Kisah Epik Tok Po Kalam: Pemimpin Legendaris dari Indrapuri hingga Peureulak

Tok Po Kalam

Tok Po Kalam berasal dari Indrapuri, Aceh Besar (Kutaraja). Kedatangannya ke Peureulak menurut riwayat sebagai berikut: pada suatu masa, berangkatlah satu rombongan dari lima keluarga dengan tiga buah sampan (perahu) menuju ke pesisir timur Aceh, untuk menghindari bahaya atas diri mereka serta membangun negeri baru (Seuneubok). Mereka juga pindah karena salah satu di antara mereka, yang bernama Kalam, difitnah akan meracuni Sultan. Tahun pengungsian mereka tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan terjadi pada masa perebutan kekuasaan di Aceh Besar sekitar akhir abad XVIII, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1767–1787).

Kisah Epik Tok Po Kalam: Pemimpin Legendaris dari Indrapuri hingga Peureulak

Rombongan pengungsian dengan tiga perahu tersebut berlayar dari Aceh Besar, tepatnya dari Kruëng Raja atau Lam Panaih, menyusuri pantai Pidie. Setibanya di kuala Ndjong, mereka berhenti dan menetap di sana dengan satu perahu. Mereka membuka lahan nelayan di Pusong kuala Ndjong, dan salah satu kepala keluarganya diangkat menjadi keuchik di sana. Keturunannya hingga masa pemerintahan Teuku Rajeuk Main, termasuk anak keuchik bernama Ma E, masih memimpin di Pusong Ndjong hingga kini. Dua perahu lainnya melanjutkan perjalanan ke arah timur hingga tiba di Samalanga/Djeunieb, di mana perahu kedua menetap, sedangkan perahu ketiga berlayar ke kuala Djambu Air. Mereka tidak jadi tinggal di sana dan akhirnya berlabuh di sebuah kuala besar. Mereka berdiskusi apakah akan melanjutkan perjalanan atau menetap di tempat tersebut, karena meskipun kuala tersebut besar, belum ada perkampungan di sekitarnya.

Saat mereka berpikir-pikir, mereka melihat batang jagung, daun pisang, dan ampas tebu yang hanyut terbawa banjir. Mereka pun menduga bahwa di hulu sungai terdapat pemukiman dan tanahnya subur. Akhirnya, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke hulu hingga tiba di sebuah kampung yang diteduhi pohon tualang besar, lalu berlabuh di sana. Kampung itu dikenal dengan nama Peureulak, dan mereka disambut hangat oleh penduduk setempat. Setelah mengenal penduduk dan mengamati daerah tersebut, mereka memutuskan untuk menetap dan mendirikan pondok di bawah pohon tualang, dan kampung itu diberi nama “Tualang.”

Tidak jauh dari Tualang, ada sebuah kampung bernama Kabu Beringin, tempat tinggal seorang datok yang memerintah Peureulak. Mereka pun memperkenalkan diri pada datok tersebut. Kedatangan mereka disambut baik, dan setelah beberapa waktu, mereka mendapat tawaran pekerjaan rahasia dari datok untuk membunuh seorang Bugis buta yang telah mengganggu keamanan kampung. Bugis ini sering membuat gelanggang adu ayam, yang membuat pemuda kampung terjerumus dalam candu dan pencurian.

Orang-orang dari Indrapuri menerima tawaran tersebut. Pada suatu hari, ketika Bugis buta sedang asyik duduk di pondok adu ayam, ia ditikam hingga tembus rusuknya, dan situasi pun rusuh. Orang-orang yang membenci Bugis buta tersebut membantu si pembunuh, sehingga pengikut Bugis itu kabur. Setelah itu, Datok Kabu Beringin memenuhi janjinya, mengawinkan Po Kalam dengan putrinya, dan mengangkatnya sebagai wakil. Setelah datok meninggal, Po Kalam pun diangkat menjadi Datok oleh masyarakat dan diberi gelar Tok Po Kalam.

Tok Po Kalam memiliki tiga anak: Teungku Muda Raja, Teungku Diblang, dan Pang Ulee Peunaruë (atau dikenal sebagai Leuku di Ranto Panjang, yang pertama kali menemukan sumber minyak tanah). Setelah Tok Po Kalam wafat, Teungku Muda Raja diangkat menggantikannya, namun gelar Datok tidak lagi digunakan, melainkan memakai tradisi dari Aceh Besar.

Teungku Muda Raja memiliki tujuh anak, termasuk tiga putra: Teungku Njak Plang, Teungku Muda Djagang, dan Teungku Muda Hasan. Setelah Teungku Muda Raja wafat, Teungku Njak Plang menggantikannya. Teungku Njak Plang memiliki beberapa putra, termasuk Teungku Muda Rakna, Teungku Ben Tam, dan Teungku Muda Tjhik.

Putra Teungku Muda Djagang, Teungku Njak Tam, diangkat sebagai Panglima Besar. Sebelum Teungku Njak Plang meninggal, anaknya yang bernama Teungku Muda Rakna menggantikannya. Namun, Teungku Muda Rakna wafat setelah setahun memerintah, dan Teungku Njak Plang kembali memimpin. Setelah Teungku Njak Plang wafat, Teungku Ben Tam menggantikannya, namun Teungku Njak Tam merampas pangkat tersebut dengan dukungan Pangeran Anum dari Sultan Aceh, yang mengeluarkan surat angkatan pada 6 Ramadhan 1278 H (1861 M). Teungku Njak Tam diberi gelar Kejurun Tjhik, Ulee Balang Negeri Peureulak. Pertikaian kekuasaan pun terjadi antara Teungku Ben Tam dan Teungku Njak Tam hingga Teungku Njak Tam gugur, dan Teungku Ben Tam menjadi Kejurun Tjhik bergelar Teungku Tjhik Kruëng Baro.

Sepeninggal Teungku Tjhik Kruëng Baro, putranya, Teungku Abu Bakar, diangkat dengan gelar Teungku Tjhik Muda Peusangan. Pada tahun 1914, ia menyerahkan jabatannya kepada putranya, Teungku Tjhik Muhammad Thajib, yang memimpin hingga 1933. Teungku Tjhik Muhammad Thajib lalu pindah ke Jakarta dan pekerjaannya dilanjutkan oleh pamannya, Teungku Tjut Ahmad, hingga tahun 1944. Sebenarnya, pengganti Teungku Tjhik Muhammad Thajib adalah anak sulungnya, Teungku Muh. Thahir (Ir. Teungku M. Thahir Thajib saat ini), yang sedang menempuh pendidikan di Belanda. Namun, karena situasi mendesak, pihak yang berwenang mengangkat Teungku Ismail (Mr. Teungku Ismail Thajib saat ini), putra lain dari Teungku Muhammad Thajib, sebagai pengganti ayahnya.

Posting Komentar untuk "Kisah Epik Tok Po Kalam: Pemimpin Legendaris dari Indrapuri hingga Peureulak"