Kehidupan dan Pembangunan Kerajaan Islam Samudera Pasai: Pusat Perdagangan dan Peradaban Islam di Nusantara
Kegiatan Pembangunan Kerajaan Islam Samudera Pasai
Kerajaan yang dihuni oleh orang Islam yang pertama diketahui di nusantara ini terletak di Aceh Timur (Sumatera), yang disebut Kerajaan Perlak dan kemudian dikenal sebagai Peureulak. Menurut salah satu riwayat, kata itu berasal dari kata Arab: FALLAH, yang berarti 'Kampung Tani'. Kerajaan ini didirikan oleh orang-orang Maroko, Persia, dan Gujarat (India) yang berdagang di sana.
Setelah Kerajaan Peureulak mundur akibat diserang oleh kerajaan lain, berdirilah sebuah Kerajaan Islam yang baru di utara pulau tersebut, yang disebut Kerajaan Samudera. Kapan dan siapa raja pertama tidak diketahui dengan jelas, tetapi dalam sejarah dikenal sejak pemerintahan Raja bernama Sultan Malik al-Saleh. Ini diketahui dari riwayat perjalanan Marco Polo pada tahun 1292. Sultan Malik al-Saleh menikah dengan putri Raja Peureulak dan memperoleh dua orang putra: Muhammad dan Abdullah. Kerajaan Samudera ini mungkin didirikan oleh keturunan bangsawan dari Persia, Gujarat (India), dan Tiongkok (Grommedal).
Dengan kedatangan orang-orang Persia dan Gujarat (India) ke kerajaan baru ini, terjadi percampuran darah dengan bangsa-bangsa asli melalui perkawinan yang tercatat dalam sejarah Aceh kuno. Bangsa Aceh asli, yang disebut sebagai Bangsa Manik (Manti), berasal dari suku-suku Mongol dari Burma dan Sungai Salween yang menetap di utara ujung Pulau Pertja. Alat pusaka yang dibawa mereka dari tanah asalnya terkenal di kalangan orang Aceh, seperti senjata tajam yang dinamakan "Sikin Mundofc" dan "Sonrjfioi Suwak" (konde bulat di atas kepala wanita), yang giginya diwarnai dengan obat tertentu dan dipendekkan (dalam bahasa Aceh disebut "Gigoë Meuasah").
Akhirnya, dalam percampuran perkawinan ini, bangsa Manik (anak cucu suku bangsa Karen) lenyap menjadi bangsa campuran baru dengan orang-orang yang datang dari Persia, Gujarat (India), Tiongkok, dan Arab. Dari bangsa baru ini muncul bangsa "Aceh".
Kerajaan Samudera ini menjadi kuat dan jaya, sehingga menguasai kerajaan-kerajaan di sekitarnya di utara Pulau Pertja, dengan menyebarkan agama Islam, peradaban, dan kebudayaan mereka bersama-sama. Raja yang dimaksud dalam sejarah ini adalah Sultan Malik al-Saleh. Istana beliau bernama Sjamtalira, yang artinya: "Istana Aman dan Tentram".
Kota kerajaan ini dikenal dengan nama Pasai, dan kerajaan ini dikenal sebagai Kerajaan Samudera Aceh. Pasai berarti "Kerajaan Lautan yang baik di Pasai". Kota Pasai terletak kira-kira di sekitar negeri Biang Mé sekarang. Hanya ada sebuah sungai yang masih dapat ditemukan hingga kini, yang dinamakan Krueng Pase (Sungai Pasai).
Kata-kata ini sebenarnya berasal dari bahasa Sanskerta, yang menyebut "Samudram", yang berarti 'Lautan yang luas'. Dari kata "Aceh", yang berarti 'Baik', kemudian dikenal sebagai nama bangsa Aceh yang telah memeluk agama Islam. Sejak Sultan Ali Mughajal Shah, yang berarti "Bangsa Baik", bangsa Aceh berarti mereka yang memeluk agama Islam. Suku-suku bangsa Aceh seperti Aceh-Gayo, Aceh-Alas, Aceh-Kloët (Daja), Aceh-Singkel, Aceh-Djami (Tapak Tuan), Aceh-Tamiang, dan Aceh-Simeulu, meskipun berbeda bahasa dan tradisi, semuanya adalah bagian dari rumpun bangsa Aceh yang tidak menganut agama lain selain Islam.
Dengan demikian, jelaslah bahwa seorang yang disebut orang Aceh, tidak perlu ditanyakan agamanya, karena sudah tentu Islam. Jika ada yang diluar garis, itu merupakan pengecualian. Kata Samudera itu, oleh bangsa Portugis disebut dalam logat mereka sebagai Sumatera, sehingga menjadi nama seluruh pulau itu. Sebelumnya, orang Aceh menyebut Pulau Sumatera dengan nama Pulo Rudja, yang berarti 'Pulau Pertja'.
Sultan Malik al-Saleh adalah Raja yang memerintah Samudera di Pasai ketika Marco Polo mengunjungi Pasai pada akhir tahun 1292 Masehi atau pada tahun 655 Hijriyah. Dikenal sebagai Sultan Malik al-Saleh, seorang Raja besar dan kerajaannya sangat makmur. Mungkin orang-orang yang mendirikan Samudera sebelum Sultan Malik al-Saleh memerintah, ada hubungan dengan Imperium Samudera Gupta di India. Atau, kata-kata yang ada di daerah bekas Imperium Samudera Gupta itu, mungkin diambil untuk menghubungkan kerajaan baru tersebut dengan India.
Yang pasti, sebelum Malik al-Saleh, sudah ada makam seorang Islam yang berderajat Raja, bernama Abdul Rachman, yang meninggal pada tahun 610 H (1215 M), dan seorang lagi bernama Hisimuddin, yang meninggal pada tahun 622 H (1223 M). Marco Polo diterima oleh Raja Samudera, Sultan Malik al-Saleh, dengan ramah tamah. Marco Polo menulis kisah perjalanannya itu sejak ia berangkat dari Venesia bersama ayah dan pamannya, pergi menghadap Kaisar Mongolia di Karahorum.
Marco Polo saat itu baru berusia 17 tahun, dan perjalanan ke Karakorum memakan waktu tiga setengah tahun. Perjalanan dimulai dari Venesia, melewati Laut Tengah, singgah di Messina di Sisilia, kemudian menuju pelabuhan-pelabuhan di wilayah barat Turki, perbatasan dengan Syria, dan mendarat di Mossul, Irak. Dari sana, ia melanjutkan perjalanan ke pelabuhan Shat-el-Arab di Teluk Persia, naik kapal menuju Bandar Ormuz di Persia (Iran), dan kemudian mengikuti jalan sutra menuju Karakorum di Mongolia. Dari Karakorum, Marco Polo pergi ke Cambaluc (sekarang Peking), tempat ia tinggal selama hampir 17 tahun.
Marco Polo sangat dihormati oleh Kaisar Kublai Khan, bahkan diangkat menjadi gubernur sebuah provinsi di Tiongkok dan hakim tertinggi di Cambaluc. Kaisar juga menyuruhnya untuk menulis sebuah kitab undang-undang untuk imperium Mongolia dan Tiongkok. Setelah 17 tahun, Marco Polo diizinkan pulang ke Italia. Sebelum itu, ia menikahi seorang putri bangsawan Mongol, tetapi tidak dikaruniai anak. Setelah istri pertamanya meninggal, Marco Polo menolak untuk menikah lagi, meskipun Kaisar Khan Agung menyuruhnya untuk menikah lagi.
Setelah 17 tahun di Tiongkok, Marco Polo pulang ke Italia, mengarungi Laut China, Selat Malaka, dan Lautan Hindia. Dalam perjalanannya, Marco Polo juga diutus oleh Kaisar Khan Agung untuk mengantar seorang putri Mongolia kepada Shah Iran, untuk dinikahi sebagai tanda persahabatan antara Mongolia dan Persia. Dalam perjalanan tersebut, mereka harus bertahan hidup setelah banyak yang meninggal, dan hanya 18 orang yang selamat. Di antaranya adalah putri Mongolia, Marco Polo sendiri, ayahnya, pamannya, dan 14 orang lainnya.
Perjalanan mereka singgah di beberapa tempat di pesisir utara Pertja (Aceh), seperti Peureulak, Basma, Pasai/Samudera, Dagroian, Poli, Lamuri (nama daerah Aceh Besar dahulu), dan Fanzur. Dalam perjalanan itu, Marco Polo menghadap Raja Samudera di istana Sjamtalira. Beberapa lama kemudian, ia diizinkan untuk melanjutkan perjalanan ke Langka (Sri Lanka, yang kemudian dikenal sebagai Colombo). Setelah itu, ia menuju ke pelabuhan Ormuz dan menyelesaikan misinya mengantar putri Mongol kepada Shah Iran.
Posting Komentar untuk "Kehidupan dan Pembangunan Kerajaan Islam Samudera Pasai: Pusat Perdagangan dan Peradaban Islam di Nusantara"