Kemajuan Islam di Pasai: Sejarah Penyebaran Agama Islam dan Peran Sultan Malikul Saleh

Kemajuan Agama Islam Mengalir Ke Pasai

Dalam sejarah Melayu karya Abdullah Munsyi, disebutkan bahwa pada pertengahan abad ke-13, datanglah sebuah kapal dari Jeddah/Mekah yang dinakhodai oleh Syekh Ismail bersama Fakir Muhammad, mantan raja dari Muktabar (Malabar). Mereka hendak menuju negeri Samudera atas perintah dari Syarif Mekah untuk menyebarkan Islam di sana, membawa pesan dari Rasulullah S.A.W. Kapal tersebut pertama kali berlabuh di pelabuhan Fansuri (antara Aru dan Peureulak). Beberapa hari kemudian, Syekh Ismail dan Fakir Muhammad turun ke darat dan bertemu dengan beberapa orang Islam, lalu meminta mereka membaca Al-Qur'an. Namun, tidak ada yang bisa membacanya.

Kemajuan Islam di Pasai: Sejarah Penyebaran Agama Islam dan Peran Sultan Malikul Saleh

Kemudian, Syekh Ismail dan Fakir Muhammad kembali ke kapal, melanjutkan perjalanan menuju negeri Samudera, hingga akhirnya tiba di pelabuhan Lamiri/Peureulak. Beberapa waktu mereka tinggal di Peureulak dan kembali meminta orang-orang di sana membaca Al-Qur'an, tetapi tidak ada yang mampu. Mereka pun teringat pesan Rasulullah S.A.W. bahwa mereka belum sampai ke negeri Samudera yang dimaksud. Akhirnya, Syekh Ismail dan Fakir Muhammad meneruskan perjalanan, tetapi karena kurang memahami arah, mereka tersesat hingga ke Aru. Mereka bertanya di sana, di mana letak negeri Samudera. Orang-orang menjawab bahwa negeri Samudera sudah terlewat, sehingga mereka pun berbalik arah hingga akhirnya tiba di Samudera.

Setelah kapal berlabuh, Fakir Muhammad turun ke darat dan bertemu dengan Marah Selu, kepala dari negeri Samudera. Keduanya berkenalan, dan Marah Selu kemudian masuk Islam. Beberapa hari setelah masuk Islam, Marah Selu bermimpi bahwa Rasulullah meludahi mulutnya. Tidak lama kemudian, Marah Selu pandai membaca Al-Qur'an, demikian juga dua pemimpin besar di Samudera, yakni Seri Kaja dan Bawa Kaja, yang turut memeluk Islam. Seri Kaja berganti nama menjadi Sidi Ali Chiatuddin, dan Bawa Kaja berganti nama menjadi Sidi Ali Hasanuddin.

Setelah memperhatikan bahwa Marah Selu sudah pandai membaca Al-Qur'an, barulah Syekh Ismail dan Fakir Muhammad yakin bahwa negeri itu benar-benar Samudera. Setelah bersepakat, Marah Selu diangkat menjadi raja di negeri Samudera dengan gelar Sultan Malikul Saleh. Semua perlengkapan kebesaran dari kerajaan Muktabar diberikan kepada Sultan Malikul Saleh. Beberapa waktu kemudian, Syekh Ismail kembali ke Mekah, sementara Fakir Muhammad, mantan Sultan Muktabar, menetap di Samudera untuk memajukan agama Islam.

Setelah beberapa waktu, Sultan Malikul Saleh berniat untuk menikah. Ia mengutus Mangkubuminya, Sidi Ali Chiatuddin, ke negeri Peureulak untuk melamar salah satu putri raja Peureulak. Raja Peureulak memiliki tiga putri, dua dari istri resmi dan satu dari gundik. Putri dari gundik bernama Puteri Ganggang Sari. Karena Sidi Ali Chiatuddin tidak mengetahui mana putri dari istri resmi dan mana dari gundik, ia melamar Puteri Ganggang Sari yang dianggapnya paling cantik untuk menjadi permaisuri Sultan Malikul Saleh.

Lamaran tersebut diterima dengan senyuman dan tawa oleh Raja Peureulak. Setelah urusan pernikahan selesai dibicarakan, Raja Peureulak menyiapkan 100 perahu untuk mengantar Puteri Ganggang Sari ke Samudera bersama pengiringnya, termasuk Tun Parpatih Pandak. Sultan Malikul Saleh juga mengutus rakyatnya untuk menyambut sang pengantin agung di Kuala Djambo Aje. Sesampainya di Samudera, diadakanlah pesta pernikahan besar-besaran sesuai adat istiadat setempat, dan setelah perayaan usai, para pengiring dari Peureulak pulang. Sultan Malikul Saleh memberikan hadiah kepada Tun Parpatih Pandak dan pengiring lainnya yang telah mengantar Puteri Ganggang Sari, yang kemudian resmi menjadi permaisuri Sultan di negeri Samudera.

Dari pernikahan ini, Sultan Malikul Saleh memperoleh tiga putra: yang sulung bernama Muhammad, bergelar Malikul Thahir, dan yang kedua bernama Abdullah, bergelar Malikul Mansur. Ketika kedua putra baginda beranjak dewasa, kerajaan Peureulak diserang oleh kerajaan dari seberang. Banyak penduduk Peureulak melarikan diri atau pindah ke Samudera (Pasai), sementara sebagian lagi menyusuri hulu sungai, yang mungkin menjadi asal usul orang Gayo.

Sultan Malikul Saleh berniat membangun istana yang lebih megah untuk putranya, lalu ia mencari-cari tanah yang bagus sebagai tempat istana itu. Suatu hari, saat berburu dengan gajah bernama Perma Dewana, kebetulan anjingnya, Si Pasai, menyalak dengan keras. Sultan pun mendekati tempat di mana anjing itu menyalak dan menemukan sebuah tanah tinggi yang tampak sangat bagus. Sultan memutuskan bahwa tanah itu cocok untuk istana dan segera menyuruh para pekerja menebas hutan untuk mendirikan istana. Makam Sultan Malikul Saleh terletak di dekat istana ini, yang kini mungkin dikenal sebagai Biang Me.

Ketika Sultan Malikul Saleh sudah tua dan sakit, kerajaan Samudera dibagi dua: Raja Muhammad diangkat menjadi raja di Pasai dengan Sidi Ali Chiatuddin sebagai Mangkubumi, dan Raja Abdullah diangkat menjadi raja di Samudera dengan Sidi Hasanuddin sebagai Mangkubumi. Semua perlengkapan kerajaan juga dibagi dua.

Posting Komentar untuk "Kemajuan Islam di Pasai: Sejarah Penyebaran Agama Islam dan Peran Sultan Malikul Saleh"