Gagalnya Ekspansi Majapahit ke Samudera Pasai: Sejarah yang Tertulis di Tanah Aceh

Expansi Majapahit

Menurut berita kuno di Aceh (mitos), Kerajaan Hindu Majapahit di Pulau Jawa dikenal karena pesatnya ekspansi yang menjerang Raja Samudera, hingga Majapahit mendahului menyerang Samudera. Pada waktu itu, di Majapahit memerintah seorang raja bergelar Prabu Hayam Wuruk, bersama Patih Gadjah Mada. Maka, Patih Gadjah Mada mempersiapkan tentara-tentaranya dengan kepala perang yang berjumlah ratusan untuk menyerang Samudera, setelah mengalahkan Singapura dan Aru.

Gagalnya Ekspansi Majapahit ke Samudera Pasai Sejarah yang Tertulis di Tanah Aceh

Sekitar tahun 1350, tentara laut dan darat Majapahit berangkat untuk menyerang Samudera Pasai. Namun, serangan-serangan tentara laut Majapahit dapat digagalkan oleh tentara Samudera, sehingga tidak dapat mendarat di Pasai karena pertahanan darat di perbatasan Peureulak cukup kuat, dan terpaksa angkatan Gadjah Mada mundur kembali ke laut. Meskipun serangan pertama yang dilakukan oleh tentara Majapahit itu gagal, pemimpin perang Majapahit belum putus asa dan tidak mau pulang ke Majapahit sebelum mengalahkan Samudera.

Untuk serangan kedua, Gadjah Mada merencanakan strategi dengan menyerang dari dua arah, laut dan darat. Patih Gadjah Mada mendaratkan sebagian tentara di tempat-tempat yang sepi, sekitar daerah yang terdekat dengan pertahanan Samudera, di tempat-tempat yang tidak dipertahankan oleh tentara Samudera. Di salah satu tempat yang kosong, tentara-tentara itu mendirikan benteng di atas sebuah bukit, yang hingga kini disebut Bukit Jawa oleh penduduk setempat. Kemudian, Gadjah Mada menuju lebih dalam ke pedalaman dan mendirikan benteng lagi di sebuah bukit untuk dirinya dan pasukan pengawalnya. Bukit tempat benteng Gadjah Mada berdiri hingga sekarang dikenal dengan nama Gadjah Meunta dalam logat bahasa Aceh, yang berasal dari kata Gadjah Mada.

Oleh orang Belanda, daerah tersebut kemudian disebut Gadjah Meuntah Estate, setelah dikuasai dan dijadikan kebun para. Setelah kekuatan dan persiapan matang, Gadjah Mada bersama pasukannya menyerang Samudera kembali dari dua arah, laut dan darat. Serangan dari laut dihadang oleh tentara Raja Samudera Pasai di Kuala Djambo Air dan Lho Seumave. Tentara Gadjah Mada yang menyerang dari darat di Paja Gadjah (antara Peureulak dan Peudawa) dapat dipukul mundur oleh tentara Samudera dan mundur ke laut serta menyeberang ke Kuala Peureulak. Tentara yang ketinggalan naik ke kapal dan mundur.

Pertahanan Samudera di sebelah sungai atau kuala Peureulak, dikenal dengan nama Paja Gadjah Alue Bu. Daerah ini dinamai Alue Bu karena di sini tempat perbekalan dan gudang makanan tentara Samudera. Sementara itu, sebelah timur sungai menjadi medan pertempuran, menyebabkan penduduk Peureulak yang asli banyak melarikan diri ke hulu sungai (gunung).

Pihak angkatan laut Majapahit mengalami kerugian besar, karena kapal-kapal di sungai dan kuala diserang dengan rakit bambu yang diisi minyak tanah dibakar, kemudian diarahkan ke kapal-kapal yang berlabuh di kuala dan sungai Peureulak. Karena merasa gagal, Gadjah Mada tidak ingin kembali ke Majapahit, maka ia memutuskan untuk menyerang Tamiang dan menawan Puteri Meuga Gema. Kabar tentang puteri ini menyebar, dan ia akan dibawa pulang ke Majapahit sebagai simbol kemenangan Majapahit untuk Maharaja Prabu Hayam Wuruk.

Gadjah Mada memerintahkan seluruh tentara untuk mundur dan mencari tempat dekat kerajaan Tamiang guna dijadikan markas. Ditemukanlah tempat strategis yang sekarang dekat dengan Langsa, dan tentara Majapahit pun mendarat serta mendirikan benteng-benteng. Daerah itu kemudian dikenal dengan nama Manjak Pahit, berasal dari kata Majapahit.

Ketika Patih Gadjah Mada berada di Manjak Pahit, ia berusaha mengatur pemerintahan di sekitar negeri itu, yaitu Langsa, Araminjah, Bajeuen (Bajan), dan Damar Tuiung (Rantau Pandjang). Namun, pemerintahan ini tidak berjalan lancar karena penduduk negeri tersebut tidak terbiasa dengan adat istiadat Majapahit, seperti kebiasaan duduk di bawah saat menghadiri panggilan pemimpin. Hal ini membuat penduduk merasa dihina, terutama di Aramijah yang memiliki ulama berpengaruh, sehingga banyak yang melarikan diri ke hulu sungai Bajeuen. Akibatnya, negeri-negeri tersebut menjadi sunyi.

Setelah tentara Majapahit bermarkas di daerah itu, Gadjah Mada memerintahkan pasukannya menyamar sebagai saudagar dan pergi ke kota Benua (Tamiang) untuk menyelidiki kekuatan tentara Tamiang. Setelah mengetahui kekuatan tentara Tamiang, Gadjah Mada mengirimkan beberapa panglima untuk menghadap Raja Muda Sedia, meminang Puteri Meuga Gema, dan mendesak Raja Tamiang untuk mengakui kekuasaan Majapahit dan membayar upeti kepada Majapahit, bukan ke Samudera. Gadjah Mada juga meminta agar Raja dan rakyat Tamiang bersatu menyerang Samudera.

Pada suatu hari yang baik, sebuah kapal Majapahit berangkat dengan membawa utusan Majapahit ke Benua dengan mengibarkan bendera damai. Sesampainya di kota Benua, utusan diterima dengan baik oleh Raja Benua dan diperkenankan menghadap Raja Muda Sedia. Utusan menyampaikan pesan dari Patih Gadjah Mada serta mempersembahkan hadiah berupa kain batik dari Jawa, perhiasan, dan uang real dan kupangan (mata uang Mataram Hindu).

Utusan meminta agar Puteri Meuga Gema dibawa ke Majapahit dan dinikahkan dengan Maharaja Prabu Hayam Wuruk. Mereka juga memberi tahu bahwa Majapahit akan kembali dengan kekuatan besar untuk membebaskan Tamiang dari Samudera dan menyerang Samudera bersama-sama. Setelah mendengar pesan tersebut, Raja Muda Sedia meminta waktu satu hari untuk berkonsultasi dengan para pembesar negerinya. Keesokan harinya, utusan Majapahit diundang untuk menghadap kembali. Setelah makan, Raja Muda Sedia memberikan jawabannya kepada utusan.

Raja Muda Sedia menyatakan, "Pinangan dari utusan Majapahit kami terima karena kami adalah raja kecil dan tidak mampu menolak, namun kami tidak bisa menerima Majapahit sebagai menantu kami, karena adat kami berbeda dengan adat Majapahit. Kami juga menolak untuk diperintah oleh Majapahit dan untuk menyerang Samudera bersama-sama."

Apabila cemara bebadju itu hilang dari pandangan di tengah laut, itu menandakan bahwa kapal tersebut telah memasuki lautan arus yang dalam di Selat Melaka. Tempat bekas benteng Laksamana Kantommana itu hingga sekarang dianggap suci (keramat) oleh penduduk setempat. Satu cerita lagi, jika seseorang tersesat, maka dapat dilihat sebuah taman yang indah atau kebun buah-buahan yang bagus dan pohon-pohon sirih yang boleh dipetik dan dimakan. Namun, jika nampak rusa-rusa yang jinak, tidak boleh ditangkap ataupun dibunuh, karena jika dilakukan, niscaya mereka tidak akan dapat pulang ke kampungnya.

Adapun kapal-kapal perang Majapahit yang berhadapan dengan kapal-kapal perang Raja Tamiang, maka keluarlah semua kapal perang Raja Tamiang dari sungai-sungai dan meluncurkan peluru-peluru meriamnya ke arah kapal-kapal musuh. Terjadilah amukan di atas kapal yang sangat sengit. Segala lentera Majapahit yang mendarat mengelilingi benteng Kuala Arun Bebadju berhasil dipatahkan, karena kapal-kapal perang Majapahit terpaksa mundur dari Kuala Besar dan Kuala Sungai Iju, berkumpul seluruhnya di sebuah kuala lain.

Orang-orang Tamiang terus-menerus mengejar musuh mereka, sehingga terjadilah lagi pertempuran yang lebih hebat. Kapal perang Patih Gadjah Mada sendiri dengan kapal perang Laksamana Kantommana dikuasai, namun pada saat yang sama, datanglah beberapa kapal perang dari Sultan Pasai untuk memberikan bantuan kepada Raja Muda Sedia. Karena bertambah kuatnya tentara Tamiang, Patih Gadjah Mada mundur seluruhnya ke lautan luas. Dari sana, kapal-kapal perang Majapahit mendarat di sebuah teluk di daerah Teluk Haru (Pangkalan Susu).

Sebagai kenang-kenangan sejarah, orang-orang Tamiang menyebut tempat kekalahan tentara Majapahit itu dengan nama Kuala Raja Ulak. "Ulak" artinya "termundur". Karena orang-orang Tamiang menganggap Patih Gadjah Mada sebagai Raja Majapahit. Kuala Raja Ulak itu sampai sekarang masih ada dekat Kuala Besar.

Tentara Majapahit yang mundur itu singgah di sebuah pulau dan mendirikan markas di sana, merawat prajurit yang sakit parah. Namun, Patih Gadjah Mada belum juga patah semangat dan merencanakan untuk menyerang Tamiang sekali lagi, jika gagal, barulah ia akan pulang ke Majapahit. Tetapi pepatah Melayu berkata:

"Malang tidak dapat dielakkan,

beruntung tidak dapat diraih."

Begitulah selanjutnya, kapal-kapal perang dan prajurit-prajurit Majapahit berkemah di pulau tersebut, menunggu waktu dan kekuatan tentara baru.

Sejarah ini berlanjut ke peristiwa Kota Benua. Setelah Raja Muda Sedia menerima kabar tentang kemenangan Laksamana Kantommana dan kemenangan Panglima Perang tentara Tamiang yang dipimpin oleh Panglima Besar Getambatu, bersama-sama Mangkuradja Muda Siainu (Mangkuradja = Wakil Raja) dari Benua menolong menyerang orang-orang Majapahit ke Kuala Raja Ulak. Setelah itu, diadakanlah kenduri besar di Istana Benua. Upacara penghormatan kepada Kepala-Kepala Perang yang berjasa dilakukan dengan memberikan hadiah kehormatan kepada mereka di Balairung. Raja Muda Sedia berkata, "Dari sekarang kita harus bersiap-siap. Perbanyaklah kapal perang. Jika sudah selesai semuanya, saya akan mengirim utusan ke Samudra meminta bantuan yang kuat. Bersama tentara Samudra, kita akan menyerang benteng Gadjah Mada sebagai serangan balasan kita, dan sebelum serangan balasan kita lakukan, kita harus menutupi rasa malu kita terhadap serangan Gadjah Mada itu."

Setelah mendengar titah Raja, para pembesar Negeri Tamiang memerintahkan rakyatnya untuk mencari kayu-kayu besar di hutan (gunung), lalu memotongnya untuk dijadikan kapal perang. Di suatu tempat, seorang tua penduduk Semadam (daerah Sungai Simpang Kiri) melaporkan bahwa di daerah kampungnya terdapat sebuah pohon kayu medang-ara yang sangat besar, sebesar rumah besar. Semua menteri Kerajaan Tamiang beserta para pembesar lainnya, diiringi oleh rakyat, pergi ke hutan tempat kayu medang-ara itu berada di hulu Sungai Simpang Kiri. Sesampainya di tempat itu, semua pembesar terkejut melihat pohon raksasa yang terlalu besar dan tingginya.

Sebelum pohon itu ditebang, beberapa orang menteri kerajaan pergi menghadap Raja. Raja Muda Sedia sangat gembira mendengar besarnya pohon itu, lalu diperintahkan untuk menebang kayu medang-ara raksasa tersebut dan segera dijadikan bahtera perang besar untuk digunakan kelak. Semua tenaga tukang dikerahkan ke sana. Setelah beberapa ekor kerbau digunakan untuk minta doa selamat, kayu medang-ara itu pun mulai ditebang.

Namun, setelah tujuh hari berturut-turut menebang, kayu tersebut belum juga terpotong. Kulitnya bahkan belum habis terpotong, dan semua perkakas menjadi tumpul. Beberapa kapak kuno habis patah karena kerasnya kayu itu. Pada suatu malam, seorang Datuk Menteri yang berada di tempat itu bermimpi. Dalam mimpinya, dia mendengar suara yang melarang untuk menebang pohon tersebut, karena pohon medang-ara itu adalah Benuang Negeri Tamiang, yang akan membawa malapetaka bagi kerajaan jika ditebang.

Keesokan harinya, Datuk Menteri tersebut sangat khawatir dan pergi ke bawah pohon itu untuk memikirkan takbir mimpinya semalam. Setelah itu, Datuk Menteri pulang ke Istana Benua dan menghadap Raja Muda Sedia. Sesampainya di Istana, Datuk Menteri melaporkan mimpinya kepada Raja, yang kemudian menjawab: "Walaupun pohon medang-ara itu Benuang Negeri Tamiang, tidak masalah, tebanglah cepat, karena saya harus segera menyerang Majapahit. Jangan ada yang menghalang-halangi."

Mendengar titah Raja, Datuk Menteri segera kembali ke tempat pohon tersebut. Sesampainya di sana, dia memanggil semua pembesar dan rakyat untuk menebang pohon medang-ara itu dengan cepat, karena perintah Raja agar kerja dilakukan siang malam tanpa berhenti.

Demikianlah pohon medang-ara itu ditebang siang malam tanpa henti, namun karena kerasnya kayu, belum juga putus. Diceritakan bahwa tepat pada tengah malam, datanglah angin sepoi-sepoi disertai hujan rintik-rintik dan bau harum semerbak yang menyebar ke seluruh tempat, laksana minyak harum tumpah dari botolnya. Semua orang yang mencium bau wangi itu, baik yang bekerja maupun yang berjaga, langsung pingsan dan tertidur. Tak ada satu pun yang tersisa berjaga.

Pada saat itu juga, pohon medang-ara itu rubuh dengan sendirinya, tergerak dan meluncur ke tepi sungai, dibawa oleh arus deras ke Sungai Simpang Kiri, dan langsung mengalir ke laut luas. Sampai sekarang, bekas pohon kayu medang-ara itu masih ada, dan kayu besar itu tergerai dengan akar-akarnya mengikuti arus deras dari air Sungai Simpang Kiri, mengalir ke laut sampai ke Pulau Sisembilan (Pulau Sembilan). Bekas jalur yang dilalui pohon itu kini menjadi tanah besar. Oleh orang-orang Tamiang, tanah itu disebut "Paja Sane Ngulor" (dalam Onderneming Semadam sekarang), yang berarti "Paja Hantu turun."

Karena kejadian itu, pohon medang-ara ini, di mana pun berada dalam daerah Negeri Tamiang, tidak boleh ditebang oleh siapapun, karena telah menjadi larangan adat Raja Tamiang. Barang siapa yang berani menebang pohon itu akan dikenakan hukum Raja atau denda berat. Namun, jika dengan izin Raja dan setelah melakukan upacara adat, barulah pohon itu boleh ditebang.

Pohon medang-ara ini juga disebut dalam bahasa Tamiang sebagai "Kaju Radja." Larangan adat Raja ini berlaku hingga zaman Hindia Belanda, dan diakui oleh Belanda.

Di Negeri Tamiang sejak dahulu, tidak pernah ada yang menyebut pemimpin negeri dengan sebutan "Uleëbalang" seperti di bagian Aceh lainnya. Di sini (Tamiang), sejak awal berdirinya, digunakan sebutan "Raja," meskipun negeri ini membayar upeti ke Pasai dan ke Raja Aceh. Kepada Raja Aceh, orang-orang Tamiang menyebutnya sebagai Sultan Raja Aceh.

Sesampainya di laut luas, kapal itu terus menuju dan terdampar pada pulau tempat Patih Gadjah Mada berkemah. Menurut cerita, pada malam itu, Raja Tamiang beristirahat di teluk dan mendengar suara ombak yang berbunyi lembut.

Kemedja Cjahimja. Diambil segala anak-anak caturannya yang terdiri dari segala permala dan papan caturannya diperbuat dari suasa bertatahkan emas, serta Raja Muda Sedia memegang tangan Ratunya. Lalu, kembali ke jendela Istana dibukanya pintu jendela itu, dilemparkannya segala permala dan papan catur itu ke halaman. Ratu juga menanggalkan segala perhiasan di badannya, dilemparkan ke halaman Istana, ke alas segala perajurit musuh itu.

Puleri Meuga Gema sempat pula mengambil beberapa puluh pundi uang emas dalam kamar aja-handanya. Dibukanya pundi-pundi uang di dalam itu, semua dilemparkannya juga ke halaman. Maka semua permala dengan uang emas itu bertaburanlah di halaman Istana.

Dalam saat Panglima-panglima dan perajurit-perajurit Mojopahil itu sibuk berbutan memilih permala dan uang-uang dirham itu, saat itulah Tuanku Puteri Meuga Gema lari dengan beberapa dajang-dajangnya masuk ke dalam sebuah Gong Besar Kerajaan yang berada di alas puncak Istana. Di sana, Puleri itu bersembunyi.

Pada masa itu pula, Raja Muda Sedia melihat ke kiri dan ke kanan, pulerinya sudah hilang. Maka ditariklah tangan Ratunya, lalu lari keluar dari pintu belakang Istana, karena di tempat itu tentara-tentara Mojopahil belum berada.

Beberapa orang pengikut mengiringkan Raja serta Ratu. Ratu berkata pada pengiringnya, "Dimana Meuga Gema?"

Pengiring-pengiring itu menjawab, "Tidak ada patik ketahui, Tuanku."

Maka sampailah Raja Muda Sedia di Kota Lintang (dekat Kuala Simpang). Di sana naiklah rombongan Raja itu menjingkirkan diri ke hulu Sungai Simpang Kanan.

Maka kisah ini kita alihkan dahulu ke kota Benua lagi.

Setelah perajurit-perajurit Mojopahil itu habis memilih akan permala dan uang-uang dirham beserta perhiasan-perhiasan dari Ratu, maka digempurlah pintu Istana. Setelah pintu Istana terbuka, masuklah segala Panglima-panglima Mojopahil itu ke dalam. Tetapi di dalam Istana lelah sunyi senjap, semua isinya telah habis lari. Segala ruangan penjuru Istana itu pun digeledahlah dan dikumpulkan kekayaan Istana itu.

Kemudian beberapa orang Panglima-panglima Mojopahil itu menaiki tangga lalu terus ke puncak Istana. Sesampainya Panglima-panglima itu pada ruangan puncak, maka terlihat sebuah Gong Kerajaan yang Besar, dan Gong ini dinamakan Gong Larangan, sebab jika tidak ada keperluan yang resmi, dilarang membunyikannya. Maka Gong itu didekati dan dilihat ke dalamnya. Nampaklah Puteri Meuga Gema bersama beberapa orang dajang-dajangnya bersembunyi di belakang Gong itu. Lalu terus dihadapkan dan dipersembahkan pada Patih Gadjah Mada.

Setelah siap menggeledah Istana, lalu menggeledah pula segala rumah-rumah lain yang berada dalam kota Benua itu serta menawan beberapa banyak penduduk kota itu. Setelah selesai penggeledahan, kota yang indah itu dibakar, beberapa hari dan malam api menjalar-jalar dengan tidak padamnya, seluruh kota Benua habis menjadi abu rata dengan tanah. Kemudian dari itu, pada pelanginya berangkailah lentera-lentera Mojopahil itu dengan kapal-kapal perangnya menghilir ke kuala membawa lawanannya semua.

Sesampai pada sebuah tempat, malam telah hari. Maka kapal yang ditumpangi oleh Patih Gadjah Mada beserta Puteri tawanannya, Puteri Meuga Gema, mengalami kerusakan (botjor). Karena itu terpaksa turun ke darat berkemah.

Tersebutlah perihal Puleri Meuga Gema yang terlawan lelah diketahui oleh tunangannya yang bernama Tuanku Ampon Tuan, keturunan bangsawan dari Samudera yang berada pada masa itu di dalam negeri Benua, tinggal di sekitar kota Benua. Tuanku Ampon Tuan segera mengumpulkan segala jenis buah-buahan yang ada pada musim itu diisi penuh dalam sebuah bâtera, setelah itu dengan beberapa orang kawannya pergi menghilir menuju kapal-kapal perang Mojopahil yang berhenti membetulkan kerusakan.

Keesokan harinya, sewaktu perajurit-perajurit Mojopahil sedang membetulkan kapal yang rusak itu, Tuanku Ampon Tuan pun membawa dan menawarkan buah-buahan itu kepada perajurit-perajurit yang diketahuinya sangat suka akan buah-buahan itu.

Perintah Patih Gadjah Mada supaya buah-buahan itu dibeli semuanya dan dipunggah setengahnya ke darat, dibagi-bagikan pada Panglima-panglima yang ada di dalam kemahnya, yang setengah lagi dimasukkan ke dalam kapal perajurit-perajurit Mojopahil.

Sesampainya Tuanku Ampon Tuan membawa buah-buahan itu ke tempat perkemahan Gadjah Mada, maka Tuanku Ampon Tuan pun membunyikan nafiri sewaktu Panglima-panglima Mojopahil sedang asyik memakan buah-buahan yang manis itu, sehingga perajurit-perajurit yang di kapal pun berlari-lari mendengarkan lagu-lagu yang menghiburkan hati mereka. Karena serunya suara nafiri di malam itu dan karena letihnya, maka terlenalah segala tentara-tentara Mojopahil itu sampai semuanya tertidur lelap.

Dalam saat itulah Tuanku Ampon Tuan mengambil kesempatan membebaskan Puteri Meuga Gema beserta dajang-dajangnya, dilarikan ke dalam hutan di balik bukit. Setelah Tuanku Ampon Tuan beserta Puteri itu menghilang, barulah terbangun tentara-tentara Mojopahil dari tidurnya. Setelah dilihatnya, Puteri Meuga Gema beserta dajang-dajangnya tak ada lagi dalam perkemahannya. Maka mulai diadakan pengejaran yang tidak tentu arahnya, tetapi tidak berhasil.

Sampai sekarang tempat bekas perkemahan tentara Mojopahil itu, pada sebuah bukit yang tidak jauh dari tepi Sungai Tamiang, oleh orang-orang Tamiang sebagai tempat berziarah, diberi nama Bukit Selamat, artinya: selamat Puteri Tamiang itu dibebaskan kembali dari tawanan tentara-tentara Mojopahil. (Bukit Selamat itu terdapat ke hilirnya Rantau B.P.M. sekarang).

Posting Komentar untuk "Gagalnya Ekspansi Majapahit ke Samudera Pasai: Sejarah yang Tertulis di Tanah Aceh"