Menelusuri Sejarah Negeri Idi: Dari Pangkalan Nelayan hingga Pusat Perdagangan Lada

Sejarah Negeri Idi

Sejarah Negeri Idi di zaman purbakala sangat gelap dalam lembar sejarah lama. Hanya dahulu disebut-sebut Udjung Kuala Djambo Aie (Djambur Air), perbatasan negeri Pasai dan seterusnya ada disebut Aru (Pangkalan Susu), Peureulak, Pasai, Pidie, Aceh, dan negeri-negeri di sebelah baratnya.

Menelusuri Sejarah Negeri Idi Dari Pangkalan Nelayan hingga Pusat Perdagangan Lada

Kemungkinan Negeri Idi termasuk daerah kerajaan Peureulak di zaman dahulu dan dihuni oleh kaum-kaum nelayan saja. Dalam buku Singa Aceh disebutkan bahwa asal nama Negeri Idi berasal dari kata-kata: "M.a-ië dhiêt" yang kemudian kata-kata itu tinggal menjadi sebutan Idi saja.

Dalam riwayat perjalanan Marco Polo pada abad XIII, antara negeri Peureulak dan Pasai terdapat satu bandar yang bernama Basma. Namun, tidak diketahui negeri mana itu sekarang, mungkin dikira Djulo' (Kuta Bindjei).

Kemudian, setelah dibuka bandar Pulau Pinang oleh Raffles pada abad XIX sekitar tahun 1805, menjadi terkenal karena kedudukannya yang strategis di Selat Melaka, berhadapan dengan Teluk Pulau Pinang dan Seberang Perai. Maka, kemajuan perhubungan lalu lintas laut pun berkembang, terutama setelah terbukanya Terusan Suez pada tahun 1869. Bandar Pulau Pinang menjadi pusat pasar dagang antara bandar kecil di Tanah Aceh (Sumatera), seperti lada yang diangkut orang ke Pulau Pinang dan Singapura menggunakan kapal-kapal dari perusahaan Inggris dan Belanda.

Dalam perkembangan perdagangan ini, Negeri Idi dan sekitarnya yang dahulu sangat gelap kini berkembang dengan perkebunan lada yang membawa kemajuan besar.

Siapa dan dari mana orang-orang yang membangun Negeri Idi itu adalah seperti yang disebutkan oleh Sahibul Hikayat 1, Sjahhandar Suleiman, sebagai berikut:

  1. Datang ke Kuala Idi Panglima Perang Nja Sim, asal dari Biang Me.
  2. Panglima Muda Sikeling dan Tok Nafe, asal dari kampung Biang.
  3. Rombongan ini berasal dari Pulau Kampai Pangkalan Susu (Besitang) dengan perahu-perahu membawa pukat dan bubu untuk mencari ikan (nelayan). Rombongan ini berfikir lebih baik membangun sebuah pemukiman, karena usaha mencari ikan saja tidak cukup untuk menjadi negeri. Kemudian, setelah berunding, mereka pun mulai menebas hutan:

  • Panglima Perang Nja Sim menjadi pemimpin (leider) dari rombongan ini. Pada awalnya, Panglima Perang Nja Sim memegang jabatan Panglima Besar dari L Muda Nja Be'uëng, Uleebalang Biang Me.
  • Panglima Muda Sikeling menebas hutan di seuneubo rambung, yang sekarang menjadi kelurahan Station Idi.
  • T. Itam, asal dari Meureudu Kuta Baroh, menebas hutan di Biang Seukutji.
  • T. Bukit Bateë, asal dari Pidie, menebas hutan di Keude Dua dan dengan mengangkat Peutua Nja Se sebagai Ketua seuneubo.

Kemudian datang pula:

  1. Said Idrus, membawa masuk orang-orang dari Aceh Besar yang menjadi kepala di Keutjhi Sa'at.
  2. Orang-orang dari Pidie, dibawa oleh kepala rombongan T. Bukit Bateë.
  3. Orang-orang dari Pasai, dibawa oleh kepala rombongan T. Itam ke seuneubonya di Biang Seukutji.

Nama Biang Seukutji berasal dari peristiwa ketika T. Itam bermimpi melihat sebuah gutji (gua) dalam biang itu, namun saat ingin diambil, gutji tersebut hilang kembali ke dalam tanah.

Panglima Perang Nja Sim adalah seorang yang kebal terhadap peluru dan besi, bahkan pernah disambar petir tanpa mengalami cedera. Oleh karena itu, ia sangat ditakuti oleh orang-orang pada waktu itu.

Kolonisasi ini semakin berkembang, karena semakin banyak orang-orang dari Pidie, Pasai, Peusangan, dan Aceh Besar yang datang. Adapun Tgk. Dibukit, keturunan Said, membuat seuneubo di dekat station, yaitu kampung Baru sekarang.

Seuneubok yang dibuatnya berada di Bukit Pala, hingga perbatasan Idi Tjut, dikerjakan oleh T. Tjul Lambo, dan di bagian utara oleh T. Digureb, serta di selatan oleh Dama Pulo yang dikerjakan oleh Tgk. Paja Raman.

Setelah banyak orang datang, mereka sepakat untuk menanam lada, dan beberapa orang dikirim ke Pidie dan Aceh Barat untuk mencari bibit lada. Setelah beberapa tahun, tanaman lada berkembang dengan pesat, dan semakin banyak orang datang ke Negeri Idi, sehingga terjadi hubungan perdagangan dengan Pulau Pinang.

Karena Negeri Idi semakin maju, maka Uleebalang Peureulak merasa marah, karena Krueng Idi menjadi perbatasan antara daerah kerajaan Peureulak dan Djulo, yang akhirnya menyebabkan perang.

Kemudian dengan kedatangan pasukan Djulo, perang pun terjadi. Karena Panglima Perang Nja Sim memiliki banyak pengikut, perang ini berlangsung sangat sengit. Pada saat itulah Keude Idi didirikan.

Sementara itu, orang-orang lain seperti Panglima Kaum Biang Kabu dari Biang Me, dan T. Malim Suloë, seorang yang cerdik dari Pidie, diangkat menjadi penasihat Panglima Perang Nja Sim.

Perang dengan Djulo berlangsung beberapa kali, namun orang-orang di Idi tidak mau tunduk pada salah satu Uleebalang itu. Setelah Panglima Perang Nja Sim meninggal dunia, ia digantikan oleh anaknya, T. Ben Gutji. Pada waktu itu, orang-orang di Idi memutuskan untuk menjalin hubungan langsung dengan Sultan Aceh.

Beberapa orang dari Idi, termasuk T. Panglima Biang Kabu, T. Malim Suloë, T. Itam Biang Seukutji, T. Tjhi Ben Gutji, dan H. Ma Rampang, pergi ke Sultan Ibrahim Mansur Syah (tahun 1841–1870) untuk menjalin hubungan. Sultan mengangkat T. Tjhi Ben Gutji sebagai Uleebalang Idi dengan mendapatkan "tjap sembilan" (segel kerajaan).

Setelah pulang dari Aceh, Uleebalang Peureulak dan Djulo semakin marah, dan beberapa kali terjadi perang. Karena khawatir dengan serangan dari Uleebalang Djulo, T. Tjhi Ben Gutji mempererat hubungan dengan T. Muda Angkasah, Uleebalang Biang Me, dan mengirim beberapa orang ke Riau untuk menjalin persahabatan dengan pemerintah Belanda, setelah ekspedisi Aceh gagal. Pada akhir tahun 1871, mereka berangkat ke Riau, dan mengikat tali persahabatan dengan Belanda.

Setelah itu, Belanda datang ke Idi dan mendirikan benteng di Kuala pada 17 Mei 1875, membawa bendera Belanda. Negeri Idi semakin ramai, karena hasil lada yang melimpah. Kapal-kapal seperti Pigu, Hok Kinaton, dan kapal Radja mengangkut lada ke Pulau Pinang.

Pada satu waktu, perang Gureb atau perang T. Dibukit terjadi akibat perselisihan kecil antara orang Pasai dan Aceh. Orang Aceh mengatakan kepada orang Pasai: "Pasai sikin brok," yang menyebabkan kemarahan orang Pasai. Perkelahian pun terjadi, dan banyak orang Aceh yang tewas.

Karena itu, T. Paja L'Ieebalang Landjung Seumanto menuntut bela, yang menyebabkan perang antara T. Paja dan T. Tjhi Idi. T. Tjhi Idi dilolong oleh orang Bagok, dan T. Muda Tjut Latif Meureudu. Mereka membuat Kola di Bukit Leusong. Kapal (Seukuna) I. Paja Raman, Djikasi, dan Seukuna Djambi dirampas oleh orang Idi. Akhirnya, T. Paja Raman kalah dan melarikan diri ke Aceh Besar.

Setelah T. Paja Raman kalah, Negeri Landjung Seumanto diberikan kepada T. Muda Angkasah. Benteng Belanda di Kuala dipindahkan ke Benteng Arun, dekat stasiun sekarang, dan di sana dibangun rumah dan kantor Controleur B.B.

Bandar Idi semakin ramai dengan hasil lada, dan pemerintah Belanda memberikan bantuan kepada T. Tjhi Ben Gutji. T. Tjhi Ben Gutji menerima kehormatan Nederlandsche Leeuw, sementara pelabuhan dibagi dua dengan T. Tjhi Idi. Setelah meninggalnya T. Tjhi Ben Gutji, anaknya yang tertua, T. Ijhi Hasan Ibrahim, diangkat menjadi Uleebalang Idi. Penghasilan lada semakin meningkat hingga mencapai 5000 kojan (sekitar 200.000 pikul). T. Mal Said dari Meulaboh membawa banyak orang, yaitu 180 Peutua dengan hutang pangkal sendiri ketika T. Tjhi Ben Gutji masih hidup.

Sampai sekarang, Negeri Idi menjadi terkenal dengan produk lada yang dijual ke seluruh dunia, terutama di pasar Pulau Pinang dan Singapura.

Posting Komentar untuk "Menelusuri Sejarah Negeri Idi: Dari Pangkalan Nelayan hingga Pusat Perdagangan Lada"