Kehakiman di Zaman Sultan Aceh: Paduan Hukum Islam, Adat, dan Nilai Sosial dalam Pengadilan Tradisional

Kehakiman di Zaman Sultan Aceh: Hukum, Adat, dan Nilai-nilai Islam dalam Pengadilan Tradisional

Kehakiman

Pada masa Sultan, lembaga kehakiman meliputi penerapan hukum adat, resam, kanun, serta peraturan pemerintahan (bestuursinstellingen) dari Atjehsche Maatschappij. Meski demikian, Al-Quran, hadis, dan fatwa ulama tidak pernah diabaikan, melainkan diikuti dengan bijaksana. Dalam peribahasa Aceh, dikatakan "Hukom Ngon Adat, Handjeuët Trep, Lageë Zat Ngon Sipheuët," yang artinya: hukum dan adat tidak boleh berpisah seperti unsur dengan sifatnya. Maka, setiap keputusan wajib bagi hakim untuk berpedoman pada hukum Islam dan adat setempat, sesuai peribahasa "bak adat dikap, bak hukom dikuiöm"; yang artinya dalam istilah hukum disebut "hukom terkuncah".

Kehakiman di Zaman Sultan Aceh Paduan Hukum Islam, Adat, dan Nilai Sosial dalam Pengadilan Tradisional

Masalah-masalah kecil biasanya diurus oleh keuchik bersama Teungku Meunasah, dibantu oleh para orang tua yang disebut Tuha Peuet. Persengketaan ini sering diselesaikan secara damai, yang dikenal sebagai "hukum peudjroh" atau "hukum kebaikan," yang berlandaskan empat hal: dial (diyat), maaf, rujuk, dan bayar ganti rugi. Untuk pencurian kecil, hukuman diberikan dengan cara mengembalikan barang curian dan meminta maaf kepada pemiliknya. Biasanya, pelaku memberikan sejumlah uang jasa kepada Teungku. Hukum adat ini ditaati oleh masyarakat kampung. Namun, sering kali seorang pencuri pindah kampung karena merasa malu. Pindah kampung juga biasa terjadi pada kasus pencurian besar atau perzinaan, di mana keluarga merasa malu dan pindah ke negeri lain untuk mendirikan kampung baru.

Perkara sipil kecil juga diselesaikan dengan cara damai. Apabila kedua belah pihak enggan berdamai, mereka mengadu kepada keuchik. Jika keuchik dan Teungku tidak berhasil mendamaikan, kasus akan diajukan kepada imeum atau uleëbalang. Di sini, pengadilan (rechtbank) dibentuk, yang terdiri dari keuchik, para Teungku, dan orang tua. Pengadilan ini dapat mengambil keputusan jika nilai sengketa tidak melebihi 100 ringgit. Sebelum sidang dimulai, para pihak membayar uang jaminan (hak ganji), yang nantinya dibebankan pada pihak yang kalah.

Balai hukum juga menangani pelanggaran kecil dan mencoba mendamaikan para pihak. Pelanggaran yang lebih serius dibawa ke pengadilan mukim, yang terdiri dari imeum, wakil, keuchik, beberapa Teungku, dan Tuha Peuet. Kasus dari kampung juga dapat diajukan ke balai hukum mukim ini dengan membawa uang jaminan yang lebih besar. Balai hukum mukim dapat memutus perkara pidana, termasuk hukuman mati (doodvonnis). Hukuman biasanya berupa denda yang diberikan kepada pihak yang terkena aib atau keluarganya. Pengadilan mukim juga memiliki hak banding ke tingkat uleëbalang dan Panglima Sagi, meski jarang terjadi. Jika Panglima Sagi atau uleëbalang tidak mampu menyelesaikannya, maka kasus diajukan kepada Sultan, yang akan mengirimnya ke Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung terdiri dari Kadhi Malikul Adil, Sri Peduka Tuan, Radja Bendahara, dan Fakih. Kadhi Malikul Adil pertama diangkat oleh Sultan Iskandar Muda, yang dikenal juga sebagai Dja Bangka. Mahkamah ini memutuskan kasus besar, dan putusan disertai fatwa atau surat keputusan Sultan. Misalnya, dalam surat Sultan Syamsul Alam pada tahun 1723, tertulis aturan mengenai diyat (diyat luka dan jiwa) sesuai hukum Islam, dan tidak berdasarkan adat. Mahkamah Agung juga memutuskan perkara besar sesuai aturan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Qahhar, Sultan Iskandar Muda, dan Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah.

Adat Meukala Alam atau Regiem Sultan Iskandar Muda menetapkan martabat Panglima Sagi, uleëbalang, serta tokoh-tokoh besar, dan juga kewajiban serta belanja bagi mereka. Adat ini mengatur kehidupan masyarakat Aceh, terutama dalam bidang agama, sosial, ekonomi, dan politik.

Posting Komentar untuk "Kehakiman di Zaman Sultan Aceh: Paduan Hukum Islam, Adat, dan Nilai Sosial dalam Pengadilan Tradisional"