Membangun Tambang Emas di Aceh: Jejak Sejarah dan Peranannya dalam Perdagangan Dunia
Membangun Tambang Emas di Aceh
Seperti telah dijelaskan, kemajuan ilmu semakin bertambah, dan pergerakan perdagangan dari Timur ke Barat juga meningkat. Dari Barat, bangsa Persia, Yunani (Greece), dan Suriah (Arab), serta dari Timur, bangsa Tionghoa dan Pegu, memainkan peran penting dalam perdagangan emas dan sarang burung, serta rempah-rempah dan marica. Sumatra dan Kedah di Selat Banang (Bintan), yang kemudian disebut Selat Malaka, menjadi jalur perdagangan yang ramai. Sebelum adanya Melaka, Sriwijaya (Palembang) dan Kedah menjadi stasiun perdagangan, demikian juga Haru, Peureulak, dan Poli (Pidie) di Sumatra Utara, yang telah banyak dihuni oleh para pedagang Persia, Arab, dan pedagang kecil di pasar-pasar yang umumnya adalah orang India Malabar dan Madras.
Orang Persia dan Yunani (Romawi) banyak yang menjadi ahli atau sarjana tambang emas. Sarjana-sarjana inilah yang mengajarkan penduduk setempat menambang emas dari sungai-sungai di Sumatra yang mengandung emas. Peureulak merupakan daerah pertama yang dikenal oleh bangsa Persia memiliki sungai atau aliran yang mengandung emas, yang hingga kini masih dikenal dengan nama Alur Mas (Aluë Meuih) yang letaknya tidak jauh dari bekas istana Raja Peureulak. Sekarang, bekas kota tersebut disebut Paja Meuligoe, yang berarti Paja Mahligai, yang dulunya merupakan kota di tepi laut besar dengan pasar bernama Bandar Chalifah. Chalifah adalah bahasa Arab atau Persia. Di sekitar bekas istana Raja Peureulak, kini terdapat telaga minyak tanah. Kerajaan Peureulak baru diketahui secara samar sekitar abad XI, namun baru jelas setelah kedatangan Marco Polo pada tahun 1292 ketika Kerajaan Samudera (Pasai) baru didirikan.
Seperti yang diketahui, Sultan pertama di Samudera/Pasai adalah Sultan Malik al-Saleh, yang dikunjungi oleh Marco Polo pada tahun 1292. Setelah Kerajaan Pasai terbentuk, tambang emas dibuka di hulu Sungai Pasai di atas Kampung Perak, dan tambang ini juga dikelola oleh para sarjana Persia. Tanda bahwa negeri Pasai memiliki emas di sungainya dapat dilihat dalam cerita-cerita sejarah. Baik yang menyerupai dongeng maupun yang menyerupai kisah nyata, seperti yang dapat dibaca dalam Sejarah Melayu karya Abdullah Munshi. Sebelum Sultan Malik al-Saleh diangkat oleh Syekh Ismail, ia bernama Merah Selu, pekerjaannya adalah nelayan atau penangkap ikan. Setiap hari, ia memasang perangkap ikan di sungai. Suatu hari, dalam perangkapnya banyak masuk cacing, karena kesal, cacing tersebut direbusnya, dan cacing itu berubah menjadi emas urai.
Cerita ini memang menyerupai kisah ajaib, karena cerita zaman purba sering kali dibesar-besarkan atau dihiasi dengan kejadian-kejadian yang aneh, seperti yang terdapat dalam cerita-cerita hikayat bangsa Persia, 1001 Malam. Namun, cerita ini dapat dipikirkan secara mendalam. Bukankah mungkin cacing itu memakan lumpur yang mengandung emas, dan ketika cacing tersebut direbus, emas itu terlihat? Hal ini dapat diperiksa oleh para ahli di kemudian hari, sebab banyak hal atau kejadian yang dulu dianggap tidak mungkin, kini dengan kemajuan pengetahuan menjadi mungkin, seperti penemuan atom yang populer saat ini.
Cerita ini bisa jadi dibuat-buat oleh Merah Selu (Malik al-Saleh), namun kita dapat mempertimbangkan kemungkinan lain. Bukankah mungkin bahwa saat Merah Selu memasang perangkap di Sungai Peusangan, datang banjir besar yang membawa lumpur mengandung emas, sehingga ketika direbus, emas itu terlihat dalam bentuk butiran? Benar atau tidaknya cerita ini, yang pasti, di Sungai Pasai terdapat emas pada masa itu. Banyak buktinya hingga Kerajaan Pasai dalam waktu singkat menjadi kaya dan makmur.
Karena Kerajaan Pasai banyak menghasilkan emas, Sultan Malik al-Saleh adalah raja pertama yang membuat mata uang emas, yang disebut dirham emas (Pasaische gouden munten), yang kemudian juga diterbitkan oleh Sultan Ahmad Malik al-Adil, Sultan Zainal Abidin Bahian Syah, dan Ratu Buhayah. Sementara itu, raja-raja di tempat lain membuat mata uang dari kulit dan timah. Setelah Sultan Malik al-Saleh, sultan-sultan lainnya di Aceh terus menerbitkan mata uang emas yang disebut dirham emas (Atjehsche gouden munten), hingga masa pemerintahan Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675).
Pada masa pemerintahan Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah, pertambangan emas dibuka kembali di Geumpang (Pidie) di sungai Geumpang (Tangse), sekitar 100 km dari Sigli di dalam hutan raja, di mana ditemukan emas urai dalam sungai tersebut. Sungai-sungai di negeri Sumatra Barat yang disebutkan di atas juga mengandung emas urai. Selain lada (merica), emas urai menjadi barang dagangan yang maju, hingga Belanda (VOC) berusaha memonopoli emas yang dibeli dari penduduk setempat, dan membawanya ke Batavia, bukan ke Aceh. Belanda menginginkan monopoli perdagangan emas tersebut. Namun, Ratu Aceh tetap berpegang pada perdagangan bebas dengan Inggris, India, Persia/Arab, dan Tionghoa, serta daerah lain yang memperdagangkan emas melalui pasar di Aceh sebagai pusatnya.
VOC berusaha keras menentang perdagangan bebas ini dengan memanfaatkan beberapa kepala negeri di Sumatra Barat sebagai sekutunya. Hal ini sangat ditentang oleh Panglima-panglima Ratu Aceh di sana, sehingga terjadi serangan terhadap benteng-benteng Belanda di Sumatra Barat dan perampasan kapal-kapal yang membawa emas. Ratu Tajul Alam mengirim delegasi ke Batavia untuk menghadap Gubernur Jenderal Belanda dan mengecam sikap Residen Belanda yang bertindak subversif. Residen Belanda Groenewegen di Sumatra Barat mengalami stres memikirkan tindakannya yang terburu-buru, hingga ia meninggal karena tekanan darah tinggi akibat tidak mampu mengatasi tindakan tegas dari para Panglima Aceh di sana.
Pada masa pemerintahan Sultan Jamalul Alam (1711-1733), tambang emas juga dibuka di sebelah barat Aceh, yaitu di sungai Meulaboh yang kini disebut Tutut. Semua hasil tambang ini dibawa ke Bandar Aceh untuk diperdagangkan. Pada masa Sultan Johar Alam Syah (1802-1830), setelah terbukanya pelabuhan Pulau Pinang, perdagangan emas dari Bandar Aceh pindah ke Pulau Pinang hingga masa sultan-sultan berikutnya sampai akhirnya Aceh diserang oleh Belanda pada tahun 1875.
Dalam Perang Aceh melawan Belanda, pertambangan emas di Aceh terhenti, karena rakyat sibuk berperang secara gerilya. Pada masa pemerintahan Belanda, mereka tidak berani membuka tambang tersebut, sebab hutan dikuasai oleh para pejuang gerilya (mujahidin). Kemudian, pada tahun 1938, perusahaan tambang emas di Tutut, Meulaboh, dibuka oleh Maatschappij Masmarsman, dan hingga masa pendudukan Jepang, tambang ini masih dioperasikan. Pada tahun 1945, saat Revolusi Republik Indonesia, perusahaan tersebut akhirnya berhenti.
Posting Komentar untuk "Membangun Tambang Emas di Aceh: Jejak Sejarah dan Peranannya dalam Perdagangan Dunia"