Bekas-Bekas Purba di Aceh: Jejak Sejarah dan Kebudayaan
Bekas-Bekas Purba Aceh
Walaupun tak banyak bukti dalam cerita rakyat (mitos) dan peraturan lama, dapat dipercaya bahwa pengaruh Hindu dan Islam telah berlangsung cukup lama terhadap peradaban dan bahasa Aceh. Namun, mengenai bangunan klasik dari kebudayaan Hindu lama belum ada informasi yang jelas, kecuali beberapa yang ditemukan di Aceh Besar dekat Kruëng Raja di kaki Gunung Selawah.
Menurut riwayat lama (mitos) di Lamu Panaih, Kalee, Biheue, dan Laweueng, di daerah tersebut terdapat kerajaan-kerajaan Hindu kecil. Hasil bumi wilayah-wilayah itu adalah belerang, kapur barus, kayu cendana, sumbu badak, dan gading gajah. Tidak jauh dari tempat tersebut, ditemukan bangunan-bangunan lama, yang di dalamnya terdapat satu kuta atau perkampungan orang Hindu yang disebut kampung "Panei" atau "Pandeei" dekat dengan kampung Batee. Penduduk di sana bekerja sebagai tukang buat parang, pembakar kapur, pembuat periuk, dan petani bawang. Pelabuhannya berada pada sebuah teluk yang sempit. Mungkin teluk inilah yang disebut Pandei (Panei) oleh Hamilton dalam perjalanannya pada tahun 1688, bukan Panei yang berada di pesisir timur Sumatra.
Di Pasai, Pidie, dan Aceh Besar, banyak ditemukan batu nisan dari makam raja-raja, ulama, dan orang-orang Islam lainnya. Sepanjang jalan terlihat nisan-nisan berukir yang indah, yang dapat disebut sebagai salah satu kekayaan kebudayaan Islam peninggalan lama. Selain itu, di Aceh Besar dan Pidie terdapat beberapa reruntuhan, yaitu:
A. Di daerah Tungkob (XXVI Mukim Aceh Besar):
- Reruntuhan dekat Ladong, di sebelah selatan Ujung Kareueng, asalnya tidak diketahui.
- Reruntuhan dekat Neuheum, dikenal sebagai Kuta Po Daniet, di sebelah selatan Ujung Batee. Bekas "kuta" ini dahulunya berfungsi sebagai tempat pertahanan.
- Reruntuhan di muara Kruëng Raja, di sebelah barat laut Ladong. Asalnya tidak diketahui, mungkin bekas masjid Indraparta.
Reruntuhan ini telah dua kali saya kunjungi, terakhir pada bulan September 1939 bersama Dr. T. Iskandar dan wakil ketua serta sekretaris dari lembaga kebudayaan Aceh, Tgk. M. Junus Djamil dan A.K. Abdullah. Saat melakukan pemeriksaan, saya dan Dr. Iskandar meneliti dengan cermat apakah reruntuhan itu merupakan bekas kuil Hindu, namun tidak ditemukan sisa-sisa logamnya atau mimbar masjid yang biasanya menghadap ke barat seperti pada bentuk masjid pada umumnya. Hanya ditemukan dua sumur besar yang tertutup dan dilapisi batu bata pada dua sudut pekarangan. Kontruksinya ditahan oleh balok kayu yang hingga kini belum runtuh. Kami menduga tempat tersebut bukanlah candi atau masjid, melainkan tempat penyimpanan alat-alat senjata perang, seperti bedil, mesiu, peluru, dan lain-lain, sehingga diduga bekas benteng (lodji) Portugis yang kemudian direbut oleh pasukan Sultan Iskandar Muda.
B. Di daerah Kruëng Raya:
- Reruntuhan di tepi kiri Kruëng Raya, sekitar 300 meter dari muara, sering dikatakan sebagai bekas masjid.
- Di pedalaman Kruëng Raya, ada bekas kota yang disebut Kuta Inong Balëe. Menurut mitos, reruntuhan ini adalah bekas asrama yang dibangun oleh Ratu Tadjul Alam sebagai tempat untuk memelihara janda-janda dan anak-anak dari prajurit yang gugur saat Sultan Iskandar Sani menyerang Kuta Portugis di Malaka pada tahun 1640/1641.
- Reruntuhan di muara Kruëng Lubok, yang kemungkinan adalah bangunan yang disebut oleh T.J. Veltman sebagai Kuta Lubok, yang asalnya dikatakan sebagai benteng Portugis, namun menurut cerita, benteng tersebut berhasil direbut oleh pasukan perkasa Sultan Iskandar Muda dengan menggunakan gajah dan kemudian dijadikan benteng.
Di Aceh Besar dan Pidie masih terdapat reruntuhan lain yang belum diketahui keterangannya. Ada juga bekas dua benteng lama, satu dekat stasiun Peukan Pidie dekat Sigli. Sebuah benteng lama tersebut, disebut oleh penduduk sebagai Kuta Asan, kabarnya didirikan oleh orang Aceh pada akhir abad ke-18 dengan tembok dari tanah-bata, memiliki gerbang batu, dan beberapa bastion.
Di Pantee Raja, di atas bukit, terdapat makam raja-raja, namun belum ada penjelasan mengenai benteng (kuta) Portugis yang kemudian direbut oleh Aceh. Reruntuhan ini, saat pembangunan jalan raya antara Paru dan Pantee Raja, batu-batunya telah dibongkar untuk pengerasan jalan pada sekitar tahun 1903. Ada dua meriam besar yang dinamai Sepanjang Tujuh, artinya 17 hasta, yang diletakkan di Kuta Sawang bekas Kuta Laksamana Mahmud. Meriam ini sekitar tahun 1906 diangkat oleh Bivak Commandant Lueng Putu, dikirim ke Ulee Lheue untuk dikirim ke Batavia. Saya sendiri menyaksikan saat meriam tersebut diangkat, sehingga saya yakin meriam itulah yang ada di depan museum (Gedung Gajah) di Jakarta saat ini.
Ada sebuah benteng lagi di daerah Terumon, yang menurut W.L. Ritter didirikan oleh Raja Budjang, anak dari Tgk. di Singkel yang bernama Leubee Leman atau Sulaiman Ulubalang, pendiri pertama wilayah Terumon. Kemudian Raja Budjang ini pada tahun 1830 membuat kontrak dengan Belanda dan diangkat sebagai Raja (Zelfbestuurder) Terumon. Leubee Leman atau Tgk. di Singkel dan Said Husain dari Penang adalah murid dari Tgk. di Andjong di kampung Keudah. Keduanya sangat cerdas, sehingga diberi pesan oleh gurunya, jika ingin sukses, satu pergi ke timur dan satu ke barat untuk membuka negeri atau berdagang. Maka Said Husain pergi berdagang ke Pulau Penang dan Leubee Leman ke Singkel, sehingga namanya disebut Teungku di Singkel. Dari Singkel ia pindah ke Terumon dan membuka negeri tersebut yang kemudian diangkat oleh Sultan Aceh sebagai hulubalang Terumon. Itulah ayah Raja Budjang yang membangun Kuta Terumon tersebut.
Posting Komentar untuk "Bekas-Bekas Purba di Aceh: Jejak Sejarah dan Kebudayaan"