Para kolonialis Barat, dengan segala ambisi dan kepentingan imperialismenya, telah merancang berbagai strategi sistematis untuk memastikan bangsa-bangsa yang mereka jajah tetap dalam kondisi terbelakang, tertinggal, dan kehilangan jati diri. Tujuan utama dari strategi ini adalah agar bangsa jajahan tidak memiliki kesadaran historis yang kuat, sehingga lebih mudah dikendalikan dan dieksploitasi dalam jangka panjang.

Salah satu metode paling efektif yang mereka terapkan adalah dengan memutus hubungan masyarakat jajahan dengan sejarah dan peradaban leluhurnya. Cara ini dilakukan dengan merampas, mencuri, dan menghancurkan peninggalan-peninggalan sejarah yang menjadi bukti kejayaan masa lalu. Artefak-artefak berharga, manuskrip kuno, dan berbagai peninggalan kebudayaan yang mencerminkan kemajuan suatu bangsa sengaja dibawa kabur ke negeri asal para penjajah, dengan dalih penelitian atau pengembangan ilmu pengetahuan. Padahal, tujuan utama mereka adalah menghapus jejak kebesaran bangsa jajahan agar generasi mendatang tidak lagi memiliki referensi untuk membangun identitas nasional yang kuat.
Praktik ini dapat kita lihat dengan jelas dalam sejarah kolonialisme di Nusantara. Bangsa-bangsa penjajah seperti Inggris, Portugis, dan Belanda telah secara sistematis mengangkut berbagai bukti kejayaan peradaban Islam di Nusantara ke Eropa. Manuskrip kuno, kitab-kitab intelektual Muslim, serta artefak kebudayaan yang menjadi simbol kemajuan peradaban Islam di wilayah ini dirampas dan disimpan di museum-museum mereka. Dengan hilangnya peninggalan-peninggalan ini, generasi muda di tanah jajahan pun kehilangan akses terhadap akar sejarahnya, yang pada akhirnya menyebabkan keterputusan identitas dan kebanggaan terhadap warisan leluhur mereka.
Strategi ini bukan sekadar upaya merampas harta benda berharga, tetapi juga bagian dari agenda besar untuk memastikan bahwa bangsa jajahan tetap dalam keadaan lemah secara intelektual dan kultural. Tanpa akses terhadap sejarah mereka sendiri, masyarakat akan lebih mudah dipengaruhi oleh narasi yang diciptakan oleh penjajah, yang sering kali menggambarkan bahwa bangsa mereka tidak memiliki peradaban maju sebelum kedatangan Barat. Inilah yang membuat banyak generasi muda di era modern mengalami krisis identitas, karena sejarah besar mereka telah sengaja dihapus atau dikaburkan oleh kepentingan kolonialisme.
Oleh karena itu, upaya untuk merebut kembali dan melestarikan warisan sejarah bangsa menjadi sangat penting. Kesadaran sejarah bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga sebagai fondasi untuk membangun masa depan yang lebih bermartabat dan berdaulat.
Setelah berhasil merampas dan menghancurkan bukti-bukti sejarah kejayaan Nusantara, para kolonialis Barat melanjutkan agenda mereka dengan menerapkan politik divide et impera atau politik pecah belah. Strategi ini terbukti menjadi alat yang sangat efektif dalam mempertahankan kekuasaan kolonial di tanah jajahan. Dengan menciptakan konflik internal, mereka berhasil membuat bangsa yang dijajah sibuk bertikai satu sama lain, sehingga tidak sempat bersatu melawan penjajahan.
Salah satu bentuk nyata dari politik pecah belah ini adalah dengan menanamkan fanatisme kesukuan yang menggantikan semangat persatuan dalam Islam (ghirah Islamiyah). Para penjajah memanfaatkan perbedaan etnis, suku, dan budaya yang ada di Nusantara untuk menciptakan konflik horizontal di antara sesama Muslim. Akibatnya, bangsa yang seharusnya bersatu melawan kolonialisme justru saling bertikai dan melemahkan diri sendiri.
Strategi Adu Domba di Nusantara: Konflik Padang dan Aceh
Salah satu contoh nyata dari strategi adu domba ini adalah bagaimana Belanda berhasil memecah belah bangsa Muslim Nusantara, terutama antara masyarakat Padang dan Aceh. Kedua bangsa ini dikenal sebagai pilar penting dalam sejarah Islam di Nusantara, dengan kekuatan militer dan semangat juang yang tinggi dalam melawan penjajahan. Namun, alih-alih bersatu, mereka justru diadu domba oleh Belanda demi kepentingan kolonial.
Belanda merekrut pemuda-pemuda Padang untuk bergabung dalam Pasukan Marsose, sebuah unit militer yang dibentuk khusus untuk menumpas perlawanan rakyat Aceh. Pasukan ini dikenal sebagai salah satu pasukan kolonial paling brutal yang pernah dibentuk di Nusantara. Mereka dilatih dengan doktrin militer Belanda dan dipersenjatai dengan peralatan canggih untuk menghadapi para pejuang Islam yang mempertahankan tanah airnya dari cengkeraman penjajah.
Salah satu tokoh yang berperan dalam pembentukan Pasukan Marsose adalah Muhammad Syarief, seorang tokoh dari Padang yang akhirnya menjadi antek Belanda. Dengan kepemimpinannya, Pasukan Marsose melakukan berbagai operasi militer di Aceh, yang menyebabkan pertumpahan darah di antara sesama Muslim. Mujahidin fi sabilillah yang berjuang mempertahankan tanah air dan agamanya menjadi korban dari saudara sendiri yang telah menjadi alat penjajah. Atas jasanya dalam membantai rakyat Aceh, Muhammad Syarief bahkan dianugerahi medali penghargaan tertinggi dari Ratu Belanda sebuah bukti bagaimana penjajah memanfaatkan pengkhianatan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Mitos Kolonial tentang Peradaban Nusantara: Dari Bangsa Agung Menjadi Bangsa Primordial
Selain menerapkan politik adu domba, para kolonialis Barat juga secara sistematis membangun narasi palsu tentang sejarah dan peradaban Nusantara. Mereka menggambarkan masyarakat Nusantara sebagai bangsa yang primitif, tidak beradab, dan tidak memiliki kemajuan intelektual sebelum kedatangan mereka. Tujuan dari propaganda ini adalah untuk meyakinkan dunia bahwa penjajahan adalah sebuah "misi peradaban" (civilizing mission) sebuah dalih yang digunakan untuk membenarkan eksploitasi dan penindasan yang mereka lakukan.
Para sejarawan kolonial sering membandingkan peradaban Nusantara dengan suku-suku primitif di belahan dunia lain. Mereka menggambarkan masyarakat Nusantara seolah-olah mirip dengan suku Papua di Lembah Baliem yang hidup telanjang dan tinggal di atas pohon. Padahal, kenyataannya sangat berbeda jauh. Nusantara merupakan salah satu peradaban tertua di dunia yang telah memiliki sistem sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang berkembang pesat sejak ribuan tahun lalu.
Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa Aceh, yang sering digambarkan sebagai daerah terbelakang oleh kolonialis, sebenarnya memiliki warisan peradaban yang luar biasa. Sebelum berkembangnya Islam, wilayah ini telah menjadi pusat kerajaan-kerajaan Hindu yang maju, seperti Kerajaan Indra Pura, Indra Purba, Indra Patra, dan lainnya. Keberadaan kerajaan-kerajaan ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut telah memiliki sistem pemerintahan yang mapan dan budaya yang berkembang jauh sebelum kedatangan bangsa Barat.
Namun, melalui manipulasi sejarah, para penjajah berhasil menghapus ingatan kolektif masyarakat Nusantara tentang kejayaan leluhur mereka. Dengan menghilangkan kebanggaan akan sejarah sendiri, penjajah menciptakan generasi yang tidak memiliki rasa percaya diri, sehingga lebih mudah dikendalikan dan dieksploitasi.
Strategi kolonial dalam menjajah Nusantara bukan hanya terbatas pada eksploitasi sumber daya alam, tetapi juga mencakup penghancuran identitas dan peradaban bangsa. Politik pecah belah, adu domba, serta penciptaan mitos sejarah yang menyesatkan adalah senjata utama mereka dalam mempertahankan kekuasaan. Oleh karena itu, untuk membebaskan diri dari warisan kolonialisme, bangsa Nusantara harus kembali menggali sejarah yang sebenarnya, merekonstruksi identitas nasional, serta menumbuhkan kesadaran akan pentingnya persatuan dan kedaulatan.
Hanya dengan memahami sejarah secara utuh, kita dapat terhindar dari jebakan penjajahan gaya baru yang mungkin masih berlangsung dalam berbagai bentuk hingga hari ini.
Sumatera dalam Catatan Sejarah Kuno: Negeri Emas dan Pusat Perdagangan Dunia
Sumatera, pulau terbesar keenam di dunia, memiliki sejarah panjang yang terekam dalam berbagai catatan peradaban kuno. Jauh sebelum dikenal dengan nama Sumatera, pulau ini telah tercatat dalam berbagai sumber sejarah sebagai Taprobana, Chryse Nesos (Pulau Emas), dan bahkan Ophir negeri kaya yang disebut dalam berbagai kitab suci. Dari peradaban Yunani, Romawi, hingga Timur Tengah, Sumatera telah menjadi pusat perdagangan dan sumber komoditas berharga sejak ribuan tahun lalu.
Taprobana: Nama Sumatera dalam Peradaban Yunani Kuno Bangsa Yunani kuno telah mengenal Sumatera dengan sebutan Taprobana Insula. Istilah ini pertama kali dicatat oleh Claudius Ptolemeus, seorang ahli geografi Yunani pada abad ke-2 Masehi dalam karyanya Geographike Hyphegesis yang ditulis pada tahun 165 M. Dalam karyanya, Ptolemeus menggambarkan Taprobana sebagai sebuah pulau besar yang menjadi jalur utama menuju Tiongkok serta pusat perdagangan wewangian dan emas.
Salah satu kota pelabuhan yang disebut oleh Ptolemeus adalah Barousai (Barus), sebuah kota dagang terkenal yang terletak di pantai barat Sumatera. Barus sejak zaman kuno telah dikenal sebagai penghasil kapur barus, komoditas langka yang sangat dihargai di dunia Mediterania dan Timur Tengah. Kapur barus yang berasal dari kayu kamfer di Barus digunakan oleh bangsa Mesir kuno untuk membalsem mayat sejak era Ramses II, sekitar 5000 tahun lalu.
Selain itu, dalam naskah Yunani tahun 70 M, Periplous tes Erythras Thalasses, Taprobana juga dijuluki Chryse Nesos atau Pulau Emas. Hal ini menunjukkan bahwa sejak zaman purba, Sumatera telah menjadi tujuan para pedagang dari kawasan Laut Tengah yang datang untuk mencari emas, kemenyan (Styrax sumatrana), dan kapur barus (Dryobalanops aromatica). Komoditas ini tidak hanya diperjualbelikan di kawasan Asia, tetapi juga mencapai Asia Barat dan Afrika Timur, sebagaimana dicatat dalam Historia Naturalis karya Plinius pada abad pertama Masehi.
Ophir: Negeri Emas dalam Kitab Suci dan Hubungannya dengan Sumatera
Dalam berbagai kitab suci dan literatur kuno, disebutkan adanya negeri kaya raya bernama Ophir, yang dipercaya sebagai tempat Raja Sulaiman (King Solomon) memperoleh emas dalam jumlah besar. Dalam Kitab Yahudi Melakim (Raja-raja), fasal 9, diceritakan bahwa Raja Solomon menerima 420 talenta emas dari Raja Hiram dari Tirus. Emas ini diperoleh dari Ophir, negeri yang diberkati dan kaya akan hasil bumi.
Keberadaan Ophir juga disebut dalam Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ ayat 81, yang menjelaskan tentang kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. yang berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha). Banyak ahli sejarah yang meyakini bahwa negeri Ophir yang disebut dalam kitab suci ini merujuk pada Sumatera.
Keyakinan ini diperkuat oleh hubungan erat antara Kota Tirus (pusat perdagangan Fenisia di Timur Tengah) dengan kawasan Nusantara. Ptolemeus sendiri menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari Marinus, seorang pedagang dari Tirus yang memiliki akses luas terhadap informasi jalur perdagangan Asia Tenggara.
Dalam perjalanannya, banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 yang datang ke Sumatera dengan keyakinan bahwa di sinilah letak negeri Ophir yang legendaris, tempat asal emas yang disebut dalam kitab suci. Mereka datang dengan harapan menemukan sumber daya alam yang melimpah, sebagaimana yang telah dicatat oleh para penjelajah kuno.
Jalur Perdagangan Kuno: Menghubungkan Timur dan Barat
Perdagangan antara kawasan Timur (Cina, India, Nusantara) dengan Timur Tengah dan Eropa telah berlangsung sejak ribuan tahun lalu melalui dua jalur utama:
1. Jalur Darat (Jalur Sutra)
Jalur ini, yang dikenal sebagai Silk Road, menghubungkan Cina Utara dengan Asia Tengah dan Turkistan hingga ke Laut Tengah. Rute ini telah digunakan sejak 500 tahun sebelum Masehi, menjadi jalur utama bagi perdagangan sutra, rempah-rempah, serta barang-barang berharga lainnya antara Asia dan Eropa.
2. Jalur Laut (Maritime Silk Road)
Jalur laut lebih kompleks dan luas, dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) menuju Nusantara, lalu melalui Selat Malaka ke India. Dari India, jalur perdagangan ini bercabang ke Laut Tengah melalui dua rute:
- Melalui Teluk Persia dan Suriah
- Melalui Laut Merah dan Mesir
Perdagangan laut antara Nusantara, Laut Merah, dan Cina diyakini sudah berlangsung sejak abad pertama Masehi, jauh sebelum bangsa Eropa menemukan jalur pelayaran ke Asia. Dalam perjalanan ini, Sumatera berperan sebagai pusat perdagangan utama, terutama dalam penyediaan rempah-rempah, kemenyan, kapur barus, dan emas.
Berdasarkan berbagai catatan sejarah dan sumber kuno, Sumatera bukan hanya sebuah pulau besar di Asia Tenggara, tetapi juga memiliki peran strategis dalam peta perdagangan dunia sejak ribuan tahun lalu.
- Bangsa Yunani kuno telah mengenalnya dengan nama Taprobana, dan menyebutnya sebagai jalur perdagangan penting menuju Tiongkok.
- Kapur barus dari Barus menjadi komoditas langka yang telah dikenal di Mesir sejak era Ramses II.
- Sumatera juga dikenal sebagai Chryse Nesos atau Pulau Emas, karena menjadi tujuan utama para pedagang dari kawasan Laut Tengah yang mencari emas dan rempah-rempah.
- Banyak ahli sejarah percaya bahwa Sumatera adalah negeri Ophir yang disebut dalam kitab suci sebagai sumber emas Raja Sulaiman.
- Dengan letaknya yang strategis, Sumatera menjadi bagian penting dalam Jalur Sutra Maritim, menghubungkan Cina, India, Timur Tengah, dan Eropa sejak abad pertama Masehi.
Sejarah panjang Sumatera sebagai pusat perdagangan dunia membuktikan bahwa Nusantara bukanlah wilayah terpencil yang baru berkembang setelah kedatangan bangsa Eropa. Sebaliknya, Nusantara telah menjadi bagian dari sistem perdagangan global sejak ribuan tahun lalu, dengan komoditas unggulannya yang dicari oleh peradaban-peradaban besar dunia.
Dengan memahami sejarah ini, kita semakin menyadari betapa pentingnya peran Sumatera dalam perjalanan peradaban manusia. Kejayaan ini seharusnya menjadi inspirasi bagi generasi sekarang untuk mengembangkan kembali potensi ekonomi dan kebudayaan Nusantara agar dapat kembali menjadi pusat peradaban dunia.
Aceh: Salah Satu Peradaban Tertua di Nusantara
Aceh bukan sekadar wilayah di ujung barat Nusantara, tetapi juga pusat peradaban besar yang telah memainkan peran penting dalam sejarah dunia. Dari jalur perdagangan global hingga perjuangan jihad melawan penjajah, Aceh telah membuktikan dirinya sebagai negeri yang kaya akan warisan sejarah dan peradaban.
Pada awalnya, jalur perdagangan darat melalui Jalur Sutra menjadi rute utama yang menghubungkan Timur dengan Barat. Namun, karena sering terjadi gangguan keamanan di Asia Tengah, sejak tahun 500 Masehi, jalur perdagangan laut melalui Selat Malaka semakin ramai.
Kapal-kapal dari Arab, Persia, dan India berlayar bolak-balik dari Barat ke Timur menuju Negeri Cina dengan memanfaatkan angin musim. Dalam arus perdagangan ini, kapal-kapal dari Sumatra, termasuk Aceh, juga mengambil bagian dan memperdagangkan komoditas unggulannya.
Pada masa kejayaan Sriwijaya, pedagang dari Sumatra telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di Cina dan pantai timur Afrika. Selat Malaka yang ramai dengan aktivitas pelayaran menumbuhkan kota-kota pelabuhan di utara Pulau Sumatra, terutama di wilayah Aceh.
Aceh yang berada di lokasi strategis semakin berkembang menjadi pusat perdagangan internasional. Banyak kapal dagang dari Arab, Cina, dan Eropa yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Aceh untuk melakukan pertukaran barang, menjadikannya sebagai pusat transit dan perdagangan global.
Sebagai salah satu pusat peradaban tertua di Nusantara, Aceh memiliki sejarah panjang yang sayangnya belum sepenuhnya tergali. Beberapa faktor yang menyebabkan terbatasnya bukti kegemilangan masa lalu Aceh antara lain:
- Minimnya penggalian arkeologi yang serius akibat berbagai pertimbangan politik dan konflik berkepanjangan.
- Hilangnya situs-situs sejarah akibat bencana alam, seperti gelombang tsunami yang beberapa kali melanda Aceh, termasuk tsunami besar pada 26 Desember 2004 yang menghancurkan banyak kota purba di sepanjang pantai Aceh.
- Tradisi penghancuran peninggalan sejarah oleh penguasa yang tidak menghendaki simbol-simbol tertentu. Contohnya, pembakaran buku-buku karya Hamzah Fansuri dan ulama Wujudiyah di depan Masjid Baiturrahman atas perintah Sultan Iskandar Tsani. Begitu pula dengan pembakaran Istana Darud Dunia pada masa Sultanah Inayat Syah dan penghancuran istana Aceh pada zaman Sultan Muhammad Daud Syah agar tidak jatuh ke tangan Belanda.
Konflik dan dinamika politik selama lebih dari 500 tahun membuat para pemimpin dan cendekiawan Aceh lebih fokus pada perlawanan ketimbang melestarikan peninggalan sejarahnya. Banyak manuskrip penting yang hilang atau sengaja dihancurkan demi alasan keamanan.
Meskipun demikian, melalui sumber-sumber sekunder, bukti-bukti kegemilangan Aceh dapat diketahui, terutama pada periode pra-Islam. Aceh sejak dahulu telah menjadi jalur penting dalam peradaban manusia, menghubungkan Asia Tengah, Timur Tengah, dan Afrika dalam lalu lintas perdagangan dan penyebaran budaya.
Aceh dan Kapur Barus: Jejak Peradaban Kuno yang Mendunia
Salah satu bukti otentik yang menghubungkan Aceh dengan peradaban dunia adalah kapur barus dari Barus, yang telah diekspor ke berbagai penjuru dunia sejak zaman kuno. Produk ini memiliki nilai tinggi dan digunakan dalam berbagai ritual keagamaan, termasuk pembalseman mayat di Mesir Kuno sejak era Ramses II, sekitar 5000 tahun lalu.
Komoditas ini menjadikan Aceh sebagai bagian dari peradaban klasik pra-Islam, sekaligus menunjukkan bahwa wilayah ini telah berinteraksi dengan bangsa-bangsa besar jauh sebelum Islam tiba. Seperti halnya pengaruh para relawan asing di Aceh modern yang membawa berbagai bentuk ilmu pengetahuan dan budaya, pada masa lalu, kedatangan para pedagang asing juga membawa perubahan besar dalam pola hidup masyarakat Aceh.
Sejarah membuktikan bahwa kemakmuran membawa kegemilangan peradaban. Hal ini terlihat di berbagai negara maju seperti Amerika, Eropa, Jepang, India, dan Cina. Begitu pula dengan Aceh, yang mengalami perkembangan pesat setelah masuknya Islam.
Islam sebagai Pendorong Kemajuan Peradaban Aceh
Aceh telah memiliki tingkat peradaban tinggi sebelum kedatangan Islam, sehingga penyebaran Islam menjadi lebih mudah. Hal ini mirip dengan penyebaran Islam di Amerika, Eropa, dan Jepang saat ini, di mana orang-orang berpendidikan lebih mudah menerima Islam dibandingkan masyarakat pedalaman yang belum terpapar peradaban modern.
Sejarah mencatat bahwa setelah masuk Islam, Aceh menjadi pusat pergerakan internasional dalam membebaskan umat manusia dari belenggu kegelapan.
Dalam Bustanu’l Salatin, Syekh Nuruddin Ar-Raniry menggambarkan betapa tinggi pengetahuan masyarakat Aceh. Banyak ulama dari berbagai negara yang datang ke Aceh justru harus belajar lebih dalam sebelum mengajarkan Islam di tanah Aceh.
Inilah yang menjadikan Aceh dijuluki sebagai "Serambi Mekkah", sebuah gelar yang menunjukkan posisinya sebagai pusat rujukan ajaran dan fatwa Islam di Nusantara. Bahkan, pemikiran dan ilmu para ulama Aceh setara dengan ulama di Hijaz dan Semenanjung Arabia.
Peran Aceh dalam Islamisasi Nusantara
Setelah masuk Islam, Aceh berkembang menjadi kekuatan baru yang menggerakkan Islamisasi di Nusantara. Sejarah mencatat bagaimana kerajaan-kerajaan Islam di Aceh memainkan peran utama dalam menumbangkan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang telah mapan selama ribuan tahun.
Kerajaan Islam yang silih berganti di Aceh membentuk jaringan dakwah yang luas, dimulai dari:
- Kerajaan Islam Jeumpa (777 M)
- Kerajaan Islam Perlak (805 M)
- Kerajaan Pasai (abad ke-12)
- Kesultanan Aceh Darussalam (mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Iskandar Muda, 1607-1636 M)
Aceh juga berperan dalam mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, seperti Demak, Mataram, dan Banten. Bahkan, para Wali Songo yang mengislamkan Jawa memiliki hubungan erat dengan para ulama Aceh.
Salah satu strategi Islamisasi yang paling efektif adalah melalui perkawinan politik, seperti pernikahan Puteri Champa, keponakan Sunan Ampel, dengan Raja Majapahit Brawijaya V. Dari pernikahan ini lahirlah Raden Fatah, yang kemudian mendirikan Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa.
Kesimpulan: Aceh sebagai Mercusuar Peradaban Islam di Nusantara
Sejarah mencatat bahwa Aceh telah menjadi pusat peradaban, perdagangan, dan penyebaran Islam di Nusantara. Dari jalur perdagangan global hingga jihad melawan penjajah, Aceh memainkan peran yang tidak tergantikan dalam membentuk wajah peradaban Indonesia saat ini.
Seperti yang dikatakan oleh Ismail R. Faruqi, "Aceh adalah salah satu bangsa Muslim pertama yang melawan kolonialisme Kristen dengan perjuangan paling berdarah".
Aceh telah melahirkan banyak tokoh besar yang tercatat dalam sejarah dunia, seperti:
- Sultan Iskandar Muda
- Hamzah Fansuri
- Nuruddin Ar-Raniry
- Laksamana Malahayati
- Cut Nyak Dhien
- Teuku Umar
Keagungan sejarah Aceh menjadi inspirasi bagi generasi saat ini untuk mempertahankan dan mengembangkan kembali kejayaan peradaban Islam di Nusantara.
Posting Komentar untuk "Kegemilangan Aceh Sebelum Masuknya Islam"