Mengenal Sejarah Negeri Pidie Poli: Dari Kerajaan Kuno hingga Kejayaan Perdagangan
Negeri Pidie Poli
Menurut riwayat, negeri Pidie pada zaman purbakala terdiri dari sebuah kerajaan yang membentang dari Kuala Batee hingga ke Kuala Ulim, sehingga Meureudu termasuk dalam wilayahnya. Asal kata Pidie tidak diketahui dengan jelas, namun dalam kisah bangsa Portugis disebut nama Pidir, dan dalam catatan bangsa Tiongkok disebut dengan Poli. Mungkin sebutan ini muncul karena orang Tiongkok tidak dapat mengucapkan “Pidie”, sebagaimana kita dengar pada masa kini orang Tionghoa totok menyebut Meureudu menjadi Meuleulu, Meulaboh menjadi Anaklabu, Kutaraja menjadi Kutalaja, dan lain sebagainya. Hal yang serupa terjadi pada orang Arab yang sulit melafalkan huruf “Qa” dan “Cing,” sehingga menggantinya dengan “Gha,” misalnya “Qalu” menjadi “Ghalu” dan “kucing” disebut “kusing.” Berikutnya akan kita pelajari lebih mendalam mengenai kedudukan dan riwayat negeri Pidie ini.
Menurut ahli sejarah, di Sumatra Utara pada zaman purbakala terdapat beberapa kerajaan, yaitu: Kerajaan Aru yang membentang dari Tamiang hingga Sungai Rokan, Kerajaan Peureulak dari Bajeuën sampai Kuala Idi, Kerajaan Samudera/Pasai dari Kuala Djambo Aië hingga Kuala Ulim, Kerajaan Pidie yang meliputi wilayah dari Kuala Ulim sampai Kuala Batee, dan Kerajaan Aceh yang membentang dari Kuala Batee hingga Kuala Keuluang. Pada akhir abad XV, terbentuk pula Kerajaan Daya.
Kerajaan Pidie (Pidir) diakui oleh ahli sejarah kuno, seperti Winstedt, sebagai negeri yang makmur dan jaya. Setelah masa Sriwijaya, Pasai menjadi pusat perdagangan terkenal, diikuti oleh Pidie yang tersohor dengan pelabuhannya.
Dalam catatan Tiongkok yang relevan dengan keterangan di atas, disebutkan dalam kisahnya bahwa pada masa Dinasti Liang, sekitar abad V tahun 413 Masehi, seorang musafir Tiongkok bernama Fa Hin (Fa Hian) melawat ke Jeep Po Ti dan singgah di Sumatra Utara. Di antara negeri-negeri yang dikunjungi, ia singgah juga di Poli (Pidie) di ujung Sumatra Utara. Ia menyebutkan bahwa negeri Poli luasnya kira-kira 100 x 200 mil, dengan jarak 30 hari perjalanan dari timur ke barat dan 20 hari perjalanan dari utara ke selatan, terdiri dari 136 desa yang makmur dengan penduduknya yang menanam padi dua kali dalam setahun.
Cara pertanian di negeri ini serupa dengan di Iran/Persia dan India, di sekitar lembah sungai Indus dan sungai Gangga. Penduduk setempat juga memelihara ulat sutera dan menenun kain sendiri, seperti di Siam (Damaskus atau Suriah yang disebut oleh orang Aceh sebagai Surija). Raja memakai kain sutra, di daerah pesisir penduduk sudah memakai kain, sedangkan orang pedalaman masih menggunakan kulit kayu. Mereka menggunakan damar untuk penerangan dan memelihara kambing serta menangkap ikan. Kepala negeri atau Raja menganut agama Buddha.
Pada tahun 518 M, Raja Poli mengirim utusan ke Tiongkok untuk menjalin hubungan diplomatik. Kemudian, pada tahun 671 M, musafir Tiongkok I Tsing mengunjungi pesisir Aceh (Samudera), Poli, Lamuri, dan lainnya. Ia tinggal selama tiga bulan di sebuah kampung yang berpagar bambu di pesisir Sumatra Utara yang terdiri dari delapan kerajaan, termasuk Peureulak, Pasai/Samudera, Poli, Lamuri, dan Dagroian. Pada masa kunjungannya, penduduk setempat masih hidup dalam keadaan yang liar.
Seperti yang telah disebutkan di atas, negeri Poli (Pidie) di Sumatra Utara telah dikenal sejak tahun 413 M oleh musafir Fa Hin. Negeri itu makmur, dan rajanya bermahkota emas, berpakaian sutra, serta menggunakan gajah sebagai kendaraan. Pelabuhan Poli berada di teluk sempit yang diduga berada di Kuala Batee, di mana nama "Genting" masih digunakan hingga kini. Tidak jauh dari pelabuhan tersebut terdapat tempat bernama “Panei” (“Pandei”), yang dahulu dihuni oleh orang Hindu pembuat parang, sementara penduduk lainnya bekerja membakar kapur dan menanam bawang. Di rimbanya terdapat banyak pohon cendana (gaharu), kayu kapur, serta satwa seperti gajah dan badak, yang menghasilkan gading dan sumbu badak. Di kampung Pandei masih ada bekas peninggalan Hindu yang belum diteliti oleh ahli purbakala Belanda, sebab pada masa itu daerah Batee termasuk wilayah gerilya Aceh.
Pada abad pertama Islam (tahun 82 H = 717 M), dalam ekspedisi pertama, sebanyak 33 kapal dari bangsa Ajam/Persia yang dipimpin oleh Zahid melakukan perjalanan ke Tiongkok, yang berangkat dari Teluk Ajam/Persia, berkumpul di Ceylon (Kandi). Dari situ, armada ini terbagi, sebagian menuju Canton (Tiongkok), sebagian ke Malaya, Kedah, Siam, Kamboja, Annam (Indochina), pulau Jawa, Brunei, Makassar, Kalimantan, Maluku, dan lainnya untuk mencari rempah-rempah. Beberapa kapal singgah di pesisir Aceh (Sumatra Utara) sebelum melanjutkan ke Canton. Pada ekspedisi kedua sekitar tahun 724 M, kapal-kapal Persia tersebut kembali ke pesisir Aceh untuk membeli barang dagangan, seperti emas, perak, kapur barus, kemenyan, cendana, dan lainnya. Mungkin pada masa itu pula mereka membawa bibit lada dari Madagaskar untuk dibudidayakan di tanah Aceh. Bangsa Persia/Arab dan Siam mendominasi perdagangan pada waktu itu, sementara bangsa Kelingga (India) memainkan peran kecil, dan kebanyakan nahkoda adalah orang Persia atau Malabar yang menjalin hubungan dengan orang Aceh dan Melayu.
Menurut sejarah Arab lainnya, pada tahun 522 H = 930 M, orang Arab singgah di Rami yang tidak jauh dari pelabuhan Poli (Pidie). Sejak saat itu, kunjungan dari bangsa Arab dan Persia ke Sumatra/Nusantara semakin ramai. Kesuburan tanah lembah Kerajaan Pidie hingga kini dikenal baik untuk tanaman tua atau tanaman padi muda.
Ada pendapat bahwa lada Pidie memiliki kualitas terbaik, mungkin karena dibawa oleh orang Arab dari Madagaskar atau Afrika Timur ke Peureulak, Pasai, dan Pidie untuk dibudidayakan sebagai komoditas utama. Menurut ahli pertanian J.H. Heij, sejak abad VII, tanaman lada sudah ada di Pidie, Pasai, dan Peureulak. Kemudian, oleh Teungku Lam Keuneu En (mungkin berasal dari kata Kana'an di Palestina), tanaman lada ini dikembangkan di Aceh Besar dan dikenal sebagai “Peunulada.”
Kisah tentang perkembangan tanaman lada yang diperkenalkan oleh bangsa Arab atau Hindu dari luar negeri masuk akal, terutama dengan adanya pepatah Melayu di Malaka yang menyebut “berat orang ini seperti berat lada Pidie,” yang mengacu pada kualitas lada yang berasal dari Pidie.
Makam raja-raja di Pidie dapat ditemukan di kampung Keulébeuët (Laboi), salah satunya adalah makam Sultan Ma Aruf Shah, putra Sulaiman Nur, yang wafat pada tahun 916 H (1310 M), dan di kampung Sangeuë dekat masjid Raja Pidie (Laboi) terdapat makam Putroe Balee, yang wafat pada tahun 970 H (1588 M), yang menyerupai makam raja-raja di Pasai, Aceh Besar, Daya, dan di Gresik (Jawa dekat Surabaya dan Cirebon), terbuat dari batu pualam bertulisan Arab dan nisannya didatangkan dari India (Bombay) atau dibuat di Meraksa (Ulee Lheué).
Dalam catatan Portugis, sebelum bangsa Portugis datang pada tahun 1539, Kerajaan Aceh Besar pernah takluk kepada Raja Pidie. Namun, kedua kerajaan ini juga sering berperang merebut kekuasaan. Pidie sempat dikalahkan oleh Raja Aceh Besar, dan Wali Negara (Gubernur) ditempatkan di Pidie, yaitu Raja Ali dan adiknya Ibrahim. Raja Ibrahim kemudian memimpin serangan ke benteng Portugis yang baru didirikan di Pidie (di Kuala Gigieng), lalu, dengan senjata yang berhasil direbut, ia menyerang Raja Aceh Besar pada tahun 1314 H. Sultan Salahuddin ibn Muzaffar Shah diturunkan dari takhta, dan Sultan Ali mengambil alih dengan gelar Sultan Ali Mughayat Shah, sedangkan Raja Ibrahim menjadi laksamana.
Posting Komentar untuk "Mengenal Sejarah Negeri Pidie Poli: Dari Kerajaan Kuno hingga Kejayaan Perdagangan"