Kerajaan Tamiang: Sejarah, Kerajaan Batu Karang, dan Penyebaran Islam di Tamiang

Kerajaan yang Ada di Tamiang

Kerajaan Batu Karang

Setelah beberapa lama bangsa Melaju ini tinggal di Pulau Sampai, maka mereka pindah ke pedalaman karena Pulau Sampai diserang oleh kerajaan lain dan mereka terus mencari daerah-daerah yang subur. Dalam mengembara itu, sampailah mereka pada sebuah sungai yang besar dan deras airnya. Tanah di sekitar sungai itu sangat subur, maka sungai itu pun dinamakan oleh mereka, "Sungai Besar" dan kemudian disebut Sungai Tamiang. Pada ujung hilir Sungai Besar itu terdapat pula sungai yang bercabang dua, yang di sebelah barat disebut Sungai Simpang Kanan dan yang di sebelah timurnya disebut Sungai Simpang Kiri. Kedua sungai tersebut, Sungai Simpang Kanan dan Sungai Simpang Kiri, bertemu ke dalam Sungai Besar itu, maka dinamakanlah Kualasimpang.

Kerajaan Tamiang: Sejarah, Kerajaan Batu Karang, dan Penyebaran Islam di Tamiang

Setelah beberapa lama mereka bermukim di sekitar Sungai Besar itu, mereka pindah lagi ke sebuah tempat yang lebih subur di dalam daerah Sungai Simpang Kanan dan di sana mereka mendirikan sebuah kerajaan yang dinamakan Kerajaan Batu Karang.

Siapa raja pertama yang mendirikan Kerajaan Batu Karang ini tidaklah diketahui dengan terang, tetapi satu riwayat beralih dari salah satu kerajaan kecil Aru atau Sarang Djaja, yang menceritakan keturunan raja-raja yang telah memerintah di sana. Namun, yang lebih jelas sedikit diketahui menurut cerita (mitos) dan bekas-bekas (kuburan) Tamiang Kuno, dimulai pada masa pemerintahan seorang raja yang mendirikan kerajaan Tamiang pertama yang bernama Raja Putjuk Suluh. Makam Raja ini terdapat di Sungai Seluman. Setelah Raja Putjuk Suluh mangkat, maka digantikan oleh puteranya yang bergelar Raja Pepala (Po Pala 1256–1278), makamnya terdapat di Lubuk Pika. Setelah Raja Pepala mangkat, digantikan pula oleh puteranya yang bergelar Raja Podewangsa, makamnya terdapat di Ajar Mati Selajang. Sesudah Raja ini hilang, digantikan lagi oleh puteranya yang bergelar Raja Dinok (1500–1530), makamnya terdapat di Bukit Rata.

Di masa pemerintahan Raja Dinok ini, datanglah tentara Kerajaan Samudera/Pasai menyerang Kerajaan Tamiang atas perintah Sultan Ahmad Malik al-Thahir Bahiansjah pada tahun 1550 M. Kerajaan Raja Dinok (Batu Karang) dapat dikalahkan oleh Samudera/Pasai dan Raja Dinok tewas. Maka sejak saat itu, orang-orang Tamiang diislamkan oleh Sultan Ahmad Bahiansjah dari Pasai dan membayar upeti ke Pasai/Samudera. Sebelumnya, suku-suku bangsa Melaju masih memeluk agama pagan (heidenen), yakni agama kerajaan nenek moyang mereka yang menyembah Sangni'ang Tunggal dan memuliakan arwah-arwah nenek moyang mereka itu.

Kerajaan Tamiang

Karena Kerajaan Tamiang telah takluk ke Samudera dan memeluk agama Islam, maka oleh Sultan Pasai diangkatlah seorang raja lain yang bernama Raja Muda Sedia, pengganti Raja Dinok yang tewas dalam peperangan melawan tentara Samudera. Maka Raja Muda Sedia memerintah Kerajaan Tamiang yang ibu kotanya Benua (Kuala Simpang). Orang-orang dari Samudera/Pasai menyebutnya dengan Keuradjeuën Teumiëng, karena mengambil dalil dari kelahiran Raja Muda Sedia yang membawa tanda-tanda hitam pada pipinya dengan menyebut Keuradjeuën, yang artinya "Kerajaan Raja Pipi Hitam." Juga nama Tamiang itu cocok dengan nama di negeri asalnya, karena mereka berasal dari sebuah pulau yang dinamakan Pulau Tamiang yang terletak di sebuah negeri di Kepulauan Riau.

Adapun Raja Muda Sedia ini menikah dengan seorang puteri dari Raja Pasai/Samudera. Dari perkawinan ini, mereka memperoleh seorang puteri yang dinamakan Puteri Bungsu Lindung Bulan. Puteri ini diceritakan sangat cantik. Kecantikannya, jika ia bermain di taman dengan daunnya dalam terang bulan, maka seakan-akan "terlindunglah cahaya bulan itu karena kecantikannya."

Atas usaha Raja Muda Sedia, kota Benua telah menjadi sebuah kota yang ramai dan makmur. Maka datanglah orang-orang berdagang ke sana pulang pergi membawa dagangannya dan membeli hasil negeri itu. Antara pedagang tersebut terdapatlah orang Bugis, Moro, dan Jawa. Kerajaan Samudera pada waktu itu dalam keadaan jaya dan masyhur dengan giatnya pula telah menyebarkan agama Islam ke sana-sini, sehingga telah sampai ke Semenanjung Kra (meng-Islam-kan orang Semenanjung Melaka), karena pengaruh dari perkawinan Puteri Samudera dengan Raja Melaka yang bernama Raja Ahmadsjah, yang setelah memeluk agama Islam bergelar Raja Iskandar Sjah (1434–1444 Masehi).

Juga Kerajaan Samudera telah meluas sampai ke Barus di pantai Barat Pulau Pertja dan ke timurnya telah sampai ke Pulau Kampai. Juga pengaruh agama Islam mulai masuk ke dalam bagian Kerajaan Aru (Kerajaan Batak). Semua negeri ini telah membayar upeti kepada Samudera, juga Peureulak dan Lamuri yang ibu kotanya Indrapuri (Aceh Besar), sekarang di bawah pengaruh kerajaan Islam di Samudera. Utusan (mubaligh) Samudera telah menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa yang berpusat di Gresik dan Demak.

Pemerintahan Raja Malat

Sesudah kota Benua diserang oleh tentara Majapahit, maka berserakanlah penduduk kota itu berpindah ke sana-sini mengungsi, seluruhnya ke Pante Tindjo (di Sungai Simpang Kanan). Sebagian penduduk Benua itu pindah ke Tanah Indra (Kalui), daerah Sungai Simpang Kiri, sehingga kota Benua menjadi rimba belantara kembali dan tidak lagi dihuni oleh manusia.

Sesudah kekuasaan pemerintahan di Benua lenyap, timbullah kembali satu pemerintahan baru dengan angkatan Raja Samudera. Yang memerintah adalah keturunan keluarga Suku Suluh (keturunan Raja Putjuk Suluh). Maka Raja dari keturunan keluarga Suku Suluh ini disebut orang Tamiang "Suhu Raja-Raja Karang Tua." Maka yang terpilih menjadi Raja adalah Raja Malat, makamnya terdapat di Bukit Karang Putus dan ibu kota kerajaan bernama Bukit Karang, tetapi kerajaan ini masih bernama Tamiang.

Raja Malat Bukit Karang

Dalam pemerintahan Raja Malat, ibu negeri dipindahkan ke Bukit Karang, keadaan negeri makmur dan aman. Sesudah Raja Malat mangkat, digantikan oleh anaknya, Raja Klabu Tunggal, makamnya tidak diketahui dengan pasti. Setelah Raja Klabu Tunggal mangkat pada 1454, digantikan pula oleh anaknya, Raja Po Kandis (1454–1490). Kemudian diganti oleh anaknya, Raja Garang (1490–1538), makamnya di Pante Tindjo. Dalam pemerintahan Raja ini, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Pante Tindjo (dekat Kuala Simpang). Dalam pemerintahan Raja ini terjadi perebutan kerajaan sehingga timbul huru-hara. Dalam kericuhan itu, datanglah rombongan orang Alas yang dipimpin oleh Raja Pendekar. Raja Pendekar dengan pengikut-pengikutnya dapat menenangkan perselisihan tersebut, sehingga Raja ini diangkat menjadi Raja Tamiang dan mendirikan ibu kota yang baru di Menanggini, yang artinya "Menang di sini" pada tahun 1538.

Pemerintahan Suku Pendekar

Raja Pendekar yang menggantikan pemerintahan dari keturunan Raja Suku Suluh, kemudian keturunan Raja Pendekar ini disebut keluarga Suku Pendekar, sampai kepada anak cucunya yang kemudian masih terdapat di Menanggini.

Dalam masa pemerintahan Raja Pendekar tahun 1538–1538 M, pada suatu waktu Permaisurinya berkehendak pergi bermain (piknik) ke kuala. Raja memerintahkan untuk menyiapkan beberapa bahtera beserta pengiringannya lengkap dengan perbekalan yang cukup, serta membawa pula ahli bunyian.

Setelah siap, maka berlayarlah Raja dengan Permaisuri menghilir ke kuala. Sesampainya di Kuala Besar, mereka berkemah di pusung itu dan bersenang-senang beberapa hari lamanya. Pada suatu hari, Raja dengan pengiringannya pergi memukat kelaut. Tidak jauh dari tempat memukat itu, mereka melihat sebuah kapal petjah terapung-apung, maka Raja memerintahkan pada pedagang untuk berhenti di tempat itu lalu menolong orang-orang yang dalam bahaya. Raja dengan pengiringannya dapat menolong beberapa orang yang karam, di antaranya seorang anak kecil yang masih di bawah umur. Kapal yang karam itu ternyata adalah kapal yang berasal dari Tanah Pasai.

Posting Komentar untuk "Kerajaan Tamiang: Sejarah, Kerajaan Batu Karang, dan Penyebaran Islam di Tamiang"