Jejak Sejarah Aceh di Kota Salem, Massachusetts, Amerika Serikat

Seperti tersembunyi dibalik debu sejarah, tidak banyak yang tahu bahwa Aceh dan Kota Salem, Massachusetts, Amerika Serikat mempunyai hubungan yang sangat erat di masa lampau Pada tahun 1654 (Masa pemerintahan Sultanah Safiatu’ddin), Elihu Yale mengirim dua karyawannya ke Atjeh, kerajaan merdeka termegah di Sumatera, untuk menjalankan perdagangan lada.

Muatan lada terakhir memasuki Salem, Massachusetts dari Sumatera pada 6 November 1846 (Masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syah), diangkut oleh kapal Lucilla. Salem telah memegang peranan utama dalam perdagangan lada sejak Pemimpin Salem memulai bisnis ini. Begitu pentingnya posisi Salem saat itu, seratus tahun (se-abad) kemudian, orang-orang di Australia masih menyebut biji merica dengan panggilan lada Salem.

Jejak Sejarah Aceh di Kota Salem, Massachusetts, Amerika Serikat

Kenyataannya, Jika kita menelisik kembali lambang kota Salem, kita akan menemukan gambaran seorang Atjeh.

Pada puncak perdagangan lada, Dewan Kota memerintahkan untuk menciptakan sebuah segel yang menggambarkan Sebuah kapal yang sedang berlayar, mendekati pantai yang digambarkan dengan seseorang yang berdiri di antara pepohonan di mana kostumnya menunjukkan wilayah tersebut adalah bagian dari Hindia Timur, motto ‘Divitis Indiae usque ad ultimum sinum’ yang berarti Menuju pelabuhan terjauh di Timur yang kaya

George Peabody, anak dari pedagang lada yang disegani, dan dia sendiri juga memiliki kapal pengangkut lada, melukis desain seorang pria memakai serban merah rata, celana panjang merah dan ikat pinggang merah, jubah kuning sebatas lutut dan baju luar warna biru.

Tidak ada masyarakat lain di Hindia Timur yang memiliki pakaian semirip ini yang lebih mendekati selain masyarakat Atjeh, dan mungkin itulah maksudnya. Dan hanya dokumen resmi kota Salem yang dibenarkan memakai Lambang kota tersebut.

Adalah termasuk pelanggaran hukum Negara dan Peraturan Lokal, jika memakai lambang ini pada hal-hal yang tidak berhubungan dengan urusan resmi Kota Salem. Pegawai Kota adalah penjaga Emblem Kota.

Perdagangan, bisnis, di manapun dan kapanpun ternyata menyimpan intrik-intrik yang bisa menghancurkan hubungan yang terbina baik sejak lama. Keinginan untuk mengeruk keuntungan pribadi dan politik dagang telah membuat hubungan Aceh dan Amerika Serikat retak.

Aceh Digempur Amerika Serikat

Persaingan antara negara-negara Barat untuk menanam pengaruhnya di Aceh menyebabkan Aceh terkena bencana. Akibat provokasi Belanda, Aceh digempur Amerika Serikat, pelabuhan Kuala Batu rata dengan tanah.

Hubungan dagang antara Aceh dan Amerika Serikat dimulai sejak tahun 1789. Pelabuhan-pelabuhan Aceh di sebelah barat, seperti Tapak Tuan, Sama Dua, Teluk Pauh, Meuke, Labuhan Haji, Mangeng, Susoh, Kuala Batu, Seunagan, Meulaboh, Bubon, Woyla, Panga, Sawang, Rigaih, Lageuen, Babah Weh, Onga, dan Daya tiap tahun mendapat kunjungan yang ramai dari kapal-kapal dagang Amerika Serikat yang datang dari kota-kota pelabuhan Salem, Boston, New York, Beverly, Philadelphia, Marlblehead, New Bedford, Baltimore, Gloucester, Newburyport, Fall River, dan Pepperelborough. Kedatangan mereka untuk memuat lada yang kemudian diangkut ke Amerika Serikat, Eropa, dan Cina. Jumlahnya mencapai 42.000 pikul (kurang lebih 3.000 ton) dalam setahun. Pusat kegiatan perdagangan internasional di daerah Aceh Barat dan Aceh Selatan adalah kota pelabuhan Kuala Batu, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Selatan Dikala Itu.

Selama kunjungan ke wilayah perairan Kerajaan Aceh, mereka tidak mengalami gangguan, baik berupa perompakan terhadap kapal-kapal itu sendiri maupun tindakan yang tidak wajar terhadap anak buahnya yang turun ke darat. Selama lebih dari lima puluh tahun mondar-mandir di perairan Aceh, tidak pernah terdengar ada sebuah kapal Amerika dibajak oleh orang Aceh atau dirampas oleh kapal angkatan laut Kerajaan Aceh. Dari pihak Amerika pun tidak pernah ada keluhan mengenai perlakuan yang tidak sewajarnya, baik terhadap kapal maupun anak buah kapalnya. Keadaan seperti ini berjalan sampai tahun 1831.

Sejak tahun 1829, karena harga lada di pasaran internasional merosot, jumlah kapal Amerika yang datang ke pelabuhan Aceh mulai menurun. Di antara kapal yang datang dalam masa kemerosotan ekonomi itu adalah kapal Friendship milik Silsbee, Pickman, dan Stone di bawah pimpinan nakhoda Charles Moore Endicot, seorang mualim yang sudah sering membawa kapalnya ke Aceh. Pada tanggal 7 Februari 1831 kapal tersebut berlabuh di pelabuhan Kuala Batu, Aceh Selatan. Ketika Endicot dan anak buahnya berada di daratan, tiba-tiba kapal tersebut dibajak oleh sekelompok penduduk Kuala Batu. Akan tetapi, dapat dirampas kembali oleh kapal-kapal Amerika yang kebetulan saat itu berada di perairan Kuala dengan kerugian sebesar $ 50.000,00 dan tiga anak buahnya terbunuh. Inilah tindakan permusuhan pertama yang dilakukan oleh orang Aceh terhadap orang Amerika, setelah selama setengah abad terjalin hubungan dagang yang erat di antara kedua bangsa.

Sebenarnya, tidak kurang dari 400 kali pelayaran telah dilakukan oleh kapal-kapal Amerika untuk mengambil lada dari pelabuhan-pelabuhan yang berada di sepanjang pantai Aceh Barat dan Aceh Selatan. Oleh sebab itu, peristiwa Kuala Batu menimbulkan pertanyaan apa sebenarnya latar belakang dari kejadian yang sangat menyedihkan tersebut?  Ada beberapa pendapat yang dikemukakan orang mengenai latar belakang peristiwa itu. Pertama, peristiwa itu merupakan kejadian yang biasa terjadi dalam masyarakat yang tidak beradab. Jelasnya, mereka menuduh orang Aceh tidak beradab. Sekiranya pendapat ini benar, tentu orang akan bertanya mengapa selama setengah abad orang Amerika berhubungan dengan orang Aceh tidak pernah terjadi peristiwa seperti itu? Dan bukankah di dalam masyarakat yang beradab seperti Amerika sendiri tidak jarang terjadi kejahatan yang diorganisir seperti perampokan bank dan sebagainya? Kedua, apa yang terjadi di Kuala Batu merupakan puncak dari frustasi yang telah menumpuk sejak beberapa tahun terakhir terhadap pedagang-pedagang Amerika. Dalam jual-beli lada, orang Aceh selalu dikecoh oleh pedagang-pedagang Amerika dalam hal penimbangan. Misalnya, timbangan menunjukkan berat lada yang dibeli dari orang Aceh ada 3.986 pikul. Akan tetapi, tatkala dijual oleh orang Amerika ternyata beratnya menjadi 4.538 pikul. Jadi, orang Aceh dikecoh sebanyak 552 pikul atau 15% dari berat yang sebenarnya dengan total harga 552 x $ 4.06 = $ 2.241,12. Pemalsuan timbangan bagi orang Amerika merupakan perbuatan yang paling mudah dan terjadi sejak puluhan tahun. Caranya, melalui sebuah sekrup yang dapat dibuka di dasar timbangan yang berbobot 56 lbs., diisi 10 atau 15 pon timah sehingga dalam satu pikul lada orang Aceh dikecoh.

sebanyak ±30 kati. Ketiga, agaknya sikap hidup yang ditimbulkan oleh depresi beberapa tahun belakangan mengundang sebagian orang yang putus asa, terutama pengisap-pengisap madat untuk melakukan kejahatan seperti yang terjadi di Kuala Batu. Keempat, peristiwa Kuala Batu terjadi akibat provokasi Belanda. Selain iri terhadap keberhasilan Amerika dalam menguasai sebagian besar perdagangan lada di daerah Aceh Barat dan Aceh Selatan, juga ingin merusak nama baik Kerajaan Acehdi mata dunia internasional, yaitu dengan tuduhan bahwa perairan Aceh penuh dengan bajak laut dan Kerajaan Aceh tidak mampu melindungi kapal-kapal dagang asing yang berlayar di wilayah perairannya. Untuk maksud jahat ini, Belanda mempersenjatai sebuah kapal Aceh yang dirampasnya dan memerintahkan kepada salah seorang sewaannya yang bernama Lahuda Langkap untuk mengemudikan kapal tersebut dengan mengibarkan bendera Aceh kemudian merampok kapal Friendship yang berlabuh di perairan Kuala Batu pada tanggal 7 Februari 1831. Pendapat ini merupakan klaim pihak Aceh.

Desas-desus mengenai pembajakan kapal Friendship yang telah tersiar luas di Amerika Serikat menjadi jelas ketika kapal tersebut tiba kembali di pelabuhan Salem pada tanggal 16 Juli 1831. Senator Nathanian Silsbee, salah seorang pemilik kapal Friendship dari Partai Whip (Partai Republiken) yang beroposisi terhadap pemerintahan Presiden Jackson, sekaligus seorang politikus yang sangat berpengaruh pada masa itu, langsung menyurati Presiden Jackson pada tanggal 20 Juli 1831, meminta agar Pemerintah Amerika menuntut ganti rugi atas pelanggaran yang dilakukan oleh penduduk Kuala Batu terhadap kapal Friendship. Keesokan harinya, Silsbee menyampaikan sebuah petisi yang ditandatangani oleh seluruh pedagang Salem kepada Pemerintah Amerika Serikat. Isinya, meminta agar dikirimkan sebuah atau lebih kapal perang ke perairan Aceh untuk menuntut ganti rugi dari penguasa yang bertanggung jawab atas kota pelabuhan Kuala Batu. Di samping itu, salah seorang pemilik kapal Friendship yang lain, Robert Stones, bersama dengan Andrew Dunlop dan salah seorang sahabatnya yang dekat dengan Presiden Jackson, meminta kepada Menteri Angkatan Laut, Levy Woodbury, agar mendesak Presiden Jackson mengirim kapal perang ke Kuala Batu. Silsbee sendiri secara pribadi menulis surat kepada Woodbury, menggambarkan betapa besar keresahan yang ditimbulkan oleh peristiwa Kuala Batu di kalangan pedagang-pedagang Salem khususnya dan masyarakat Amerika umumnya.

Sebenarnya, Pemerintah Amerika sebelum menerima imbauan dari Senator Silsbee telah memutuskan akan mengambil tindakan terhadap pelanggaran atas kapal Friendship di Kuala Batu itu. Setelah membaca peristiwa itu dalam surat-surat kabar, Woodbury segera memerintahkan agar disiapkan segala keperluan untuk menuntut ganti rugi atas pelanggaran tersebut. Sebelum menerima surat dari Silsbee, dia telah mengadakan konsultasi dengan Presiden Jackson pada tanggal 21 Juli 1831. Tujuannya, mendapatkan persetujuan Presiden atas surat yang akan dikirim kepada Silsbee. Isi surat itu meminta informasi mengenai peristiwa Kuala Batu. Selain itu, juga dalam rangka memberi tahu Presiden bahwa dia sedang mempersiapkan eskader Pasifik untuk melaksanakan suatu tugas di Sumatra.

Ketika Presiden Jackson menerima imbauan Silsbee, tanpa ragu-ragu segera mendukung dengan membubuhi disposisi singkat dalam surat tersebut. Seperti biasanya, isinya adalah sebagai berikut:

"Untuk mendapat perhatian, dan apabila dianggap perlu, perintah harus dikeluarkan oleh Menteri Angkatan Laut kepada kapten Potomac". Kapal perang Potomac yang di dalam jajaran armada Amerika Serikat merupakan kapal frigat yang terbaik sebenarnya sedang dalam persiapan membawa Menteri Luar Negeri van Buren ke Inggris. Akan tetapi, atas perintah Presiden Jackson, kapal itu dialihtugaskan untuk segera berangkat ke Aceh. Informasi yang lengkap mengenai Aceh serta laporan tentang segala sesuatu yang dilaksanakan dan dialami oleh kapten kapal Friendship selama melawat ke Aceh diperoleh dari Senator Silsbee.

Pada tanggal 9 Agustus 1831, Komodor John Downes, selaku kapten Potomac diberi instruksi yang lengkap mengenai segala tindakan yang harus dilakukan sesampainya di Kuala Batu. Pertama-tama dia harus mencari informasi lebih dahulu menge­nai insiden di Kuala Batu. Apabila informasi yang diperoleh sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh kapten kapal Friendship di Washington maka dia harus menuntut ganti rugi atas kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang Aceh terhadap kapal Friendship. Kalau tuntutan itu tidak dipenuhi, dia harus menangkap pelaku-pelaku kejahatan tersebut dan membawa mereka ke Amerika Serikat untuk diadili sebagai bajak laut. Selain itu, benteng-benteng dan kota Kuala Batu sendiri harus dimusnahkan. Sebaliknya, kalau informasi yang diperoleh di Kuala Batu berbeda dengan keterangan kapten kapal Friendship, atau dengan perkataan lain jika penduduk Kuala Batu sendiri berpendapat bahwa pembajakan yang dilakukan oleh segelintir orang-orang Aceh itu tidak dapat dibenarkan maka tindakan yang harus diambil hanyalah menuntut ganti rugi serta menghukum pelaku-pelakunya.

Frigat Potomac berangkat dari New York pada tanggal 29 Agustus 1831 dengan membawa 260 orang marinir setelah mendapat pemeriksaan dari Menteri Angkatan Laut bahwa segala persiapan berada di dalam keadaan sempurna. Beberapa waktu sebelum sampai ke Kuala Batu, Downes memutuskan untuk menyimpang dari instruksi Menteri. Rupanya dia terpengaruh oleh cerita yang didengarnya dari kapten kapal Friendship, Endicot, dan orang-orang Inggris yang dijumpainya di Tanjung Harapan dalam pelayarannya ke Kuala Batu. Yaitu bahwa harapan untuk mendapat ganti rugi dari penguasa Kuala Batu tidak mungkin terpenuhi. Oleh karena itu, Downes berpikir lebih baik mengambil tindakan langsung terhadap penguasa dan penduduk Kuala Batu. Masalah ganti rugi adalah urusan selanjutnya. Untuk maksud ini, Downes berpendapat bahwa tidak mungkin secara terbuka mendarat di Kuala Batu tetapi harus dengan cara menyamar sebagai seorang kapten kapal dagang Denmark, agar orang tidak curiga bahwa kapal yang dibawanya adalah kapal perang.

Setelah menyamarkan frigatnya sebagai kapal dagang, dia mengirim Letnan Marinir Shubrick untuk mengamat-amati keadaan di darat, sebagaimana halnya orang mengadakan penyelidikan apabila hendak membuka suatu serangan. Rupanya penduduk Kuala Batu tidak terkecoh oleh penyamaran yang dilakukan Downes. Mereka lalu berkumpul di pantai untuk menghadapi sesuatu kemungkinan. Mendengar laporan yang demikian dari Shubrick, Downes memerintahkan untuk mendarat dengan kekuatan seluruh anak buah Potomac dan mengepung benteng-benteng yang berada di pantai Kuala Batu serta menangkap pemimpin-pemimpinnya. Sebelum waktu subuh tanggal 6 Februari 1832, sebanyak 260 orang marinir Amerika di bawah pimpinan Shubrick mendarat di Kuala Batu dan mengepung benteng-benteng yang ada di sana. Namun, karena ada perlawanan maka marinir Amerika membunuh semua yang berada di dalam benteng-benteng, termasuk wanita dan anak-anak serta merampas segala sesuatu yang berharga. Setelah selesai mengadakan pembantaian yang kejam, marinir Amerika mengundurkan diri dengan dua korban terbunuh dan sembilan orang luka-luka. Sebagai tindak lanjut serangan tersebut Downes memerintahkan menembaki kota pelabuhan Kuala Batu. Tanpa memikirkan penduduk yang tidak bersalah dan tanpa belas kasihan kepada wanita dan anak-anak, Potomac segera memuntahkan peluru meriam-meriamnya ke arah Kuala Batu hingga seluruhnya menjadi abu.

Pembantaian rakyat Kuala Batu dan pembakaran kota pelabuh­an  yang bagi rakyat Aceh pada waktu itu merupakan kota kebanggaan karena merupakan kota perdagangan internasional dan pusat industri perkapalan — oleh Pemerintah Amerika dianggap sebagai suatu perbuatan yang terpuji dan parut dibanggakan karena mempertahankan kehormatan bangsa. Na­mun, pada hakikatnya perbuatan itu merupakan suatu tindakan Liar atau barbarism yang tidak layak dilakukan oleh bangsa yang menganggap dirinya beradab.

Tindakan Downes yang di luar batas perikemanusiaan ini dikecam sebagian politikus Amerika seperti George Bencroft, yang pada waktu penembakan Kuala Batu berada di atas kapal Potomac. Sebagian harian Amerika yang terbit di Washington, seperti harian dagang yang sangat berpengaruh, Nile's Weekly Register; mengecam tindakan tersebut dengan sengit. Pada tanggal 23 Juli 1832 seorang anggota DPR Amerika, Henry A.S. Dearborn dari Partai Republik Massachusetts yang beroposisi, mengajukan sebuah mosi yang meminta agar Presiden Jackson menyampaikan kepada Kongres mengenai "Instruksi Downes untuk menggempur Kuala Batu, dan laporan tentang peristiwa tersebut". Mosi ini diterima oleh sidang. Pada hari itu juga, Presiden Jackson memenuhi permintaan Kongres, tetapi minta agar hal tersebut jangan dipublikasikan sebelum laporan lebih lanjut diterima.

Dalam sidang marathon Sabtu malam, tanggal 24 Juli 1832, permintaan Presiden itu diperdebatkan. Anggota Dearborn berpendapat bahwa hal tersebut harus dipublikasikan karena bila menutup-nutupi peristiwa tersebut, Downes akan mendapatkan sorotan jelek dari khalayak ramai. Sebaliknya, Ketua Komisi Urusan Angkatan Laut, Michael Hoffman dari Partai Demokrat New York, menentang pendapat Dearborn dengan suatu amandemen bahwa peristiwa tersebut dapat dipublikasikan, tetapi harus menunggu laporan lebih lanjut. Jadi, seirama dengan pendapat pemerintah. Setelah diadakan pemungutan suara ternyata mosi Dearborn mengalami kekalahan. Persoalan tersebut kemudian diserahkan kepada komisi urusan luar negeri yang ternyata mendukung pemerintah. Komisi ini mengembalikan persoalan itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu menunggu datangnya laporan lebih lanjut dari Downes. Sudah barang tentu tidak akan ada laporan lebih lanjut dari Downes.

Dalam amanat tahunannya, Presiden Jackson tidak menyinggung sama sekali peristiwa penggempuran Kuala Batu oleh frigat Potomac yang dipimpin oleh Downes. Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa pembakaran Kuala Batu dan pembantaian penduduknya oleh marinir Amerika telah dipeti-eskan. Tindakan Amerika ini merupakan precedent bagi tindakantindakan kekerasan yang kemudian oleh Belanda dipergunakan untuk menundukkan Aceh ke bawah kedaulatannya. Belanda tentu berkata dalam hatinya, Kalau Amerika dalam menyelesaikan persoalannya dengan Aceh dapat mempergunakan kekerasan senjata, mengapa Belanda tidak?"

Dari segi hukum tindakan Amerika yang di luar hukum dan di luar perikemanusiaan itu tidak dapat dijadikan alasan oleh Belanda untuk membenarkan agresinya terhadap Aceh. Tetapi sekurang-kurangnya hal itu merupakan contoh jelek yang dapat mendorong penjajah lain untuk lebih berani melakukan agresi penjajahan terhadap suatu bangsa yang lemah.

Sebenarnya, sudah menjadi kebiasaan negara-negara besar Barat pada masa itu, apabila mempunyai persoalan dengan negara-negara lain, terutama yang lemah, tidak menyelesaikannya dengan cara damai atau peaceful means, seperti yang dianjurkan PBB sekarang. Akan tetapi, tanpa memperhitungkan perikemanusiaan memilih jalan pintas, yaitu dengan melakukan aksi militer yang pada masa itu terkenal dengan sebutan gun-boat diplomacy, seperti yang dipamerkan oleh Amerika Serikat di perairan Kuala Batu, Susoh, Aceh Selatan pada bulan Februari 1832 dan yang kemudian dipamerkan oleh Belanda di perairan Aceh Besar pada bulan Maret 1873.

Bagaimanapun, hubungan Kerajaan Aceh dengan Amerika Serikat sudah terbina sejak lama. Dan bukti nyata hubungan tersebut terpatri dalam logo Kota Salem, Massachusetts. Akankah sejarah kejayaan lada Aceh kembali terulang? Hanya Waktu yang bisa menjawab.

Posting Komentar untuk "Jejak Sejarah Aceh di Kota Salem, Massachusetts, Amerika Serikat"