Mengungkap Sejarah Negeri Daya: Asal Usul, Tradisi, dan Jejak Peradaban

Sejarah Negeri Daya

Penduduk Asli Negeri Daya

Dahulu kala, di hulu Krueng Daya (Sungai Daya) ada sebuah dusun bernama Lhan Na yang sekarang disebut Lam No. Dusun itu dihuni oleh orang-orang liar yang belum beragama. Mereka diduga berasal dari bangsa Lanun, orang Aceh menyebutnya "Lhan" atau bangsa Samang yang datang dari tanah Semenanjung Malaya atau dari Hindia Belakang, negeri Burma dan Tanjung. Mereka mungkin ada hubungannya dengan bangsa Mongol yang mengalir dari kaki Gunung Himalaya.

Mengungkap Sejarah Negeri Daya: Asal Usul, Tradisi, dan Jejak Peradaban

Kemudian penghuni di hulu Sungai Daja itu bercampur dengan orang-orang yang baru datang ke situ, dan karena percampuran ini, peradabannya bertambah maju. Setelah datang kesitu dari Aceh Besar dan Pasai, orang-orang atau raja-raja yang beragama Islam, maka semenjak itulah orang-orang di pesisir negeri Daja menganut agama Islam dan kemudian berangsur-angsur orang liar itu semua masuk Islam.

Nama Negeri Daya

Pada pertengahan abad XV, terjadi perang antara Raja Pidie dengan Raja Pasai. Terjadi pemberontakan merebut kekuasaan yang digerakkan oleh Raja Nagor, bekas pahlawan Pasai yang telah dihukum. Dalam pertempuran itu, Raja Pasai kalah, Sultan Haidar Bahian Sjah tewas, singgasana pun dirampas Raja Nagor Pidie. Sejak itu kerajaan Pasai dikendalikan oleh Raja Nagor pada tahun 1417. Setelah Raja Nagor memerintah negeri Pasai, banyak terjadi pertentangan dengan kaum turunan keluarga Sultan Pasai. Mereka banyak yang disuruh bunuh. Oleh sebab itu, beberapa orang turunan Raja Pasai menghindar dan pergi mencari atau membuka negeri baru. Salah seorang di antaranya jatuh ke Daja. Asal kata Daja berasal dari "tidak berdaja lagi" karena sudah cukup usaha.

Menurut dongeng, pada zaman dahulu, ketika turunan atau orang yang menjadi Raja datang ke negeri itu sampai di Kuala Daja, kandas rakit atau perahunya. Isi rakit atau perahu itu semua turun, menolak melepaskan perahu yang kandas tersebut. Namun, bagaimanapun mereka menolak, perahu itu tetap kandas. Maka pemimpin orang itu menyebut sudah cukup usaha dan daya upaya, tetapi tidak berhasil. Oleh karena itu, disebut "tidak berdaja". Sebab itu, mereka tinggal di rumah-rumah di Kuala Daja, dan dari situlah negeri itu dinamai "Tidak berdaja". Kemudian lama kelamaan, orang menyebutnya "Daja". Menurut suatu berita, asal Raja Daja adalah turunan dari Raja Aceh Besar yang mengasingkan diri dan membuka negeri, karena berselisih dengan saudaranya.

Nama Peukan Lamno

Pada waktu ekspedisi Raja Daja datang ke hulu Sungai Daja untuk memeriksa penduduk atau isi negeri itu, mereka sampai di tempat yang sekarang terletak pekan Lam No. Di situ, kedapatan penghuni kampung yang serupa dengan orang Lanun dari Malaya atau Hindia Belakang. Orang Lanun itu oleh orang Aceh disebut orang Lhan. Orang Lhan yang ditemukan di situ masih liar, belum suka memakai kain, pakaian mereka terbuat dari kulit kayu dan kulit binatang yang tipis. Orang-orang Lhan itu adalah penduduk asli yang sudah ada di situ, maka disebutlah "Uian kana" atau "Lhan na" di tempat itu. Oleh orang-orang yang memeriksa, tempat itu disebut "Lhan na", yang artinya orang Lhan sudah ada di situ. Kemudian sebutan "Lhan na" atau "Lhan hana" berkembang menjadi Lam Na dan selanjutnya, setelah Belanda masuk, menjadi Lam No. Mungkin sebutan Lhan Na berubah dalam sebutan serdadu-serdadu suku Jawa Lanno. Hal ini serupa dengan Lam-ie di dekat Meulaboh, karena kedua kata itu disatukan menjadi "Larme", yang sampai sekarang disebut Lamie saja.

Riwayat Pahlawan Syah

Adapun Pahlawan Sjah, riwayatnya lebih lanjut didapat dari Raja Adian, turunan dari bekas Uleëbalang (Zelfbestuurder) yang terakhir pada 1945. Ceritanya seperti berikut:

Heritagenya yang disebutkan di atas diakui benar, karena ada negeri yang namanya Tjot Empeë dan mungkin dahulu bernama Djeura Empeë, begitu juga nama tempat atau kampung yang bernama Panic Tjermin, sebab di tempat itu airnya jernih seperti kaca yang terang. Pahlawan Sjah benar ada berperang dengan Poteu Meureuhom, tetapi nama yang jelas dari Meureuhom itu tidak diketahui. Menurut cerita orang tua-tua, Pahlawan Sjah itu meninggal bukan ditembak atau dibunuh, karena ia tidak dimakan besi atau peluru, tetapi ia meninggal karena dirantai kaki tangannya. Dalam rantai itu selalu disentakkan rantai besi ikatannya, lama kelamaan ia meninggal dalam ikatan itu. Kekuatan tenaganya memang diakui orang. Ia seorang yang kuat dan badannya besar tinggi. Kekuatan tenaganya sampai sekarang masih ada bekas tapak kakinya. Ini pun memiliki riwayat tersendiri, yaitu: waktu ia mencabuli sebuah pohon kelapa, kakinya terbenam ke tanah dan batang kelapa itu tertancap. Tempat itu disebut "Tapak Kaki Pahlawan Sjah" di Kuala Daja.

Asal Nama Keuluang

Ada yang menceritakan asal nama Keuluang, karena Pahlawan Sjah besar tinggi badannya. Kalau dipanggil oleh Raja untuk menghadiri Rapat (Musapat), karena ia lebih tinggi dan besar dari orang-orang yang lain, maka peraturan yang dikeluarkan oleh Raja pun berbeda dari yang lain dan suatu ranjangan adat atau hukum diberikan kelonggaran untuknya, supaya dapat mengatur atau menentukan sendiri. Maka sebab itulah ia disebut Raja Keuluang.

Negeri Keuluang itu dahulu terbagi dalam 4 daerah:

  1. Keuluang
  2. Lam Beusuë
  3. Kuala Daya
  4. Kuala Unga

Adapun disebut Kuala Lam Beusuë, karena dahulu pada satu waktu ada sebuah perahu yang berisi besi muatannya, sedang terbenam di kuala itu, sebab itulah disebut nama Kuala Lam Beusuë. Kata-kata itu kemudian berubah menjadi Lam Beusuë saja.

Masa pemerintahan Pahlawan Syah, menurut pemeriksaan Controleur Vetner yang memerintah negeri Tjalang pada tahun 1938, kejadian ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 1300 atau 1303. Diterangkan pula oleh I. R. Adian, pertalian keluarganya berserak mulai dari Tanoh Abeë dekat Seuli Meum Sagi XXII mukim, Krueng Sabe dekat Tjalang, dan Kandangan dekat negeri Bakongan (Tapa Tuan). Jika naskah ini serta keterangan I. R. Adian itu kita hubungkan dengan makam Sultan Ali Riajat Sjah atau Marhum Daja, yang menurut pemeriksaan Prof. Dr. Mussain Djaja Dinningrat, Marhum Daja meninggal pada tahun 1308. Akan tetapi ada lagi satu cerita di Kuala Unga dekat Daja, ada sebuah kuburan Raja atau Sultan yang mangkat pada tahun 1497, tetapi belum jelas siapa Marhum Unga dan siapa Marhum Daja. Apakah Marhum Unga itu yang seorang Pahlawan Sjah, anak Raja Pasai yang disebutkan di atas, yang membuka negeri Daja. Kemudian datang Marhum Daja, Sultan Ali Riajat Sjah yang bernama Lizar, anak dari Sultan Inajat Sjah ibnu Abdullah Al Malikid Mubin, yang bersaudara dengan Sultan Muzaffar Sjah Raja di Aceh Besar dan bersaudara pula dengan Munawar Sjah Raja di Pidie, dan bisa dipastikan bahwa negeri Keuluang/Daja itu dibangun atau berdiri pada akhir abad ke XV oleh Marhum Unga atau Marhum Daja.

Setelah negeri Daja dibangun oleh Marhum tersebut, maka keadaan negeri itu bertambah maju dengan penanaman maritja atau lada, karena itu pula banyak datang saudagar-saudagar Arab, Tionghoa, dan Pegu. Kemudian datanglah orang Portugis dan Spanyol pada akhir abad XVI, dan setelah itu pula datang orang Belanda, Inggris, Prancis, dan lain-lain. Mungkin di dalam daerah negeri Daja ini banyak tinggal peranakan dari Spanyol atau Portugis ataupun orang Turki, sebab sampai sekarang di bagian itu (Lam No) ada orang yang mirip dengan orang Eropa, kulitnya putih, badannya tegap, dan matanya sedikit kebiru-biruan seperti mata orang Eropa.

Satu riwayat juga menerangkan bahwa di atas Kuala Lam Beusuë, dahulu banyak ahli teknik yang tinggal di situ sebagai ahli pertukangan dari bangsa-bangsa Parsi, Turki, dan Spanyol. Tenaga teknik ini digunakan untuk membuat kapal-kapal besar: top, seukuna, djong, dan ghali (kapal perang model kapal perang Spanyol), yang disuruh oleh Sultan untuk memperkuat kesatuan di Lautan Samudra.

Posting Komentar untuk "Mengungkap Sejarah Negeri Daya: Asal Usul, Tradisi, dan Jejak Peradaban"