Aceh Dalam Pengenalan Antar Bangsa
Di permulaan tumbuhnya peradaban di Eropa dan Asia, pada abad-abad sebelum Masehi, hubungan antara kedua tanah besar benua tersebut berlangsung melalui darat. Berangsur-angsur masyarakat mulai memanfaatkan jalur laut, mulanya antar pantai yang dekat, selanjutnya hubungan yang lebih jauh. Sebagian besar peranan ini dipegang oleh pelaut Phoenisia, namun perkembangan sejarahnya tidak begitu pasti, kecuali bahwa yang menjadi penghubung di sekitar Laut Tengah adalah pelaut-pelaut tersebut, dan di sekitar Laut Merah diperkirakan oleh pelaut Arab-Saba, yang tinggal di Yaman, bagian selatan Semenanjung Arab.
Catatan sejarah kegiatan orang Phoenisia itu semula tersimpan dalam perpustakaan di kota pelabuhan Alexandria (Iskandriyah), tetapi karena sudah hilang, yang dapat dipergunakan sebagai sumber adalah Injil. Antara lain, pelayaran dapat juga dicatat tentang apa yang pernah disampaikan oleh Raja Salomon supaya pelaut-pelaut Phoenisia berlayar menuju timur untuk menemui Gunung Ophir, karena di tempat tersebut tersimpan harta berharga berupa emas. Tiga tahun lamanya pelaut tersebut berlayar, akhirnya kembali dengan berhasil membawa harta tersebut dalam jumlah besar.
Sejak itu, daya tarik berlayar menjadi magnet untuk menemukan timur, arah matahari terbit yang setiap pagi memberikan cahaya kehidupan kepada manusia. Barang-barang dagangan pun bertambah ragam. Dari Eropa dibawa barang-barang ke Alexandria, di sini dipertukarkan dengan barang-barang yang diangkut oleh orang-orang Arab Saba, yang juga menampung barang-barang dari sepanjang pantai Arab Selatan, maupun dari Teluk Persia dan India. Sekitar masa inilah muncul di pasar Alexandria hasil-hasil kekayaan alam dari kepulauan Indonesia, seperti rempah-rempah (lada, merica, maupun cengkih), kapur barus, belerang, kamper, bahkan emas atau benda logam lainnya seperti perak dan timah.
Terdapat berbagai pendapat mengenai awal kedatangan hasil-hasil dari kepulauan Indonesia ke sana. Tentu pada tempatnya untuk diungkapkan sedikit, bahwa lama sebelum tahun Masehi, pelaut-pelaut bangsa Indonesia telah berhasil mengarungi lautan luas, bahkan jika diteliti kembali masa-masa yang awal, dapat dikatakan bahwa pelaut Indonesia lah yang pertama berhasil melintasi lautan luas. Lama sebelum dunia luar mengenal kompas, alat penting untuk pelayaran, pelaut-pelaut Indonesia sudah pandai memanfaatkan bintang-bintang di langit untuk pedoman pelayarannya.
Perpindahan orang Indonesia di masa berabad-abad sebelum Masehi ke Afrika bagian timur dan pengetahuan bahwa asal orang Malagasi (Madagaskar) adalah pendatang (imigran) dari Indonesia, menguatkan fakta tentang kemampuan nenek moyang bangsa ini mengarungi lautan luas. Suatu catatan menyatakan bahwa di zaman Alexander the Great sudah pernah orang berjumpa dengan pelaut dari Sumatra, berlabuh di Sungai Indus (India) dan telah mendatangi pelabuhan di situ dengan berkala. Diketahui juga bahwa di pertengahan abad ke-1 Masehi, pernah orang Sumatera mengunjungi Romawi dan menghadap Kaisar Claudius. Catatan Idrisi di abad ke-X Masehi yang menyebut bahwa ia melihat pelaut Aceh di Madagaskar memberikan petunjuk kuat bahwa orang-orang yang pindah ke sana dahulu itu adalah orang Aceh.
Karena letak Aceh di bagian barat dan wilayahnya memiliki dua muka laut (Samudera Hindia dan Selat Malaka), dapatlah diperkirakan bahwa wilayah ini menjadi tempat singgah awal dari kegiatan mundar-mandir pelayaran antara kepulauan Indonesia dan pelabuhan-pelabuhan sebelah barat, baik India, Persia, Irak, Arab, Afrika (Madagaskar, Abesinia), maupun Mesir, Romawi dan Eropa lainnya. Dengan memahami kemampuan pelayaran pelaut Indonesia melintasi lautan luas dengan mempergunakan "kompas" yang diperoleh dari bintang-bintang di langit, bukanlah mustahil bahwa pengenalan orang-orang asing tentang kepulauan Indonesia adalah berawal dari kedatangan lebih dulu pelaut-pelaut Indonesia ke kawasan-kawasan yang bersangkutan, lama sebelum orang-orang luar itu berhasil mencoba mendatangi kawasan ini.
Dari petunjuk kegiatan pelayaran di lautan India, penulis lebih yakin bahwa kontak kepulauan Indonesia dengan dunia luar diawali oleh datangnya lebih dulu pelaut-pelaut Indonesia yang membawa hasil buminya ke pelabuhan-pelabuhan dunia luar tersebut. Sebagaimana diketahui, nenek moyang Indonesia berasal dari tanah besar Asia, khususnya dari Indocina. Kedatangan mereka tentulah dimungkinkan oleh kesanggupan mereka menggunakan perahu layar, serta bakat mereka dalam mengarungi laut. Suatu petunjuk mengenai terlaksananya hubungan negeri Cina dengan suatu wilayah di Indonesia dari zaman terdahulu dapat diperhatikan dari catatan Tiongkok "Tsien Han Shu" (tarikh Dinasti Han, antara 200 tahun sebelum Masehi sampai 24 tahun sesudah Masehi). Catatan dimaksud berkaitan dengan masa pemerintahan Kaisar Wang Mang (1 M), yang mengirimkan bingkisan berupa mutiara dan permata lainnya kepada sebuah negeri yang disebut dalam catatan itu bernama Huang Cha. Kaisar Wang memesan agar untuk imbalan bingkisannya dikirimkan binatang badak, yang terdapat di negeri itu, dengan maksud ingin memelihara badak tersebut bersamaan dengan peliharaan lainnya di kebun binatangnya. Sejarawan banyak sependapat bahwa Huang Cha dimaksud adalah Aceh.
Pengenalan Tiongkok atas suatu kerajaan di Indonesia tersebut memperteguh pendapat bahwa barang-barang hasil bumi Indonesia telah diangkut oleh pelaut-pelaut Indonesia ke Tiongkok, dan dari sana diangkut melalui jalan ke barat, terutama ke India, Persia, Arab, Mesir, dan seterusnya. Pengangkutan lintas darat yang amat jauh itulah yang terkenal dengan sebutan "Lintasan Sutera" ("Silk Route"). Lama sekali waktunya sebelum diketahui lintasan laut dari Tiongkok melalui perairan Indonesia dan Selat Malaka serta Lautan Hindia, dipergunakan orang lintasan darat yang banyak sekali menelan biaya dan bahaya itu.
Sementara itu, hasrat dunia luar untuk menemukan langsung kawasan yang menghasilkan rempah-rempah, kapur barus, dan emas itu, bergelora terus. Namun masih berabad-abad lamanya belum terlaksana, padahal kecerdasan bangsa Yunani pada sektor ilmu pengetahuan sudah menjadi kekaguman.
Dari India yang juga memiliki peradaban yang maju dan letak geografinya dekat dengan Indonesia, beberapa abad sebelum Masehi itu masih saja mengkhayalkan dalam sastranya tentang adanya suatu pulau di sebelah timur, sebagaimana terkesan dalam kakawin "Ramayana", karya Walmiki. Di sana disebut adanya sebuah pulau di timur bernama Yawadwipa yang terdiri dari tujuh buah kerajaan.
Mungkin tidak berapa lama kemudian, dunia barat juga telah mendengar "berita" orang India tersebut. Herodotus, ahli sejarah Yunani (400 tahun sebelum Masehi) sebagai orang pertama yang membuat peta bumi dunia, sejauh-jauh digambarkannya ke timur hanya sampai menjelang perbatasan India. Alexander the Great yang pernah melancarkan ekspansinya ke India, hanya berhasil mencapai Sungai Indus.
Seorang nakhoda Yunani yang tidak dikenal siapa orangnya, pernah membuat semacam buku panduan yang diberinya nama "Periplus Maris Erythraea" (petunjuk pelayaran Laut India) pada sekitar awal abad ke-1 Masehi, menjelaskan lintasan perdagangan yang terjadi pada masa itu antara Mesir dan India, pelabuhan-pelabuhan yang dijumpai di tengah perjalanan laut, serta barang-barang apa yang diperjualbelikan di antara negara bersangkutan. Namun keterangannya mengenai Chryse atau lebih jauh ke timur hanya diperolehnya dari orang-orang India dan penduduk Sungai Gangga yang datang bercerita kepadanya. Diceritakan padanya bahwa Chryse adalah satu negeri yang menghasilkan penyu terbaik di lautan Hindia. Jika dituju lebih jauh ke timur lagi, akan dijumpai "pulau" besar Thinae, tempat pengumpulan sutera dari Tiongkok.
Dengan menyebut penyu terbaik itu, timbul rekaan bahwa orang yang membuat penangkapan penyu itu untuk hidupnya adalah penduduk Sumatra, karena pulau inilah yang berada di lautan Hindia dan yang terdekat ke barat, serta karena di kawasan itu memang dijumpai banyak penyu. Diceritakan selanjutnya bahwa penduduk batasan Tiongkok datang ke sana. Buku panduan "Periplus" ini oleh orang barat dianggap sebagai perintis jalan untuk mengenal kepulauan Indonesia, yang menghasilkan kekayaan alam berupa hasil bumi rempah-rempah tersebut.
Namun, dorongan pertama dari barat yang memperkenalkan Nusantara dan Semenanjung Melayu adalah seorang ahli ilmu bumi Yunani, 75 tahun kemudian. Ia bernama Ptolemaeus, tinggal di Alexandria, suatu pelabuhan besar zaman dulu di Mesir yang banyak berperan dalam lintas perdagangan antar bangsa. Bukunya yang terkenal "Geographia" berupa ilmu bumi dunia yang lengkap dengan peta-petanya, pada bab ke-7 membicarakan kepulauan dan semenanjung bagian Asia Tenggara. Ia memperkenalkan "Aurea Chersonesus", atau "Golden Chersonesus" atau dalam bahasa Indonesia "Pulau Emas", yang disebutnya terletak di bagian paling timur.
Dalam peta itu, ia menempatkan sebuah pulau bernama Yabadiou, suatu nama yang mirip dengan nama Yawadwipa, beberapa abad sebelumnya dalam kakawin Hindu "Ramayana". Mengamati tempat tinggal Ptolemaeus yaitu Alexandria, terkesan bahwa ahli Yunani ini sudah memperoleh informasi dari saudagar-saudagar yang datang ke sana, sebagai pelabuhan perantara (entrepot) untuk sekitar Laut Tengah, terutama Romawi, Mesir, Yunani, maupun Prancis dan Spanyol dengan saudagar-saudagar Arab yang membawa dagangannya dari pantai Arab Selatan. Barang-barang dagang di sini yang berasal dari timur telah didatangkan oleh saudagar Arab dari Barygaza atau dari pantai-pantai lain di India.
Suatu kemungkinan dapat diperkirakan, yakni bahwa barang-barang yang dibeli atau diangkut dari Barygaza sebagiannya berasal dari pantai utara pulau Sumatra, atau Aceh. Dalam kaitan ini dapat pula diperkirakan mengenai perkembangan masa itu. Bisa jadi dengan pelabuhan bagian paling barat dari kepulauan Indonesia ini, yakni Aceh, telah terlaksana perdagangan antar pulau, seperti dari Kalimantan, Sulawesi (Bugis), Maluku, Jawa, maupun Palembang. Aceh sebagai entrepot untuk hubungan dengan dunia luar. Atau bisa jadi juga orang luar hanya mengadakan kontak dengan pelabuhan Aceh itu sendiri, karena yang terpenting komoditi ekspor pada masa itu adalah lada, kapur barus, emas, maupun perak, semuanya dapat disuplai oleh pelabuhan Aceh. Dalam buku ke-7 Geographia-nya, Ptolemaeus menyebut kota pelabuhan Yabadiou, yang hanya menghasilkan emas dan sangat subur, terletak di bagian paling barat, dicatatnya bernama Argyrës atau Kota Emas. Dapat diperhitungkan bahwa Argyrës tersebut dimaksudkan Banda Aceh atau di sekitar situ.
Posting Komentar untuk "Aceh Dalam Pengenalan Antar Bangsa"