Menguak Sejarah Negeri Alas: Dataran Subur dengan Kisah Penuh Misteri

Sejarah Negeri Alas

Tanah Alas terbentuk dari suatu lembah dalam dua kecamatan, yaitu: Bambel dan Pulau Nas, yang dikelilingi oleh bukit-bukit barisan yang tinggi, sehingga menyerupai belanga (periuk). Ibu negerinya Kutacane yang terletak di dalam lingkungan yang diapit kiri kanan oleh dua sungai, yaitu Lawee Bulan dan Lawee Alas (Lawee artinya sungai). Tanahnya subur karena senantiasa ditimbun oleh lumpur-lumpur yang dihantarkan oleh kedua sungai itu.

Menguak Sejarah Negeri Alas Dataran Subur dengan Kisah Penuh Misteri

Sungai Lawee Bulan menyatu dengan sungai Lawee Alas, pertemuannya di kampung Kuala Beureungat. Kemudian, kedua sungai ini mengalir ke Rondeng, bertemu dengan sungai Simpang Kiri. Sungai ini mengalir terus ke bawah, bertemu dengan sungai Simpang Kanan, lalu menyatu lagi dan dinamai sungai Singkel yang bermuara ke Singkel (Laut Hindia).

Pekerjaan utama penduduk tanah Alas adalah bertani, terutama menanam padi, tembakau, kopi, getah, kelapa, gambir, dan tanaman lainnya, serta mencari hasil hutan seperti kayu rumah dan rotan. Mereka juga menggeluti peternakan, terutama kerbau, lembu, kuda, biri-biri, kambing, ayam, dan itik.

Dari Kutatjane, orang dapat berperahu ke Singkel untuk mengangkut hasil bumi dan keperluan penduduk dari kedua negeri. Perjalanan dari Kutatjane ke Singkel biasanya memakan waktu 3 hingga 4 malam dengan sampan, membawa barang-barang seperti lampu minyak tanah yang dibawa dari Medan (Pengkalan Berandan), beras, tembakau, gula, dan lainnya. Tempat-tempat untuk singgah di perjalanan antara lain: Batu Gadjah (malam pertama), Buloh Tjarak (malam kedua), Pasir Blaw (malam ketiga), Rondeng (malam keempat), dan Singkel (malam kelima).

Kembali ke Kutatjane, perjalanan memakan waktu 12 hingga 13 malam. Tempat-tempat singgah dalam perjalanan pulang antara lain: Singkel, Sama-dua, Ronding, Repang, Ruam, Keude Ampon Tuan, Buluh Tjarek, Liang Bunga, Kempua, Glumbang Baru, Seubilak, Penghapan (daerah Alas), Keuram, dan akhirnya sampai di Kutatjane. Barang-barang yang dibawa dari Singkel ke Kutatjane biasanya berupa garam, ikan asin, belatjan, dan putjuk (daun rokok).

Tanah Alas diperintah oleh Wedana (Kewedanaan) yang meliputi kabupaten Aceh Tengah (Takengon), tetapi karena kesulitan perhubungan, ditempatkan seorang Patih yang berurusan langsung dengan Gubernur daerah Istimewa Aceh di Kutaradja. Penduduk negeri ini berjumlah sekitar 60.000 jiwa yang tersebar di dua kecamatan, Bambel dan Pulau Nas. Nama Bambel berasal dari Bambi, nama sebuah kampung/kecamatan di Pidie, yang dinamai demikian karena kepala yang membuka negeri Bambel ini berasal dari Kampung Bambi.

Hubungan Kutatjane-Kutaradja melalui Medan dahulu berjarak sekitar 217 km. Kedalaman Kutatjane terletak di Biang Kedjreun yang berjarak sekitar 130 km, diperintah oleh Wedana di bawah Kabupaten Aceh Tengah. Di daerah Tanah Alas terdapat perkebunan kopi yang dikuasai oleh Negara, yang dulu merupakan milik Jepang. Sekolah-sekolah yang ada adalah Sekolah Rakyat, Sekolah SMP, dan baru dibangun SMA dan SMK.

Asal Usul Negeri Alas

Abdul Samad, gelar penghulu Tebing Datas, dan kawannya yang lain, Tugu dan Njak Gan, ketika datang ke tempat ini pada 7 Januari 1960, sudah berumur 75 tahun. Menurut cerita yang didengar (myth) dari orang tua-tua, dataran Tanah Alas pada zaman purbakala merupakan sebuah danau (timbunan air) seperti Danau Toba. Ketika meletus sebuah gunung di Batu Gadjah sekarang, air yang tergenang itu mengalir ke dalam sebuah sungai besar yang bermuara ke Singkel. Oleh karena itu, sungai Alas sekarang bersatu dengan sungai Singkel. Setelah air mengalir, tempat yang tadinya merupakan danau itu menjadi kering seperti tikar terhampar yang dipanasi matahari, dan kemudian dataran itu ditumbuhi oleh batang-batang talas (jenis keladi air), sehingga dinamai lembah Talas, yang kemudian hanya disebut Tanah Alas oleh orang-orang.

Asal Penghuni Tanah Alas

Menurut cerita yang juga diterangkan oleh Penghulu Tebing Datas, pada zaman purbakala ada seorang raja di Negeri Kloet (Aceh Selatan) yang memiliki tujuh anak laki-laki dan memelihara seekor anjing besar. Ketika sang raja meninggal, anak tertuanya diusulkan untuk menjadi penggantinya, tetapi anak-anak lainnya tidak setuju dan masing-masing ingin menjadi raja. Akibatnya, terjadi perselisihan besar di antara mereka. Kemudian, muncul sebuah usulan, bahwa siapa pun dari mereka yang ingin menjadi raja, harus mengangkat anjing peliharaan ayah mereka sebagai raja. Enam anak raja lainnya menerima usulan ini dan sepakat menobatkan anjing tersebut sebagai raja.

Namun, ketika seorang Aulia datang dan menasehati mereka agar jangan mengangkat anjing tersebut sebagai raja, melainkan salah satu anak raja yang tertua, mereka menolak. Aulia itu memperingatkan bahwa jika mereka tetap memaksakan kehendak, negeri mereka akan mengalami kehancuran. Akhirnya, mereka tetap pada keputusan mereka, dan Aulia itu pun menghilang. Tak lama setelah itu, terjadi angin ribut dan dari lubang tongkat Aulia yang ditancapkan ke tanah, keluar air bah yang menyebabkan negeri itu tenggelam menjadi Laut Bakau.

Setelah negeri tersebut tenggelam, masing-masing anak raja naik perahu menghindari bencana. Beberapa dari mereka menuju Singkel, Dairi, dan Bakkara (Samosir), sementara rombongan lainnya terdampar di dataran Tanah Alas. Dua orang anak yang naik ke hulu sungai Singkel, satu rombongan menuju Bakkara, dan yang satu lagi jatuh ke dataran Tanah Alas, yang kelak dikenal sebagai keturunan Penghulu Tebing Datas (Baji Tebing Ndalas). Mereka datang ke tanah yang baru kering karena letusan Gunung Batu Gadjah, yang masih ditumbuhi batang-batang talas seperti yang telah disebutkan.

Adapun suku atau marga yang pertama datang ke Tanah Alas adalah empat marga: 1. Marga Angas, 2. Marga Pagam, 3. Marga Peureudeustee, dan 4. Marga Keursuas. Lama kelamaan, tempat itu menjadi ramai dengan campuran bangsa atau marga lain, seperti Karo, Selian, Pinim, Beuroh, Monthe, Peulis, Sekeudang, Namin, Deski, Mentjawai, Ramut, Sipajung, Tjebro, Keuruas, dan Keling.

Marga Angas yang pertama datang dikenal dengan tubuh yang besar dan kuat, tetapi mereka telah lama hilang karena mereka merasa terlalu kuat dan ramai, hingga mereka berusaha menuju bulan (memuja bulan). Setelah upaya mereka untuk menuju bulan gagal, banyak yang mati atau terbunuh oleh suku lain. Bahasa dan budaya mereka yang pertama kali datang campur dengan bahasa dan budaya yang baru datang, sehingga terbentuklah bahasa dan budaya Alas yang khas. Setelah itu, datanglah orang-orang dari Aceh dan Minangkabau, suku Tanjianago, yang mempengaruhi bahasa dan budaya tersebut. Karena itu, hingga sekarang, logat bahasa orang Alas hampir serupa dengan logat orang Klueet, Singkel, Bakkara, Samosir, dan Karo.

Posting Komentar untuk "Menguak Sejarah Negeri Alas: Dataran Subur dengan Kisah Penuh Misteri"