

2. Peran Ulama Syi’ah dalam Penyebaran Islam di Perlak

Berdasarkan naskah tua Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, disebutkan bahwa Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (813-833 Masehi) mengirimkan kelompok dakwah Islam ke Nusantara, yang dipimpin oleh Muhammad bin Ja’far Shadiq, keturunan langsung Ali bin Abi Thalib.
  • Muhammad bin Ja’far Shadiq tiba di Perlak bersama 100 orang pendakwah, yang terdiri dari ulama Arab, Persia, dan India.
  • Ia menikah dengan Putri Makhdum Tansyuri, adik dari penguasa Perlak, Meurah Syahr Nuwi, dan memiliki seorang putra, yaitu Sayyid Abdul Aziz.
  • Sayyid Abdul Aziz kemudian diangkat menjadi Sultan pertama Kerajaan Perlak pada tahun 840 Masehi, dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam telah memiliki pengaruh yang kuat di Nusantara sejak abad ke-9 Masehi, bahkan sebelum berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan Malaka.

C. Perlak sebagai Pusat Islamisasi Nusantara

1. Perlak sebagai Penghubung Dunia Islam dan Nusantara

Sebagai pelabuhan dagang utama, Perlak memiliki hubungan erat dengan pusat-pusat Islam di Timur Tengah dan India.
  • Para pedagang dan ulama dari Timur Tengah sering singgah di Perlak, menjadikan kerajaan ini sebagai pusat dakwah dan pendidikan Islam di Nusantara.
  • Perlak menjadi pelopor dalam membentuk kerajaan-kerajaan Islam lain di Nusantara, seperti Samudera Pasai dan Aceh Darussalam.

2. Pengaruh Perlak dalam Islamisasi Kerajaan-Kerajaan di Nusantara

Kerajaan Perlak memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, yang kemudian melahirkan kerajaan-kerajaan Islam lainnya, seperti:
  • Kesultanan Samudera Pasai (abad ke-13)
    • Pasai berkembang sebagai pusat studi Islam di Nusantara dan menjadi penghubung antara dunia Islam dan kepulauan Melayu.
    • Banyak ulama dari Timur Tengah datang ke Pasai untuk berdakwah dan menyebarkan ilmu Islam.
  • Kesultanan Malaka (abad ke-15)
    • Kesultanan Malaka menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan dan memperkuat dakwah Islam di Semenanjung Malaya.
  • Kesultanan Demak dan Mataram Islam di Jawa (abad ke-15 hingga ke-17)
    • Islam mulai berkembang pesat di Jawa, didukung oleh ulama dari Pasai dan Perlak yang menyebarkan ajaran Islam melalui perdagangan, dakwah, dan pendidikan.

D. Kesimpulan: Perlak sebagai Kerajaan Islam Pertama di Nusantara

Dari berbagai bukti sejarah yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa:
  1. Kerajaan Islam Perlak berdiri pada tahun 840 Masehi, menjadikannya kerajaan Islam pertama di Nusantara.
  2. Perlak berkembang sebagai pusat perdagangan dan Islamisasi, yang menjadi tempat bertemunya para pedagang Arab, Persia, dan India dengan penduduk lokal.
  3. Banyak ulama dan pedagang Muslim menetap di Perlak, menikah dengan penduduk setempat, dan melahirkan generasi Muslim di Nusantara.
  4. Islam berkembang di Perlak melalui jalur perdagangan dan dakwah, hingga akhirnya membentuk pemerintahan Islam di Nusantara.
  5. Perlak menjadi cikal bakal berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, seperti Samudera Pasai, Malaka, dan Demak.
Dengan demikian, Teori Kerajaan Islam Perlak membantah Teori Gujarat yang menyatakan bahwa Islam baru masuk ke Nusantara pada abad ke-13. Fakta sejarah membuktikan bahwa Islam telah berkembang di Nusantara sejak awal abad ke-9, bahkan mungkin lebih awal lagi.

Posting Komentar untuk "Mengungkap Kepalsuan Teori Gujarat: Sejarah Islamisasi Aceh yang Sesungguhnya"