Peureulak vs Sriwijaya: Konflik Epik di Tanah Sumatera
Peureulak Diserang oleh Sriwijaya
Sriwijaya adalah kerajaan Melayu terbesar dan termasyhur di Sumatera Selatan. Kerajaan ini merasa iri atas kemakmuran negeri Peureulak dan bermaksud menaklukkan daerah-daerah serta raja-raja lain di sekitarnya. Keberadaan Pelabuhan Peureulak juga telah menjadi saingan. Bahkan, terdapat kecemburuan di kalangan umat Hindu terhadap perkembangan agama Islam yang semakin meluas. Sultan Peureulak menolak permintaan Maharaja Sriwijaya agar kerajaan Peureulak tunduk di bawah kekuasaan Sriwijaya. Karena penolakan ini, tentara Sriwijaya datang menyerang kerajaan Peureulak pada tahun 670 H atau 1371 M. Saat itu, Kerajaan Peureulak sedang dalam krisis karena perselisihan internal terkait perebutan kekuasaan. Meskipun berada dalam kesulitan, mereka bersatu kembali untuk menghadapi serangan Sriwijaya dalam jihad melawan ekspansi asing tersebut.
Setelah dua tahun rakyat Peureulak menghadapi peperangan yang dahsyat, pada hari Ahad akhir bulan Zulhijjah tahun 691 H atau 1276 M, Sultan Alaiddin Mahmud Syah wafat. Kepemimpinan kerajaan dan pertahanan pun beralih ke Sultan Machudum Malik Ibrahim. Dalam tiga tahun berikutnya, peperangan berlangsung dengan situasi maju-mundur, dan wilayah pesisir Peureulak jatuh ke tangan Sriwijaya.
Sejak awal peperangan, rakyat Peureulak telah mengungsikan anak-anak, orang tua, wanita, dan harta berharga ke daerah pedalaman yang jauh dari pertempuran, yaitu ke Seumanah (Lubuk Segenap). Peperangan gerilya terus berlanjut selama beberapa tahun. Pada tahun 673 H atau 1375 M, pasukan Sriwijaya akhirnya meninggalkan daerah Peureulak dan kembali ke negerinya karena di sana terjadi kerusuhan besar akibat serangan Raja Kertanegara (tentara Pamahdaju). Sebagian besar rakyat Peureulak yang mengungsi ke pedalaman kembali ke kampung halamannya yang masih diperintah oleh Sultan Machudum Malik Ibrahim.
Sebagian lainnya tidak kembali ke Peureulak dan memilih menetap di tempat-tempat yang mereka buka sebagai perkampungan baru seperti Sarah Raja, Serbadjadi, Lukop, Biang Keujren, hingga Lingga (Nusar) atau Isak uli, di sekitar Laut Tawar di hulu Sungai Peureulak dan Krueng Nie (Jambo Aje). Di sana, mereka membuka lahan pertanian dan menanam gambir yang kemudian berkembang menjadi beberapa negeri yang ternama.
Setelah itu, negeri Peureulak berangsur-angsur pulih dan makmur kembali di bawah kepemimpinan Sultan Machudum Malik Ibrahim yang memerintah sejak tahun 678–695 H atau 1380–1396 M. Adapun kaum Meurah, keturunan raja Peureulak yang mengungsi ke pedalaman saat peperangan dengan Sriwijaya, seperti seorang bernama Meurah Ishak. Sultan Machudum membuka negeri Lingga dan Nusar, serta keturunannya berkembang di sekitar Laut Tawar. Putranya, Meurah Mersa, diangkat menjadi raja di Lingga. Keturunan Meurah ini dengan pengikutnya menghuni sepanjang tepi sungai seperti Krueng Pasai dan Krueng Peusangan, dan masing-masing Meurah menjadi kepala atau raja di tempat tersebut. Lama kelamaan, mereka bergerak turun ke pantai hingga ke negeri Buron dekat muara Sungai Peusangan. Mungkin dari kata "Buren" (air keluar dari tanah) yang sekarang disebut Bireuen. Ada pula yang tinggal di sepanjang Krueng Peureulak, Krueng Nie, dan Krueng Tamiang hingga dekat muaranya. Hasil usaha seperti gambir, jernang, gaharu, menyan, damar, rotan, madu, sumbu badak, dan gading gajah dibawa ke pasar di muara sungai untuk ditukar dengan garam dan lain-lain.
Selain itu, kaum Meurah Peureulak terus merantau hingga ke Tiro, Ribeue Poli (Pidie), hingga ke Lamuri (Lam Urik), Darul Kameu (Darul Kama), Aceh Besar, dan Daya. Di kampung Ulee Lueng dan Lam Leu Eu dekat mata air Ie Kutaraja terdapat kompleks kuburan purbakala yang disebut "Kubur Meurah" yang hingga kini masih dihormati oleh masyarakat Aceh Besar.
Demikianlah perkembangan keturunan Meurah dari Peureulak ke seluruh wilayah Aceh hingga ke pedalaman negeri Aru (Karo) dan Minangkabau.
Posting Komentar untuk "Peureulak vs Sriwijaya: Konflik Epik di Tanah Sumatera"