Tata Negara Aceh Kuno: Jejak Sistem Pemerintahan Masa Lalu

Bentuk Tata Negara dan Hukum Aceh Era Kesultanan Iskandar Muda

Tata Negara

Tata Negara Aceh Kuno: Jejak Sistem Pemerintahan Masa Lalu

Setelah kita menggambarkan masyarakat bangsa Aceh pada masa itu, kini kita masuk dalam bidang susunan tata negaranya. Sejak pemerintahan Sri Sultan Iskandar Muda (1607—1630), setelah memperkuat barisan muda, lalu membentuk empat kelompok utama: kaum Ihee Reutoih, kaum Tok Balee, kaum Imeum Peuet, dan kaum Dja Sandang. Keempat organisasi ini ditegakkan di atas fondasi yang kokoh, didukung oleh agama (ketuhanan), religiusitas, kepercayaan, dan sastra (kecerdasan). Hal ini menjadikan pemerintahannya kuat, dengan tata negara yang diatur rapi, membagi kerajaan menjadi mukim, di mana masing-masing mukim dapat mengatur pemerintahannya sendiri yang tidak bertentangan dengan hukum dan adat (Adat Mahkota Alam).

Sebagai Amirulmukminin (Khalifah) yang memimpin urusan duniawi dan keagamaan, Sultan menyadari bahwa pemerintahan dan agama perlu didukung oleh hukum masyarakatnya. Sultan menetapkan bahwa kampung yang berada dalam satu wilayah harus melakukan shalat Jumat di satu masjid. Wilayah ini disebut Mukim.

Jika susunan ini dijelaskan, urutannya adalah sebagai berikut:
  1. Negeri
  2. Mukim
  3. Gampong/Kampung
  4. Meunasah (surau)
  5. Seuneubok
Kesatuan bumiputera (hukum masyarakat) yang asli pada tingkat pertama adalah keluarga sekampung/meunasah yang terdapat dalam tata negara, dan setelah itu Mukim. Kepala kampung bergelar Keuchik, yang berasal dari kata Keuchik, yaitu orang yang tertua atau terkemuka. Kepala Mukim disebut Imeum (Imam). Keuchik berada di bawah Imeum. Biasanya, kampung yang penduduknya bertambah luas memiliki tempat untuk shalat lima waktu dan tempat belajar anak-anaknya, seperti rumah, bale, dajah, dan meunasah (asal kata dari madrasah), tempat berkumpul dan belajar. Kepalanya adalah Teungku Meunasah yang juga menangani urusan keduniaan, terutama pernikahan, perceraian, dan kematian warga kampungnya (sosial) dengan sepengetahuan Keuchik.

Kesatuan terkecil dalam organisasi masyarakat Aceh adalah meunasah. Dalam hukum masyarakat, kampung yang dipimpin oleh Keuchik biasanya memiliki satu atau dua meunasah. Meunasah juga merupakan tempat rapat, tempat tidur pemuda yang masih lajang, dan persinggahan atau penginapan bagi musafir.

Selain kampung atau mukim, terdapat juga badan hukum masyarakat lain yang disebut Seuneubok, yaitu masyarakat petani yang memiliki kepala sendiri bernama Peutua. Meski Seuneubok adalah badan hukum, mereka berada di bawah kekuasaan Keuchik.

Peutua Seuneubok hanya berwenang dalam urusan ekonomi dan teknik dalam masyarakatnya, serta bisa langsung berurusan dengan Imeum, Uleëbalang, dan Sultan. Namun, Peutua Seuneubok tidak berhak menangani urusan pemerintahan, pernikahan, atau perceraian, kecuali seorang Peutua yang diberikan mandat khusus untuk pekerjaan itu, yang disebut Seuneubok Peutua bibcuën.

Namun, sejak abad XIX di bagian Aceh Timur, dari Simpang Ulim hingga Jamiang, Peutua Seuneubok diberi tugas penuh untuk mengelola Seuneuboknya, mirip dengan kekuasaan Keuchik di tempat lain. Begitu pula dengan Peutua Rajeuk atau Peutua Pangkal, yang diberikan tugas mirip kekuasaan Imeum di mukim, dengan pengawasan Uleëbalang Tjut.

Awalnya, Mukim dibentuk dengan jumlah 1.000 laki-laki dewasa. Mukim yang luas dapat dijadikan beberapa Mukim baru. Imeum dari Mukim induk tetap mengendalikan pemerintahan dari Mukim induk dan Mukim baru (termasuk urusan duniawi dan akhirat). Dengan demikian, mereka dapat mengurus kepentingan pernikahan, hak waris, atau perebutan hak warisan.

Federasi dari beberapa Mukim disebut Mukim III, Mukim IV, Mukim V, Mukim IX, dan sebagainya. Kepala federasi Mukim ini bergelar Uleëbalang, yang memperoleh wilayah atau mandat dari Sultan untuk mengatur berbagai hal. Uleëbalang mengurus sendiri pembangunan wilayahnya, termasuk membuka perkebunan, memperluas persawahan, perikanan, dan peternakan untuk memakmurkan wilayahnya. Rakyat dapat menggunakan tanah bebas untuk pertanian atau perkebunan, dan jika sudah menjadi kebun atau sawah, tanah tersebut bisa menjadi hak milik dengan membayar pajak kepada Sultan (Radja Jaloë).

Aturan federasi atau gabungan Mukim tersebut berlangsung hingga masa pemerintahan Sultan Tajul Alam Safiatuddin Syah (Ratu Pertama) pada 1641–1675, di mana urusan pernikahan dipegang oleh Kadhi Malikul Adil. Pada masa pemerintahan Ratu kedua, Sultan Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1675–1677), federasi Mukim dibagi lagi menjadi tiga wilayah, yaitu: Sagi XXII, Sagi XXV, dan Sagi XXVI. Mukim-mukim tersebut tergabung dalam Sagi yang dipimpin oleh Panglima Sagi, kecuali beberapa Mukim atau kampung yang berada langsung di bawah pemerintahan Sultan (nanggrue bibeuëh).

Selama pemerintahan Ratu Nurul Alam Naqiatuddin Syah, urusan pernikahan yang dipegang oleh Kadhi Malikul Adil berhasil dipengaruhi oleh Imam Hitam dari Sagi XXII, yang seolah-olah memiliki kuasa dalam urusan pernikahan. Imam Hitam adalah putra Sultan Iskandar Muda, namun ibunya adalah seorang selir.

Hal ini menimbulkan kecemburuan di kalangan Panglima Sagi lainnya, yaitu dari Sagi XXV dan XXVI, yang akhirnya mengajukan keberatan kepada Ratu. Akibatnya, kuasa pernikahan diserahkan kepada masing-masing Panglima Sagi.

Ringkasnya, struktur hukum masyarakat Aceh kala Kesultanan adalah sebagai berikut:

Rakyat terbagi atas empat kaum besar, seperti yang disebutkan di atas. Kaum-kaum ini berada di berbagai kampung, dengan anggota yang berada di bawah kepala suku bergelar Panglima Kaum. Kampung adalah kesatuan asli, berada di bawah perintah Keuchik, dan terbagi dalam meunasah seiring bertambahnya penduduk. Meunasah ini berada di bawah Teungku Meunasah yang mengelola urusan akhirat dan duniawi.

Sejumlah kampung yang melaksanakan salat Jumat di masjid dengan jumlah penduduk dewasa 1.000 orang disebut Mukim, dipimpin oleh seorang Kepala bergelar Imeum. Mukim adalah kesatuan organisasi masyarakat Aceh. Gabungan beberapa Mukim membentuk sebuah negeri (Landschap), yang diperintah oleh seorang Uleëbalang dalam satu kesatuan Uleëbalang yang disebut Sagi, dipimpin oleh Panglima Sagi.

Posting Komentar untuk "Tata Negara Aceh Kuno: Jejak Sistem Pemerintahan Masa Lalu"