Sejarah Lengkap Negeri Meulaboh: Dari Perang Padri hingga Perkebunan Lada
Sejarah Negeri Meulaboh
Adapun negeri di pantai barat Aceh yang bernama Pasir Karam, sudah dibangun pada masa Sultan Saidil Mukamil (1388–1604). Pada masa Sultan Iskandar Muda (1607–1630), pembangunan negeri ini dilanjutkan dengan orang-orang yang berkebun merica. Namun, keadaan masih belum ramai karena belum dapat melawan negeri Singkil yang banyak disinggahi kapal dagang untuk mengambil muatan, seperti kemenyan dan kapur barus. Kemudian, pada masa Sultan Jamalul Alam, negeri Pasir Karam diperluas dengan pembangunan kebun lada, yang mendatangkan orang-orang (imigran) dari Pidie dan Aceh Besar. Namun, baginda tidak lama memerintah karena meninggal pada tahun 1755.
Ketika Perang Padri di tanah Minangkabau (Sumatera Barat, 1805–1836) berlangsung, banyak orang yang menghindari peperangan dan datang ke pesisir barat Aceh (Pasir Karam) untuk membuka perkebunan lada. Berikut ini adalah perkembangan yang terjadi:
Meulaboh
Adapun asal-usul nama negeri Meulaboh berasal dari masa Perang Padri (antara tahun 1823–1837). Orang-orang dari Minangkabau datang dengan perahu sampai ke daerah Pasir Karam. Setelah berunding, mereka memutuskan untuk berhenti dan salah seorang kepala rombongan berkata, "Dijauhkanlah perahu ini" dan perahu itu akhirnya dilabuhkan di teluk Pasir Karam. Sejak saat itu, teluk tersebut dinamakan Meulaboh, yang berasal dari kata "dijauhkan perahu."
Di antara orang-orang yang datang, terdapat tiga orang yang menjadi kepala, yaitu:
- Datuk Manadum Sakti dari Rawa.
- Datuk Radja Agam dari Luhak Agam.
- Datuk Radja Alam Song Song Buluh dari Sumpu.
Mereka lalu membuka kebun masing-masing, menebas hutan, dan membangun negeri. Rombongan tersebut terbagi menjadi tiga kelompok:
- Datuk Machudum Sakti berhuma di Merbau.
- Datuk Radja Agam berhuma di Ranto Pandjang.
- Datuk Radja Alam Song Song Buluh berhuma di Ujungkala dan menikah dengan anak seorang pembesar yang berpengaruh di Ujungkala.
Perladangan mereka semakin berkembang dan semakin ramai, sehingga negeri tersebut menjadi makmur. Ketiga orang itu kemudian sepakat untuk menghadap Sultan di Aceh, Sultan Mahmud Shah, yang juga dikenal sebagai Sultan Bujung (1830–1839), untuk memperkenalkan diri mereka. Setelah pertemuan itu, masing-masing Datuk membawa sebuah botol mas urai sebagai hadiah untuk Sultan.
Setelah itu, Sultan mengangkat Datuk Radja Alam Song Song Buluh menjadi uleëbalang Meulaboh dan menetapkan agar mereka mengirimkan upeti setiap tahun kepada Bendahara Kerajaan. Semua peraturan dan titah Sultan diterima dengan baik oleh para Datuk. Setelah urusan mereka selesai, mereka pun kembali ke Barat (Meulaboh).
Beberapa tahun kemudian, ketiga Datuk merasa keberatan untuk mengurusi masalah kecil-kecil dan langsung menghadap Sultan lagi di Aceh. Setiap tahun mereka harus mengirimkan upeti sendiri. Oleh karena itu, mereka bermufakat untuk meminta Sultan Ali Iskandar Shah (1829–1841) untuk mengirimkan seorang wakil Sultan ke Atjeh Barat untuk memerintah dan menerima upeti. Permintaan mereka disetujui dan Sultan mengirimkan Teuku Tjhié Purba Lela, yang pada waktu itu menjabat sebagai wazir Sultan Aceh, untuk memerintah dan menerima upeti dari Meulaboh.
Karena para uleëbalang merasa senang atas pengiriman wakil Sultan, tetapi dalam hal hukum dan adat banyak terjadi pelanggaran, mereka kembali bermufakat untuk meminta Sultan mengirimkan lagi seorang wakil khusus untuk memeriksa dan mengatur urusan hukum serta pelanggaran adat di negeri itu. Sultan Mansur Shah akhirnya mengirimkan Penghulu Sidik Lila Digahara sebagai wakil Sultan di Atjeh Barat untuk menyelidiki dan mengatur hukum negeri.
Setelah itu, para uleëbalang menyampaikan permohonan kepada Sultan untuk mengirimkan seorang ulama untuk menangani masalah nikah, pasah, dan hukum adat. Permintaan ini pun dikabulkan, dan Sultan mengirimkan Teuku Ljut Din, seorang ulama yang bergelar ‘Almuktasimu binlah’, untuk menjabat sebagai kadhi di Meulaboh.
Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim Mansur Shah (1841–1870), negeri-negeri di Aceh Barat semakin berkembang pesat karena banyak orang dari Sumatera Barat yang pindah ke Aceh Barat (Meulaboh dan sekitarnya) untuk berkebun lada. Mereka tidak lagi bebas berkebun di sana akibat peraturan oktroi dan cultuurstelsel yang diberlakukan oleh pemerintah Belanda, yang mewajibkan rakyat menjual hasil kebun kopi mereka kepada pemerintah Belanda.
Karena semakin berkembangnya perkebunan lada di Aceh Barat, kapal dagang Inggris mulai sering masuk ke pesisir tersebut untuk mengangkut hasil lada yang dibawa ke pelabuhan Pulau Pinang.
Pada masa itu, para kepala negeri di Aceh Barat mengatur tata negara seperti di negeri Pidie, dengan membentuk Federasi (persekutuan) uleëbalang yang disebut Kawaj XVI, yang dipimpin oleh uleëbalang Kedjruën Tjiek Udjung Kala/Meulaboh. Daerah-daerah yang tergabung dalam Federasi Kawaj XVI antara lain:
- Meulaboh/Tandjung.
- Udjung Kala.
- Seunagan.
- Teuripa.
- Woyla.
- Peureulak.
- Gunung Meuëh.
- Kuala Meureubok.
- Ranto Panjang.
- Reudeueb.
- Lango.
- Keuntjo.
- Langkadeuön.
- Gumé/Mugo.
- Meuko.
- Tadu.
- Seunei'i 'Am
Selain Federasi Kawaj XVI, di perbatasan Aceh Barat dengan Pidie di pedalaman juga terbentuk satu federasi uleëbalang yang disebut Kawaj XII, yang terdiri dari dua uleëbalang, yaitu:
- Pameuë.
- Ara.
- Lang Jene'.
- Reungeuët.
- Geupho.
- Reuhat.
- Tungkup/Dulok.
- Tanoh Merah/Tulul.
- Geumpang.
- Tangse.
- Beunga.
- Keumala.
Federasi Kawaj XII ini dipimpin oleh seorang Kedjruën yang berkedudukan di Geumpang.
Posting Komentar untuk "Sejarah Lengkap Negeri Meulaboh: Dari Perang Padri hingga Perkebunan Lada"