Sejarah Lada di Aceh: Mitos, Budaya, dan Perdagangan Global

Sejarah Tanaman Lada di Aceh

Menurut mitos orang Aceh, asal nama lada dan tanamannya dijelaskan sebagai berikut:

Sejarah Lada di Aceh: Mitos, Budaya, dan Perdagangan Global

Seorang Aceh bernama Teungku Lam Peuneu Euën (Keudeu-Euën) di IX Mukim, Aceh Besar, memiliki hubungan dengan nama "Keuneu Euën," yang berasal dari kata "Kenaän," sebuah negeri di Palestina. Pada suatu waktu, Teungku Lam Peuneu Euën menaburkan biji kapas (kapuk) pada sepetak tanah. Biji itu bertunas, tumbuh besar, berbunga, dan berbuah. Buah tanaman tersebut digemari orang, karena air rebusannya dijadikan minuman obat, dan bahkan menjadi suguhan bagi tamu, seperti teh atau kopi saat ini.

Suatu ketika, kakak perempuan Teungku Lam Peuneu Euën datang ke tempatnya. Karena kelelahan, ia mencicipi minuman itu, lalu meminta beberapa batang tanaman tersebut untuk dibawa pulang dan ditanam di kampungnya. Teungku Lam Peuneu Euën kemudian memberikan beberapa bibit yang dibalut pelepah pisang dan diletakkan di tempat teduh dekat balai.

Beberapa orang yang melihat tanaman tersebut ingin meminta bibitnya. Teungku Lam Peuneu Euën mencegah mereka dengan berkata, "Bek tamat-mat njan peunula Da" (artinya, jangan pegang-pegang itu tanaman kakakku). Namun, orang-orang tersebut tetap meminta bibit, dan akhirnya Teungku Lam Peuneu Euën memberi mereka masing-masing satu batang. Mereka pun menanamnya di pekarangan rumah masing-masing. Setelah tanaman itu berkembang, orang-orang mulai menyebutnya "Peunulada," yang kemudian disingkat menjadi "Lada."

Mitos lain menyebutkan bahwa pada suatu malam, Teungku Lam Peuneu Euën bermimpi didatangi seorang wali yang menyuruhnya menanam lada. Ketika ia mengatakan tidak tahu di mana mendapatkan bibitnya, wali itu menyuruhnya mengambil kotoran dada (daki dadanya) untuk dijadikan bibit. Setelah terbangun, Teungku Lam Peuneu Euën mendapati beberapa butir kotoran dada yang sebesar biji jagung. Esok harinya, ia menanamnya, dan beberapa hari kemudian tumbuhlah tanaman yang daunnya mirip daun sirih. Ia merawatnya dengan baik hingga tanaman tersebut tumbuh subur dan berbuah.

Tanaman ini kemudian berkembang biak, dan para penduduk yang tertarik mulai menanamnya. Karena keajaiban tanaman ini, orang-orang Aceh memuliakannya dan mengadakan upacara khusus bagi Teungku Lam Peuneu Euën setiap kali hendak memetik lada. Jika tanaman lada terkena penyakit atau kurang menghasilkan, tanah dari makam Teungku Lam Peuneu Euën akan dibawa pulang dan digunakan untuk menyiram tanaman lada.

Dalam catatan sejarah, menurut para musafir Tionghoa dan Arab, pada abad IX sudah ada orang yang menanam lada di Aceh, tepatnya di daerah Nampoli, Peureulak, Lamuri, dan Samudera (Pasai). Tanaman lada ini kemungkinan dibawa oleh bangsa Arab atau Persia pada abad VII atau VIII, yang kemudian menjadi komoditas perdagangan utama. Ahli pertanian Belanda, L.H. Heyl, juga menjelaskan dalam bukunya "Pepercultuur in Atjeh," bahwa lada dibawa dari Madagaskar (Afrika Timur).

Hasil dari tanaman lada ini menjadi komoditas berharga yang diekspor ke Baghdad, Kairo, Alexandria, serta kota-kota di Eropa oleh para pedagang Arab, Persia, dan Turki. Harga lada yang mahal di Eropa bahkan melahirkan pepatah “Duur als Peper” atau "mahal seperti lada."

Posting Komentar untuk "Sejarah Lada di Aceh: Mitos, Budaya, dan Perdagangan Global"