Ali Mughayat Syah: Pendiri Kerajaan Aceh Darussalam | Sultan yang pertama kali melawan Portugis di Aceh
Sultan Ali Mughayat Syah (1513-1530)
Pembina Aceh yang Luas Penghancur Penjajah
Berdasarkan petunjuk yang terdapat pada batu nisan di makamnya sendiri, tidaklah sulit untuk mengetahui siapa Ali Mughayat Syah dan kapan ia meninggal.
Sebagaimana telah disebutkan, makam Ali Mughayat Syah terletak di Kandang XII, Banda Aceh. Di sini disebutkan bahwa Ali Mughayat Syah, putera Sultan Syamsu Syah, meninggal pada tanggal 12 Zu'lhijjah tahun 936 Hijriah atau pada tanggal 7 Agustus 1530 Masehi.
Makam ayahnya, Syamsu Syah, ditemukan di Kuta Alam, di mana tertulis bahwa Syamsu Syah, putera Munawar Syah, meninggal pada tanggal 14 Muharram 737 Hijriah atau pada tanggal 7 September 1530 Masehi.
Sebuah makam lain di Kuta Alam milik Raja Ibrahim, yang diketahui adalah adik dari Ali Mughayat Syah, yang meninggal pada 21 Muharram 930 Hijriah atau bertepatan pada tanggal 30 November 1523 Masehi.
Tanggal-tanggal ini secara otomatis menjadi pegangan dalam menentukan jalannya catatan sejarah Aceh pada masa-masa tersebut. Mengingat sudah adanya orang Portugis di perairan Indonesia, informasi tambahan pun mudah diperoleh. Pada umumnya, orang Eropa sejak abad pertengahan sudah terbiasa mencatat setiap peristiwa penting yang mereka ketahui.
Sebagaimana diketahui, kedatangan orang Portugis pertama kali di perairan Selat Malaka dihitung dari armada yang dipimpin oleh Diago Lopes de Sequeira yang terdiri dari empat kapal berkemampuan perang, pada tahun 1509 Masehi.
Diceritakan bahwa armada ini awalnya singgah di Aceh dan diterima dengan baik. Namun, ketika tiba di Malaka, mereka awalnya juga diterima dengan baik, tetapi setelah gerak-gerik mereka mencurigakan, berdasarkan perintah Sultan Mahmud, Raja Malaka, mereka ditangkap.
Sehubungan dengan kedatangan Portugis yang pertama, penulis teringat pada cerita dalam Hikayat Aceh di mana dikatakan bahwa Sultan Musaffar Syah yang memerangi Sultan Inayat Syah telah menggunakan alat-alat tempur seperti meriam sebagai senjata, hasil rampasannya dalam melawan agresi Portugis.
Jika cerita tersebut hendak dipercaya, penyerangan Portugis tidak akan lebih cepat dari tahun 1509, masa Sequeira sebagai orang Portugis pertama yang datang ke Aceh.
Namun, untuk mempercayai hal ini pun tidaklah mudah, karena berdasarkan petunjuk batu nisan makam Musaffar Syah, raja ini sudah meninggal dunia pada tahun 1497 Masehi.
Menurut hemat penulis, tidaklah keliru jika keterampilan dalam menggunakan meriam di Aceh telah berlangsung lama sebelum itu, bahkan kemungkinan sudah ada sejak Johan Syah, Sultan Aceh yang pertama.
Pada bagian sebelumnya, telah diceritakan mengenai peperangan yang terus menerus di Aceh. Di antara sebab-sebabnya, terdapat juga yang berpangkal pada rasa malu raja terkait dengan penolakan pinangannya.
Sungguh terlalu remeh jika hanya karena keinginan untuk mendapatkan perempuan sampai menimbulkan perang yang menghabiskan puluhan ribu jiwa manusia, di samping kehidupan ekonomi dan masyarakat yang kacau balau.
Tidak jarang, penulis hikayat di bangsa Timur terbiasa dengan cara bercerita yang berlebihan sambil melupakan isi penting dari cerita dan momentumnya.
Dari apa yang dapat diselidiki, sesungguhnya peristiwa perang tersebut tidak lepas dari hasil perkembangan perjuangan hidup yang mempengaruhi, sebagaimana jelas terlihat dari sejarah kedatangan orang Eropa ke Timur.
Kedatangan orang Portugis pada akhir abad ke-15 didahului dengan munculnya nafsu di Eropa untuk menemukan apa yang mereka sebut "dunia baru"! Perebutan untuk memperoleh hasil bumi dengan harga yang lebih murah semakin besar setelah berita dari orang-orang yang telah berhasil menjelajahi luar Eropa, lebih-lebih setelah Columbus menemui Amerika dan diikuti dengan Vasco de Gama yang berlayar ke India.
Pada masa itu, Spanyol dan Portugis berada di bawah seorang raja. Untuk menertibkan cekcok antara orang-orang Portugis dan Spanyol, diadakan pembagian "rayon" oleh Raja Spanyol. Ditentukan bahwa orang Spanyol hanya dibolehkan pergi ke arah Barat yaitu ke Amerika, sementara orang-orang Portugis menuju ke Timur, Tiongkok, dan Indonesia.
D'Albuquerque, yang diangkat sendiri oleh Raja Portugis menjadi "Raja Muda" di India, berhasil merebut bandar Malaka yang megah pada tahun 1511 Masehi.
Terjadi perubahan besar; orang-orang kulit putih itu sepertinya datang dengan keganasannya. Bukan hanya kemerdekaan yang tenggelam, tetapi juga kebengisan dan kebuasan menjadi alat yang mereka lancarkan di samping senjata dan meriam.
Keleluasaan berdagang pun lenyap, dan itulah tujuan Portugis. Keadaan ini mengakibatkan penduduk Malaka tidak aman. Orang Jawa dan orang Minangkabau yang awalnya tidak mau terlibat politik di Malaka, hanya mencari nafkah, ternyata menjadi tidak tenang. Banyak yang pergi pindah mencari tempat lain, terutama para saudagar.
Kemudian, kehidupan pun berkembang di pantai-pantai lain, terutama Sumatera Utara. Di Pasai, Pedir, dan Aceh terlihat kemajuan perniagaan. Karena keserakahan orang Portugis yang ingin mencari barang dagangan, mereka pun tiba di pantai-pantai lain, termasuk Jawa, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, dan terutama yang paling dekat di seberang Malaka, ke pantai-pantai Aceh.
Saat itu, untuk menghadapi rencana agresi dari D'Albuquerque terhadap Malaka, terlihat bahwa para sultan di Aru, Pasai, Pedir, Aceh, dan Daya memperhitungkan kepentingan negeri masing-masing serta situasi dan kondisi yang ada. Sebab, masing-masing belum dapat dikatakan cukup besar untuk membela kekalahan orang Melayu di Malaka, dan faktor lain juga memberi petunjuk agar mereka berhati-hati.
Perkembangan Malaka selama seratus tahun telah mengurangi arti kedudukan negeri-negeri di Sumatera Utara. Sebaliknya, dengan jatuhnya Malaka, sebagaimana yang terlihat kemudian, kerajaan-kerajaan di Sumatera Utara yang terletak di jalur Selat Malaka mendapat kesempatan untuk berkuasa dan menjadi kuat.
Namun, ini tidak berarti bahwa orang Portugis dapat melakukan penjajahan atas negeri-negeri yang mulai berkembang itu di Sumatera Utara. Nyatanya, keadaan yang terlihat di Malaka dan faktor bahwa Portugis dengan mudah telah mencapai hasil di Goa (India) setelah bertahun-tahun tidak ada gangguan, mendorong negeri-negeri di Aceh untuk menghadapi masalah Portugis dengan penuh kewaspadaan.
Didorong oleh semangat monopoli, Portugis tidak ingin membiarkan negeri-negeri di Aceh berdiri. Mereka berusaha dengan tipu daya untuk menguasai negeri tersebut. Dengan cara licik, Portugis berhasil menjalin hubungan dagang dengan negeri-negeri di sana dan untuk tujuan ini, mereka mendirikan kantor dagang. Kantor ini dilindungi dengan kekuatan senjata, sehingga dengan demikian secara diam-diam mereka bisa membangun benteng di beberapa pelabuhan di Aceh.
Nampaknya, Portugis berhasil awalnya untuk menancapkan pengaruhnya. Hal ini dimungkinkan sementara waktu, karena kekuatan negeri-negeri di pantai Sumatera Utara saat kedatangan Portugis masih samar. Ini dibuktikan oleh peristiwa singgahnya D'Albuquerque di sana, sebelum ke Malaka.
Sekitar bulan Juni 1511 Masehi, D'Albuquerque memimpin armada laut besar berjumlah 19 kapal perang yang dipenuhi tentara dan alat-alat perang modern pada masa itu.
Di pantai Sumatera, ia singgah di Pedir. Mungkin karena melihat besarnya angkatan perang tersebut serta karena maksudnya untuk menyerang Malaka, Sultan Pedir menyambutnya dengan baik. Kebetulan ia bertemu dengan seorang pelarian Portugis yang sebelumnya ditahan di Malaka atas perintah Sultan Malaka.
Dari orang Portugis yang ditemuinya ini, ia mendapatkan banyak informasi tentang Malaka. Segera, D'Albuquerque bertolak menuju Malaka. Di Pasai, ia singgah dan juga diterima dengan penghormatan, tetapi buru-buru ia pergi ke Malaka karena mengetahui ada sebuah kapal Melayu telah berangkat menuju Malaka untuk memberitahu bahwa Portugis sudah berada di Pasai. Dengan terburu-buru, D'Albuquerque mengejar kapal Melayu tersebut.
Ia sangat beruntun, kapal itu dapat direbutnya dan nahkoda Melayu yang malang dibunuh secara kejam. Kegiatan Portugis berhasil merampas Malaka dengan membawa masalah ke Pasai. Mengingat pentingnya untuk memelihara tenaga, D'Albuquerque mencoba menjalankan politik devide et impera.
Kebetulan di Pasai telah terjadi sengketa saudara. Kemungkinan besar bibit persengketaan ini ditanamnya saat ia menjadi tamu di Pasai, sebelum ke Malaka. Sultan Pasai, Zainal Abidin, telah ditumbangkan oleh saudaranya yang mengklaim lebih berhak, Sultan kemudian melarikan diri ke Malaka dan meminta bantuan kepada D'Albuquerque. Ia pun dijadikan tamu yang dihormati selama di Malaka.
Namun, beberapa kekejaman yang dilakukan Portugis di Malaka tidak menggembirakan Zainal Abidin sama sekali. Tokoh-tokoh yang telah membantu Portugis dan mengkhianati Sultan Malaka tidak mendapatkan balas jasa yang sesuai, bahkan ada yang dibunuh secara kejam atas fitnah. Zainal kemudian memutuskan untuk pergi dari Malaka. Kejadian ini terjadi sepekan sebelum D'Albuquerque bertolak kembali ke India pada Januari 1512 Masehi, dengan rencana untuk mampir di Pasai dan berharap dapat "melantik" Zainal Abidin untuk memulihkan singgasananya.
Namun, Zainal Abidin telah hilang dan pergi ke Bintan, menemui Sultan Mahmud, Sultan Malaka yang telah memindahkan ibu kotanya ke sana. Rencana intervensi tertunda. Dalam perjalanannya ke India, D'Albuquerque terlebih dahulu berkunjung ke Kocin. Tak lama setelah berangkat dari Malaka, ia tiba di Kuala Aru, tempat banyak dilakukan perbaikan kapal.
Ia melakukan aksi merampok tiga kapal beserta muatannya, dan tidak hanya itu, sejumlah 60 tukang kapal bersama keluarga mereka diculiknya untuk dipaksa membangun kapal. Dengan cara ini, ia berharap dapat memperkuat armada di Kocin. Namun, ketika tiba di muara Tamiang, kapalnya terdampar dan rusak, menyebabkan para tukang mendapatkan kesempatan untuk memberontak.
Mereka lari ke Pasai, sementara hartanya dapat diselamatkan dan dibawa ke Kocin. Sebulan kemudian, ia baru tiba di sana. Dalam waktu itu, persengketaan dalam negeri Pasai membuka jalan bagi Portugis untuk melakukan intervensi. Seperti diceritakan sebelumnya, pada tahun 1519 Masehi, Sultan Zainal Abidin telah direvolusi oleh saudaranya yang merasa lebih berhak. Atas bantuan Sultan Mahmud (Sultan Malaka yang sudah pindah ke Bintan), ia dapat kembali dinobatkan.
Namun, berkat bantuan Portugis, raja yang merevolusi berhasil naik kembali ke singgasananya. Sebagai "balas jasa" dari bantuan ini, Portugis mendapatkan hak untuk mendirikan faktori (kantor dagang yang dilindungi tentara) di Pasai. Dengan demikian, peristiwa tersebut menjadi catatan bersejarah bahwa Portugis pernah menancapkan pengaruhnya di Pasai. Dengan 100 orang serdadu Portugis asli, komandan Portugis Antonio de Miranda d'Azevedo.
Dengan sendirinya, Portugis mendapatkan monopoli dalam membeli hasil bumi di Pasai. Praktik ini, disertai dengan adanya kekuatan bersenjata dan benderanya yang kokoh di Pasai, menjadikan negeri ini seolah di bawah kuasanya. Pada tahun 1520 Masehi, kabarnya Zainal Abidin telah mengirim surat kepada Raja Portugis mengenai kesediaannya untuk memberikan keuntungan yang lebih baik kepada Portugis jika Zainal disokong menjadi Raja. Surat asli ini kini tersimpan dalam arsip negara di Lisboa (Portugal).
Karena politik pecah belah yang dipraktikkan, Portugis kembali menyokong Zainal Abidin dan menjatuhkan yang lainnya. Namun pada tahun 1521 Masehi, orang Portugis kembali mengkhianati jaminannya terhadap Zainal Abidin. Sultan dijatuhkannya lagi dan lalu diganti dengan yang lain.
Tujuan kedua adalah Pedir. Mereka juga berhasil melemahkan kekuatan Raja di sana dengan manuver pecah belah untuk selanjutnya mendirikan faktori dan melindunginya dengan sejumlah serdadunya. Jika peristiwa ini diikuti dan dibandingkan dengan jalan cerita dari sumber-sumber hikayat serta nama-nama raja dengan tanggal-tanggal di batu nisan yang dapat diteliti kemudian, jelaslah bahwa latar belakang sengketa keperdataan di negeri-negeri itu juga bersumber dari hasil politik divide et impera Portugis yang telah dimulai saat itu.
Dari perkembangan di atas, akan terlihat bagaimana besar peranan Sultan Ali Mughayat Syah dalam mengakhiri bahaya penjajahan Portugis di Aceh. Sebuah kerajaan yang lebih besar, bernama Aceh Daru's-Salam, terbentuk dari hasil penaklukan negeri-negeri Jaya, Pedir, dan Pasai, yang secara efektif menghilangkan pertumbuhan negeri-negeri yang sebelumnya diperintah masing-masing sultannya.
Namun, sejarah mencatat bahwa bangkitnya Aceh juga berarti runtuhnya kolonialisme Portugis yang sebelumnya telah menancapkan panji-panji mereka di beberapa tempat di sana. Oleh karena itu, jasa Ali Mughayat Syah dalam hal ini sangat berarti. Ia telah mematahkan bahaya musuh dari luar dan dalam sekaligus dalam waktu singkat. Sekali kekuatannya harus dipergunakan untuk mematahkan serangan, ia pun ditubruk oleh Portugis.
Satu percobaan agresi telah pernah dilakukan oleh Portugis di bawah pimpinan Gaspar de Costa ketika dia pada tahun 1519 Masehi muncul tiba-tiba di Kuala Aceh. Dengan tipu muslihat dan prajurit Aceh yang jumlahnya tidak seberapa, Portugis mengalami pukulan yang sangat menyakitkan.
T. Iskandar mencatat bahwa da Costa saat terdampar lalu ditangkap oleh orang Aceh. Dengan perantaraan Nina Cunapam, Syahbandar Pasai, da Costa ditebus dan dibawa oleh orang Portugis ke Malaka.
Pada bulan Mei 1521 Masehi, armada Portugis yang lebih kuat muncul kembali untuk menyerang perairan Aceh. Kali ini Panglima Jorge de Brito sendiri memimpin serangan tersebut. Dalam pertempuran yang hebat, Portugis kalah dan de Brito sendiri tewas. Penggrebekan terhadap Portugis dilanjutkan ke Pedir oleh angkatan perang Mughayat ke tempat di mana sisa-sisa armada Portugis bersembunyi, serta di kantor mereka.
Di sini pun terjadi peperangan hebat dan Ali Mughayat Syah berhasil menumpas Portugis. Portugis dan Raja Pedir (Sultan Ahmad) akhirnya mengundurkan diri ke Pasai. Ali Mughayat Syah segera mengejar Portugis terus ke Pasai dan berhasil mematahkan perlawanan Pasai. Sejumlah besar rampasan alat-alat pertempuran, meriam, dan sebagainya dengan mudah dipergunakan oleh tentara Ali Mughayat Syah untuk mengusir habis-habisan jejak penjajahan Portugis dan bumi Pasai khususnya serta Aceh secara umum.
Patut dicatat bahwa dalam kampanye perang di Pasai ini adalah yang terhebat dalam sejarah pengusiran Portugis. Adik Sultan Ali Mughayat Syah yang bernama Ibrahim adalah panglima yang berani.
Setelah berhasil di Pedir dan abangnya menuntaskan keamanan di kota tersebut, Ibrahim pun memimpin ekspedisi penyerbuan ke Pasai. Ibrahim mempercepat penyerangannya, karena ia mengetahui bahwa kerajaan Haru yang kuat di Sumatera Timur ingin bersekutu dengan Portugis. Sebelum Haru datang, Ibrahim telah menduduki seluruh kerajaan serta mengepung ibu kota Pasai.
Diungkapkan dengan ultimatum lebih dahulu kepada penduduk di dalam kota Pasai untuk menyerah (agar tidak melawan), dinyatakan siapa saja yang menyerah padanya akan dilindungi dan dijamin hak milik, nyawa, dan keluarganya.
Namun yang melawan akan diikat. Selama enam hari kota Pasai terkepung, banyak laskar yang menyerah, sementara yang tak menyerah telah digempur.
Ketika akhirnya Portugis merasa tidak mampu mempertahankan bentengnya lagi, mereka pun berlarian sementara membawa alat-alat serta obat-obatan meriam yang masih dapat diangkut. Di antara peralatan perang, terdapat banyak meriam berat yang tidak sempat diangkut. Mereka mengandalkan cara singkat. Meriam-meriam tersebut dibiarkan berjajar, tetapi benteng disiram dengan alat pembakar.
Dengan cara ini, mereka berharap benteng yang terbakar akan meletupkan meriam besar yang berisi. Namun, Panglima Ibrahim sempat memperhatikan akal Portugis tersebut. Tanpa membuang waktu sejenak pun, ia mengerahkan penyerbuan ke dalam benteng dengan memimpin di depan untuk memadamkan api yang menjilati. Segera meriam dapat diselamatkan.
Dengan mengarahkan tembakan meriam kepada orang-orang Portugis yang melarikan diri, tembakanmeriam tersebut malah menghancurkan Portugis, kecuali beberapa perahu yang sempat menyelamatkan diri menuju Haru. Catatan menunjukkan bahwa panglima Portugis yang memimpin perlawanan terhadap Panglima Ibrahim dalam pertempuran di Pasai adalah Don Sancho Henrique.
Sejak bulan Juni 1521 Masehi, di tebing kiri Krueng Pasai telah dibangun oleh Portugis sebuah benteng yang sangat kuat. Benteng inilah yang dihancurkan oleh Ibrahim dengan hasil gemilang. Catatan lain menyebutkan bahwa Henrique sebenarnya belum sempat melawan, karena saat mendengar bahwa Aceh hendak menyerang, ia sudah melarikan diri ke Malaka.
Karena panik sebelum pertarungan, ia digantikan oleh panglima Portugis yang lain, Sebastian de Sousa. Dia berhadapan dengan Ibrahim, tetapi de Sousa juga melarikan diri ketika harapan untuk melawan sudah pupus.
Demikianlah, dapat dicatat dalam sejarah bahwa di bawah pimpinan Panglima Ibrahim, Pasai berhasil dimerdekakan. Ia sendiri syahid dan jenazahnya segera dibawa ke Banda Aceh, dimakamkan di sana. Pada batu nisannya tercatat 21 Muharram 930 Hijriah, atau 30 November 1535 Masehi, yang juga menjadi catatan hari kemenangan gemilang Pasai dalam melawan Portugis.
Valentijn mencatat bahwa kekalahan Portugis itu sangat memalukan, karena Aceh memperoleh rampasan alat-alat perang Portugis yang semakin memperkuat Aceh.
C.R. Boxer mencatat bahwa menjelang tahun 1530 Aceh telah memperoleh kelengkapan perang yang terdiri dari meriam-meriam, yang bahkan membuat sejarawan Portugis sendiri, Fernão Lopes de Costanheda, membandingkan bahwa Sultan Aceh telah mendapatkan suplai meriam lebih banyak dibanding benteng Portugis di Malaka.
Menurut Veltman, salah satu rampasan yang dibawa pulang oleh Mughayat ke Aceh adalah lonceng besar bersejarah yang kemudian dikenal sebagai "Cakra Dunia". Lonceng ini bukan yang diperoleh pada masa Iskandar Muda seperti yang disangka orang, melainkan lonceng yang diberikan Cheng Ho kepada Raja Pasai di awal abad ke-15 ketika Cheng Ho berkunjung ke sana.
Mughayat hanya berkesempatan beberapa tahun untuk membangun dan membesarkan Aceh.
Sebagaimana sudah disebutkan, ia meninggal pada 12 Zu'lhijjah 936 Hijriah atau pada tanggal 7 Agustus 1530 Masehi. Maka, hanya sepuluh tahun lamanya sejak ia mengambil takhta ayahnya yang dianggap kurang revolusioner. Ayahnya telah melarang untuk tidak menyerang Daya; dalam hikayat disebutkan, Mughayat merasa terhina karena lamaran kepada adik Raja Daya ditolak, padahal pada kenyataannya hanya masalah politik, sebab Daya sudah diduduki Portugis. Raja Daya tidak mampu menghadapi Portugis.
Mughayat pun menyerang Daya, mengakibatkan Portugis dan Raja melarikan diri ke Pedir. Di sana, Raja Pedir, Daya, dan tentara Portugis berkumpul lagi. Sekali lagi Mughayat mengejar mereka, dan mereka melarikan diri pula ke Pasai. Seperti itu terus berulang hingga berakhir, anasir asing habis dari bumi Aceh berkat karya dan jasa Ali Mughayat Syah.
Menurut sumber Portugis dan hikayat Aceh, kematian Mughayat terjadi karena diracun oleh isterinya sendiri, Siti Hawa, yang membalas dendam karena suaminya menaklukkan kerajaan abangnya. Namun, ini masih harus disangsikan. Harus diingat bahwa Siti Hawa telah mengikuti suaminya selama sepuluh tahun.
Tidak mungkin setelah hidup bersama selama itu dan juga telah mempunyai anak, sang istri masih merasa dendam kepada suaminya. Meskipun ada latar belakang lain bahwa seorang istri bisa meracuni suaminya, namun untuk dapat mempercayai sepenuhnya, bukti tambahan masih diperlukan.
Mughayat meninggal pada usia yang masih muda. Adiknya, Ibrahim, sebagai pahlawan besar yang ikut mengusir Portugis dari Pasai, telah berpulang lebih dari tujuh tahun sebelumnya sebagai syahid ketika bertempur mati-matian dalam babak akhir, saat membela nama Aceh menghadapi meriam-meriam besar dan armada Portugis di Pasai.
Mughayat, sang pembangun Aceh, meninggal pada usia yang masih relatif muda dan sudah meletakkan batu dasar terhadap keyakinan dan kenyataan:
Bahwa suatu negara tidak bisa berdiri jika hanya seluas kampung atau kota, atau hanya beberapa ratus kilometer saja. Berdiri baru dapat dipelihara jika daerah wilayahnya luas, sekurang-kurangnya seluas Aceh yang dibangunnya, bahkan lebih luas lagi.
Meskipun kerajaan Melayu yang jaya di Malaka telah runtuh oleh Portugis dan kepercayaan telah mulai retak bahwa orang-orang Timur dapat mempertahankan diri dari imperialisme Barat, tetapi hancurnya Portugis di Aceh telah memulihkan keyakinan bahwa penjajahan asing selalu bisa dihalau.
Untuk menghadapi agresi imperialisme asing, perlu dibangun armada (angkatan laut) yang kuat. Ekonomi harus diperkuat dan menyangkut hal ini, suatu negara harus dapat menguasai sendiri.
Batu dasar di atas telah dimulai oleh Mughayat, tetapi sebelum seluruhnya selesai, ia telah berpulang. Walaupun demikian, kemungkinan untuk menyempurnakannya telah terbuka luas bagi generasi yang menyusul setelahnya.
Masih disayangkan bahwa batu dasar yang diletakkan oleh Mughayat tidak dapat dilanjutkan oleh putranya, Sultan Salahuddin yang menggantikannya. Jika hikayat Aceh bisa dipercayai, Salahuddin adalah raja yang tidak memperhatikan pemerintahan. Ia hanya memikirkan kesenangan pribadi.
Utusan pemerintahan diserahkan kepada seorang mangkubumi, yaitu Raja Bungsu. Adiknya yang bernama Alau'ddin Ri'ayat Syah, sedari Mughayat Syah masih hidup telah ditugaskan memerintah di Samudera Pasai. Alau'ddin mengetahui kelemahan abangnya, dan ia menunggu dengan sabar agar abangnya menyadari bahaya-bahaya akibat kelalaian dalam memerintah.
Namun setelah beberapa tahun menunggu, tidak ada perubahan. Sejak kekalahan Portugis di Aceh, terutama setelah "knock out" di Pasai, Portugis telah bertekad menghancurkan Aceh. Pada tahun 1527, di bawah pimpinan Francisco de Mello, Portugis pernah mencoba mengacau di Kuala Aceh. Sebuah kapal Aceh ditenggelamkan dan semua awaknya dibunuh.
Sejak saat itu, Mughayat Syah memerintahkan untuk meningkatkan kewaspadaan. Pada tahun 1528 Masehi, Simon de Souza, Gubernur Portugis yang akan ditempatkan di Malaka, mampir di Aceh bersama armadanya. Dari kapalnya, ia berusaha membangun hubungan dengan Sultan, dan awalnya sambutannya baik.
Sebagai bukti niat baik ini, Sultan mempersilakan de Souza untuk turun ke darat dan menjadi tamunya. Namun, de Souza menolak, mungkin dia khawatir ditipu masuk perangkap. Namun kenyataannya, de Souza lah yang sedang bersiap untuk melancarkan serangan mendadak. Di sisi lain, Sultan Mughayat Syah yang menolak untuk turun itu menjadi lebih curiga. Melalui seorang India Muslim yang bekerja di kapal Portugis tapi lebih setia kepada sesama Muslim, Sultan mendapatkan bukti-bukti yang meyakinkan bahwa de Souza memang sedang bersiap-siap untuk menyerang.
Tanpa membuang waktu, Sultan segera melakukan serangan mendahului sehingga terjadilah pertempuran besar di perairan tersebut. Mughayat Syah berhasil lagi, armada Portugis dapat dihancurkan, dan de Souza sendiri tewas bersama beberapa perwira lainnya, sementara sisanya tertangkap. Berita tentang kekalahan Portugis itu segera tersiar ke Malaka. Banyak perwira Portugis yang tertangkap di Aceh, sehingga Portugis berusaha mencari jalan untuk berhubungan, berupaya menjalin perdamaian dengan Aceh dan mengembalikan para tawanan ke Malaka.
Saat itu, yang menjabat sebagai Gubernur Portugis di Malaka adalah Fernando Morales. Ia mencoba mengirim utusan ke Aceh. Kabar yang diperolehnya menyatakan bahwa para tawanan diperlakukan baik, namun hasil dari misi utusannya tidak memuaskan, karena kapal Portugis itu sendiri dirampas. Aceh menganggap bahwa antara mereka dengan Portugis belum berakhir.
Mungkin Fernando Morales dianggap kurang cakap oleh atasan, Gubernur Jenderal Goa (India), karena tidak lama kemudian Fernando diganti oleh Garcia de Sá. Namun, Garcia yang mencoba pada tahun 1529 Masehi, untuk mengadakan kontrak baru dengan Aceh pun tidak berhasil. Utusannya terbunuh di Aceh ketika gerak-geriknya mulai mencurigakan.
Sejak saat itu, bisa dikatakan merupakan babak kelegaan bagi Aceh, karena ancaman Portugis mulai berkurang. Namun, sebagaimana yang telah diceritakan, pada tahun 1530 Masehi, Mughayat Syah berpulang ke rahmatullah. Meninggalnya beliau menimbulkan harapan baru bagi Portugis. Dari Malaka, mereka terus menuntut kepada Gubernur Jenderal Portugis di Goa dan seterusnya ke Lisboa agar dikirimkan armada besar-besaran untuk dapat memukul Aceh sekali serbu, tetapi armada tersebut belum dapat dikirim.
Rupanya, untuk pembangunan armada besar yang kira-kira dapat menghancurkan pertahanan Aceh, masih di luar kemampuan Portugis pada saat itu. Sungguhpun demikian, itu tidak berarti bahwa Portugis hanya berdiam diri tanpa berbuat. Seorang pegawai Portugis di Goa (India) yang menjadi archivaris pada pertengahan abad ke-16 bernama Diogo de Couto (1543—1616), mencatat peristiwa-peristiwa serta kegiatan Portugis di Asia pada masa itu.
Ia juga mencatat perkembangan-perkembangan yang pernah terjadi antara Aceh dan Portugis. Walaupun catatannya sangat berpihak pada bangsanya, tetap saja bisa digunakan sebagai bahan acuan. Couto mengatakan bahwa saat itu, Aceh telah membangun hubungan ekonomi internasional, yang langsung dilakukan dengan Arab. Diungkapkannya bahwa Portugis telah menjaga kapal-kapal yang lalu lintas dari lautan India ke laut Merah, di pintu masuk Bab el Mandeb, yang mengangkut ekspor Aceh.
Posting Komentar untuk "Ali Mughayat Syah: Pendiri Kerajaan Aceh Darussalam | Sultan yang pertama kali melawan Portugis di Aceh"