Sejarah Mata Uang Aceh: Dari Dirham Emas hingga Pengaruh Straits Settlements

Mata Uang Aceh

Sejarah Mata Uang Aceh: Dari Dirham Emas hingga Pengaruh Straits Settlements

Sebelum penggunaan mata uang Hindia Belanda (Indische Muntwet 1912), situasi mata uang di Aceh cukup kompleks, disebabkan oleh beberapa faktor berikut:

  1. Sejak zaman purbakala, Aceh sudah memiliki mata uang sendiri. Pertama kali, sejak Sultan Malikussaleh di Pasai, telah dikeluarkan derham emas, derham perak, gupang timah, busuk, dan yang paling kecil keuëh/pëng. Kata "pëng" berasal dari "peza," mata uang India, dan "derham" berasal dari "dirham" dalam bahasa Persia.
  2. Selama berabad-abad, Aceh dikunjungi oleh saudagar-saudagar dari berbagai bangsa yang menukarkan mata uang mereka dengan mata uang yang dapat digunakan di Aceh dan bandar-bandar lainnya. Sebelum kedatangan Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda, selain mata uang sendiri, beredar pula mata uang India yang dibawa oleh pedagang Arab dan India, seperti peza dan rupee. Di Pasai ada mata uang bernama busuk, yang dikenal dengan sebutan “busuk muliëng,” sebuah mata uang yang dianggap kasar atau palsu sehingga tidak disukai.
  3. Setelah Kerajaan Pidie didirikan sekitar abad XIV dan XV, mata uang India lebih banyak beredar di negeri itu, sehingga di Pidie, uang keuëh disebut sebagai "pëng," bukan sen (cent) atau duit seperti mata uang Belanda.

Hubungan ekonomi antara Aceh dan Melaka yang sudah berlangsung sejak lama (1525), kemudian dengan Straits Settlements: Singapura, Melaka, dan Pulau Pinang (1818), menyebabkan daerah pesisir Aceh Utara dan Aceh Timur menyesuaikan diri dengan mata uang yang berlaku di wilayah Straits. Hal ini menyebabkan beredarnya mata uang asing di Aceh, seperti dollar perak, mata uang kompeni Inggris dan Belanda, serta mata uang Straits.

Mata Uang Asli

Yang berhak membuat mata uang di Aceh adalah Sultan Aceh. Tidak diketahui pasti sejak kapan, namun sudah lama di Aceh terdapat mata uang emas dan timah. Menurut John Davis, seorang mata-mata kapal Belanda yang berlabuh di Aceh pada tahun 1399, di Aceh terdapat berbagai macam mata uang seperti casbes (keuëh), mass (maih), coupon (gupang), pardaw, dan tayell (tahe). Mata uang tersebut digunakan sebagai alat tukar sesuai nilai masing-masing.

Mata Uang Asing

Pertama-tama, mata uang yang berasal dari Hindustan, yang tidak dikenal di Aceh Besar tetapi beredar di Pidie, disebut djampaj (dari perak), contohnya dibuat oleh kompeni Inggris di Arkat (Madras) dan Murshidabad. Mata uang ini seharga setengah dollar Spanyol di Pidie. Selain itu, beredar juga mata uang dengan nilai 2 anna (1/8 rupee) dan 1 anna yang juga diproduksi oleh kompeni Inggris untuk Arkat (1738-1759). Di Aceh, mata uang 2 anna dinamai gupang, sedangkan 1 anna disebut busuk.

Karena perdagangan getah, damar, dan rempah-rempah, mata uang Straits dari daerah Malaya juga masuk ke wilayah Aceh. Di Aceh, dollar Spanyol yang sangat disukai disebut reungget. Di seluruh pesisir Aceh Barat dan Timur, hanya mata uang ini yang berlaku. Mata uang asing lainnya, seperti yen Jepang dan pound Turki, juga digunakan, terutama untuk perhiasan atau pakaian. Mata uang yang lebih kecil ini sering dibeli oleh jamaah haji untuk ditukar di Mekkah.

Karena hubungan dagang yang erat dengan Malaya sejak terbukanya Pulau Pinang, Aceh menyesuaikan diri dengan kebijakan mata uang Straits. Sejak ordonansi 27 April 1909

Posting Komentar untuk "Sejarah Mata Uang Aceh: Dari Dirham Emas hingga Pengaruh Straits Settlements"