Mengungkap Sejarah Aceh Purbakala: Dari Poli Hingga Kerajaan Islam
Sejarah Aceh Purbakala
Sejarah Aceh sebelum tahun 400 sebagian besar masih belum diketahui dengan jelas, hanya terdapat dalam berita dari para musafir Tiongkok, seperti Fa Hsien yang mengunjungi negeri Poli di ujung utara Andalas, yakni negeri Pidie (sekarang) pada tahun 413 Masehi. Setelah itu, bangsa Persia datang pada masa pemerintahan Raja Nushirwan Adil (531–578 M), dan banyak kapal Persia berlayar ke kepulauan Nusantara. Pada tahun 671, musafir Tionghoa I Tsing mengunjungi Nusantara/Indonesia, dan pada tahun 82 H = 704 M datang lagi ekspedisi Persia. Kemudian pada tahun 717 M, bangsa Persia kembali datang dipimpin oleh Zahid.
Pada tahun 778, orang-orang Persia kembali ke Indonesia dengan membawa armada besar yang terdiri dari 35 kapal. Mereka tiba di Langka (Kandi = Sailon), lalu membagi pengajaran mereka ke berbagai arah, termasuk negeri Poli (Aceh), Kadaram, Kedah, Banten (Jawa), Kamboja, dan Kanton (Tiongkok).
Menurut Winstedt, kerajaan Palembang/Seriwijaya berdiri pada tahun 430 M, sementara Poli sudah dikenal sejak tahun 413 M. Menurut cerita ulama terdahulu yang membaca kitab-kitab lama, pada abad ke-8, pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid yang naik tahta pada tahun 170 H = 786 M, ia mengirim mubaligh Islam ke Aceh (Nusantara). Lebih jelas diketahui bahwa pada tahun 224 H = 846 M, seorang Arab bernama Ibnu Khordadzbeh, pengarang kitab Masalik wal Mamalik, datang mengunjungi Nusantara dan singgah di negeri Kedah yang dikenal sebagai penghasil timah.
Tak lama setelah itu, pada tahun 831 M, Sulaiman mengunjungi negeri Kalahbar atau Kalah yang tunduk kepada Raja Sriwijaya (Palembang). Dalam perjalanan tersebut, disebutkan pelabuhan-pelabuhan di Andalas Utara, seperti Poli, Rami, Lamuri, Pandei, Peureulak, Basma, Samudra, dan Sjamtaria (Pasai). Dari pelabuhan-pelabuhan ini, mereka mendapatkan berbagai hasil bumi seperti kapur barus, cendana, kemenyan, sumbu badak, sarang burung, dan lainnya.
Dalam ekspedisi tentara Maharaja Chola Rajendra Chola I pada tahun 1030 M, disebutkan pula nama pelabuhan di Sumatera Utara, yakni Lamuri, Pandee, Poli (Aceh), Melaju (Jambi), Sriwijaya (Palembang), Semenanjung Melaju Kadaram (Kedah), Napapalam "Kra" (Siam), Majirudinggam, Slanggadesjam, dan Tamalinggam.
Menurut cerita dari ulama terdahulu, Abdul Kadir Jailani, pendiri tarekat Qadiriyah, datang ke Aceh untuk mengembangkan tarekatnya pada abad ke-11. Riwayat hidup Abdul Kadir Jailani menyebutkan ia lahir pada tahun 471 H = 1079 M dan wafat pada tahun 561 H = 1166 M.
Sejarah Melayu/Indonesia dan mitos membawa kita kembali hingga abad ke-11, menyatakan bahwa kekuasaan raja-raja Islam di Aceh bermula dari Peureulak pada tahun 1073 M, bersamaan dengan masuknya Islam ke Baktria (Kabul) di Afghanistan oleh Muhammad Ghazni pada tahun 1000–1026 M = 390–417 H. Aceh Besar berdiri pada tahun 1205 M. Setelah itu, berdirilah kerajaan Samudra/Pasai pada awal abad ke-13, walau berita-berita tentangnya terputus-putus dan pendek serta bersifat legenda yang sering kali berbeda-beda.
Kemudian diketahui bahwa Lamuri (Aceh Besar) bukanlah pelabuhan Aceh yang sekarang bernama Kutaraja, melainkan sebuah ibu kota yang kini menjadi kampung kecil bernama Lam Ureëk dekat Peukan Sibreh. Sebelum berdirinya kerajaan Islam di lembah Aceh Besar, terdapat kerajaan kecil seperti Maharaja Biloij, Maharaja Gurah, Maharaja Leu Eu, dan Darul Kameu (Darul Kamal) yang merupakan ibu kota kerajaan Islam yang terletak di Kampung Ulee Lheue sekarang, berdiri sekitar tahun 1318 M. Sebelum itu, kerajaan Islam berada di Kampung Pandee (1205–1218 M).
Gelombang gerakan waktu Islam masuk ke Punjab, Gujarat, dan Benggala dipelopori oleh Muhammad Ghori pada tahun 570–601 H = 1173–1203 M. Delhi pun masuk Islam pada tahun 602 H atau 1206 M, mirip dengan Aceh Besar. Desa Biloij, asalnya dari kata Babilon, nama sebuah negeri dekat Surya (Syam), yang mungkin dihuni oleh orang-orang dari Babilon (bangsa Fenisia) sehingga kerajaan kecil ini tidak terlalu signifikan.
Kerajaan Aceh Rayeuk didahului oleh gabungan kerajaan di pesisir timurnya. Mula-mula Peureulak yang tertua disebut berdiri sebagai kesultanan sekitar tahun 1073 M, lalu pecah menjadi kerajaan kecil akibat serangan Sriwijaya pada tahun 1271 M. Setelah itu pindah ke Semali, Biang Perak, ke Lingga (Gayo), kemudian turun ke Jeumpa di lembah sungai Peusangan, sekarang dikenal sebagai Bireuen.
Sebelum menjadi kerajaan Islam, Jeumpa diperintah oleh Maharaja Jeumpa yang masih mengikuti tradisi Hindu (Wisnu). Setelah itu, berdirilah kerajaan Samudra/Pasai dan kerajaan Tamiang. Kerajaan Tamiang terbentang dari ujung Tamiang (perbatasan Aru) hingga Kuala Bajoeën. Kerajaan Islam di Pidie sebelum Islam diperintah oleh Maharaja Poli dan Maharaja Labuy di Pidie.
Samudra sebagai ibu kota kerajaan Pasai muncul pada pertengahan abad ke-13, sekitar tahun 1260 M. Dalam catatan tersebut, Samudra atau Samadera disebut oleh para penulis Arab sebagai Sumatera. Ibnu Battuta menyebutnya Samthalira, yang kemudian disebut Sumatera oleh para pelaut atau pedagang Portugis (Eropa). Samudra kini hanya menjadi kampung bernama Biang Me, tidak jauh dari stasiun Geudong saat ini.
Nama Samudra tampaknya serupa dengan nama-nama Sansekerta lainnya di Aceh, seperti Indrapatra, Indrapura, dan Indrapuri, menunjukkan pengaruh tradisi Hindu (Wisnu) dalam peradaban dan bahasa asli Aceh yang tidak dapat disangkal. Namun, belum banyak diketahui secara mendalam tentang seni, bangunan, dan patung sebagai peninggalan Hindu di tanah Jawa, karena di sana banyak ditemukan candi seperti Candi Borobudur, Prambanan, Mendut, dan lainnya.
Sejarah Samudra/Pasai diketahui lebih dalam setelah J.P. Moquette meneliti makam raja-raja di Pasai. Berdasarkan batu nisan, Sultan Malik Al-Saleh diduga sebagai pendiri kerajaan Pasai, wafat pada tahun 696 H atau 1297 M. Sebelum wafat, beliau dikunjungi oleh Marco Polo pada tahun 1292, dan kerajaan itu didirikan sebelum tahun 658 H atau 1260 M. Namun, kemudian ditemukan inskripsi makam yang lebih tua, menunjukkan bahwa sebelum Malik Al-Saleh sudah ada Sultan di Pasai bernama Abdul Rahman yang wafat pada tahun 610 H atau 1213 M.
Dengan adanya Pekan Kebudayaan Aceh di Kutaraja pada 17-23 Agustus 1958, ditemukan bukti bahwa di pantai timur Aceh terdapat kerajaan Peureulak yang sudah menjadi kerajaan Islam pada tahun 470 H atau 1075 M. Ke utaranya adalah kerajaan Pasai, sedangkan di Pidie (Pedir) terdapat Maharaja Poli dan Maharaja Labuy yang oleh orang Tionghoa disebut Poli, meliputi seluruh pesisir utara dan dataran tinggi di belakangnya, dan kemudian pada abad ke-15 takluk pada kerajaan Pasai, sementara Aceh Besar takluk pula pada Pidie.
Pada masa kedatangan bangsa Portugis sejak tahun 1309, Laksamana Diogo Lopez Sequeira singgah di Pidie. Namun, karena diusir, ia beralih ke Geudong (Pasai) dan kemudian merebut Melaka. Saat itu, Aceh Besar masih merupakan wilayah yang tunduk kepada Pidie.
Posting Komentar untuk "Mengungkap Sejarah Aceh Purbakala: Dari Poli Hingga Kerajaan Islam"