Pertambangan Aceh dari Zaman Kuno hingga Era Islam: Jejak Emas di Tanah Rencong

Pertambangan Di Aceh

Seperti telah dijelaskan dalam beberapa pasal lain, sejak masa Ptolemaeus pada abad ketiga sebelum Masehi (301 SM), Pulau Andalas (Sumatra) dikenal dengan nama Ergijre, yang berarti negeri perak, yang letaknya di Samudra/Pasai (Andalas Utara). Negeri atau pulau ini telah dikenal di Asia Tengah dan Asia Barat, bahkan hingga Afrika dan Eropa. Bangsa Fenisia, saudagar yang cerdik dan berani dari Babilonia yang memiliki pelabuhan di Sidon dan Tirus (negeri Syam atau Suriah), telah menghubungkan lalu lintas laut Atlantik dan Laut Tengah dengan pulau-pulau serta pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pesisir Laut India dan Laut China.

Pertambangan Aceh dari Zaman Kuno hingga Era Islam Jejak Emas di Tanah Rencong

Seperti yang kita ketahui dari deskripsi para ahli sejarah, bahwa saudagar-saudagar Fenisia yang bijak dan berani mengarungi Samudra Hindia yang bergelombang besar dan karang-karang tajam, telah memperdagangkan hasil bumi Timur ke Barat dan sebaliknya. Mereka membawa keong untuk bahan pewarna, garam, cendana, kain, wol, dan lainnya. Hasil-hasil Timur yang dibawa ke Barat selain rempah-rempah adalah kapur barus, kemenyan, damar, kayu cendana, tanduk badak, sarang burung, gading, lada, nila (tarum), dan sebagainya, yang termasuk dalam hasil pertanian.

Di antara barang-barang tersebut, beberapa digunakan sebagai makanan dan obat-obatan. Yang paling penting adalah kapur barus, cendana, dan kemenyan untuk pengawet mayat di Mesir (bahan pengawet). Damar digunakan untuk bahan pelita, tinta, dan tambal perahu atau kapal kayu yang sangat diperlukan bagi mereka sendiri.

Selain hasil pertanian, mereka juga memperdagangkan hasil tambang dan laut, yaitu emas, perak, tembaga, timah, besi, minyak tanah, belerang, dan batu-batuan berharga seperti nilam, zamrud, delima, intan, berlian, serta berbagai jenis siput (keong). Barang-barang tambang ini terdapat di sepanjang pesisir Timur mulai dari Laut Ceylon (Serendib), Sumatra, Langkasuka (Kedah), Borneo (Kalimantan), sedikit di Pulau Jawa, hingga Laut China. Emas, perak, belerang, dan minyak tanah khususnya ditemukan di bagian Utara Sumatra: Peureulak, Samudra/Pasai, Lamuri (Aceh Besar), Barus, dan Singkil. Di bagian Barat Sumatra terdapat Palembang (Sriwijaya), Kerinci, Indragiri, dan lain-lain.

Di antara pelabuhan-pelabuhan yang disebutkan tadi, yang sering disinggahi oleh saudagar Fenisia kemungkinan adalah Ceylon, Andalas Utara: Peureulak, Samudra/Pasai, Poli, dan Lamuri karena letaknya yang sangat strategis di Laut India.

Setelah ekspansi Iskandar Zulkarnain, bangsa Fenisia mengalami kemunduran, dan yang berkembang adalah bangsa Romawi (Rum), Suriah (disebut Suriƫn oleh orang Aceh), dan Persia. Pada awal abad pertama Masehi, bangsa Persia sudah berani sendiri berlayar ke Teluk Benggala dan Pulau Ceylon (Sailan), lalu melanjutkan perjalanan ke Pulau Sumatra, singgah di Peureulak, Poli (Pidie), dan Lamuri (Aceh Besar). Dari sana, mereka melanjutkan perjalanan ke pesisir Barat (Laut Hindia) dan singgah di pelabuhan Barus untuk mencari kapur barus dan kemenyan. Usaha bangsa Persia ini semakin berkembang, bukan hanya kaum nelayan (pelaut) tetapi juga kaum saudagar dan cendekiawan yang semakin banyak merantau ke India Selatan dan Sumatra (Aceh).

Pada awal abad VIII tahun 717, sebanyak 35 kapal Persia yang dipimpin oleh A. Zahid mengirimkan ekspedisi ke negeri Tiongkok dalam konvoi atau kafilah. Kapal-kapal Persia ini singgah di Poli (Pidie) dan Aceh Besar, membawa banyak barang dagangan ke negeri asal mereka.

Diketahui bahwa perhubungan lalu lintas darat antara Asia Barat dan Asia Timur, yaitu Turki dengan Tiongkok, melalui negeri Turkistan dan lain-lain. Namun, setelah ramainya lalu lintas pelayaran laut, bangsa Tiongkok pun mengirimkan ekspedisi untuk menelusuri pulau-pulau demi menghubungkan pantai-pantai Tiongkok dengan pesisir Teluk Benggala dan Teluk Persia di Laut Arab. Usaha bangsa Tionghoa ini mengalami kemajuan; pada akhir abad IV tahun 399, seorang biksu Tionghoa, Fa Hien, berangkat ke India dengan jalur darat bersama sekitar 200 orang dalam satu kafilah untuk berdagang dan mempelajari agama-agama. Kepulangan mereka melalui laut, menjadikan mereka tamu bagi pelabuhan-pelabuhan di Sumatra dan Jawa. Seiring kunjungan orang-orang Tionghoa ke India, lalu lintas laut semakin ramai. Bangsa Romawi (Yunani), Suriah (Arab), dan Persia semakin banyak yang berlayar hingga ke Tiongkok untuk berdagang dan saling bertukar barang.

Pada abad VII, pada permulaan era Islam, kemajuan pelayaran semakin berkembang, dan bangsa Persia membawa orang-orang Arab ke India, yang kemudian mengalir ke Asia Tenggara hingga wilayah Timur seperti Siam, Annam, Champa, dan Tiongkok. Canton menjadi pasar perdagangan penting di Timur, sedangkan Sumatra Selatan dan Utara menjadi stasiun perhentian.

Pada tahun 671, musafir Tionghoa I Tsing berangkat dari Canton menuju Nalanda (India), dan sejak itu orang-orang Arab terus berlayar ke Asia Tenggara dan Asia Timur. Tidak hanya saudagar-saudagar Persia dan India, namun dalam rombongan tersebut termasuk pula ulama-ulama Arab yang hendak menyebarkan agama Islam ke Nusantara dan Tiongkok. Setelah berdirinya kerajaan Islam di India Utara dan Selatan pada abad XI atau XII, para raja Sumatra Utara (Aceh) menjalin hubungan diplomatik, dan orang-orang India dari Gujarat menjadi pelopor dalam penyebaran agama dan kebudayaan Islam ke seluruh penjuru dunia Timur, bahkan mendampingi usaha penyebaran agama Hindu dan Buddha.

Di Sumatra, khususnya bagian Utara, kebudayaan atau peradaban Islam lebih diterima oleh penduduk asli. Karena itu, agama Buddha tidak begitu berkembang di sana, dan para biksu Hindu akhirnya menghindari wilayah ini dan menuju Jawa atau tempat lain, sehingga candi atau patung Buddha jarang ditemukan di Aceh.

Hal ini menguatkan pemahaman kita bahwa dalam tata negara, gelar para raja dan pejabat tinggi di Aceh memakai istilah Persia dan Arab seperti Malik, Syah, Sultan, dan sebagainya sesuai dengan tradisi Persia dan Arab.

Dalam peralihan dan perkembangan peradaban Islam ini, kemajuan besar terjadi bagi para pelaut Nusantara yang mendapat pendidikan dari nakhoda Persia dan Gujarat. Para nakhoda dari Peureulak dan Samudra (Aceh) telah berani mengarungi lautan luas hingga Madagaskar di Afrika Timur (Laut Merah) dan Laut China hingga Makassar. Sedangkan Kedah menjadi pelabuhan persinggahan untuk mencari dan menjual barang dagangan mereka secara barter. Salah satu barang penting adalah emas urai yang menjadi standar mereka. Emas urai ini banyak ditemukan di Sumatra, terutama di Sumatra Utara: Samudra/Pasai dan Poli (Pidie), Sumatra Tengah, dan Sumatra Selatan (Sriwijaya, Palembang), dan lainnya. 

Posting Komentar untuk "Pertambangan Aceh dari Zaman Kuno hingga Era Islam: Jejak Emas di Tanah Rencong"