Hukum dan Adat Istiadat Aceh: Pilar Keharmonisan Kerajaan dan Masyarakat

Hukum Dan Adat Istiadat Aceh

Awalnya tampak samar bahwa badan hukum yang terkecil dalam tata negara adalah desa atau kampung yang dipimpin oleh Keuchik (kepala kampung). Namun, di setiap tempat, badan ini memiliki bagian yang lebih kecil atau yang sangat kecil. Badan hukum yang sangat kecil adalah rumah, yang memiliki hak pribadi masing-masing. Dalam pepatah Aceh disebutkan: Sawah berpematang, Orang berkeluarga, Rumah beradat, Pukat berkaca.

Hukum dan Adat Istiadat Aceh Pilar Keharmonisan Kerajaan dan Masyarakat

Makna pepatah ini sebagai berikut:

  1. Setiap sawah harus berpematang agar air tergenang, tanpa pematang air tidak akan tergenang dan padi tidak bisa ditanam.
  2. Setiap desa atau kampung harus memiliki petua untuk mengatur organisasi kepentingan penduduk.
  3. Rumah selalu diliputi oleh adat untuk mendidik anak-anak dan menjaga keamanan dalam rumah tangga, baik untuk pribadi suami-istri maupun keturunan mereka. Semua itu dilindungi oleh satu pagar yang disebut adat, meskipun adat dalam rumah lebih kecil dibandingkan adat satu desa.
  4. Pukat adalah alat menangkap ikan yang harus berkadja. Kadja adalah tali yang berfungsi sebagai pagar untuk mencegah ikan keluar, tetapi harus masuk ke puntung pukat. Pukat yang tidak berkadja tidak akan mendapatkan hasil yang diharapkan.

Setelah Seri Sultan Iskandar Muda naik takhta kerajaan, dari hari ke hari hingga setahun ke setahun, beliau terus giat bekerja untuk mengendalikan negeri. Nama Seri Baginda menjadi terkenal setelah menaklukkan APU, Hintan, Kedah, Perak, dan Pahang. Raja Cina menyebutnya “Singa Aceh” karena ketenarannya dalam memerintah negeri dengan bijak, perkasa, dan adil. Semua berjalan baik karena dibimbing oleh ulama-ulama besar serta para bangsawan yang pandai.

Di antara rakyat terdapat beberapa kaum dan suku yang sangat berpengaruh di Aceh Besar, seperti: Suku Ihee Reuloih (suku tiga ratus) yang berasal dari orang-orang Mante dan Karo/Balak; Kaum Imeum Peuel dari orang Hindu; dan Kaum Lok Bale, kaum orang asing seperti Arab, Persia, Turki, dan Hindi. Kaum Dja Sandang, kaum Hindu yang pertama kali datang ke kampung Lam Panaih. Setiap kaum memiliki ketua sendiri yang disebut Panglima Kaum.

Sejak Sultan Alauddin Riayat Syah Al Qahhar memerintah, tiap kaum ini memiliki persetiaan yang kuat, yang sering kali menyebabkan perselisihan dengan kaum atau suku lainnya. Karena itu, adat lembaga mereka tidak seragam, karena mengacu pada negeri asalnya, meskipun sudah banyak yang terpengaruh oleh peradaban Hindu. Raja-raja sebelumnya sulit mempersatukan kaum-kaum ini, apalagi memasukkan peradaban Islam.

Sejak Sultan Iskandar Muda memerintah, beliau berhasil mempersatukan kaum-kaum tersebut dalam pemerintahan, berkat bimbingan ulama seperti Syekh Nurdin Ar-Raniri, Syamsuddin As-Sumatrani, dan Syekh Abdul Rauf Al-Fansuri. Kesatuan tersebut memungkinkan Sultan menjalankan hukum negara dan mengatur adat dengan kokoh, berdasarkan hukum Islam.

Sultan Iskandar Muda membagi pemerintahan atas empat bidang: a. Adat, diserahkan kepada Sultan dan penasihat-penasihatnya. b. Urusan hukum, diserahkan kepada Syekh Nurdin Ar-Raniri dan Syekh Abdul Rauf Al-Fansuri sebagai Syekh Islam atau Kadhi Malikul Adil. c. Urusan Kanun, tata tertib dalam perkawinan diserahkan kepada Maharani (Putroe Phang). d. Urusan Resam, diserahkan kepada Panglima Kaum atau Bentara di masing-masing wilayah.

Dalam semua pertemuan, dikenal peribahasa: Adat bak Po Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Resam bak Bentara.

Setelah menetapkan rancangan dengan para ulama, Sultan memanggil seluruh panglima dan orang-orang penting Aceh Besar untuk musyawarah dalam sidang ulama, para menteri, hulubalang, dan para pemuka adat untuk menetapkan hukum dan adat yang harus ditaati oleh semua. Adat ini berasal dari kata Arab yang berarti aturan yang turun-temurun ditaati masyarakat.

Adat terbagi menjadi tiga bentuk: 

  1. Adatullah, yaitu hukum dari Tuhan. 
  2. Adat Majelis, adat yang disusun oleh majelis kerajaan seperti Adat Meukuta Alam.
  3. Adat Tunah, adat yang keluar dari hukum dan adat kerajaan, disusun oleh masing-masing daerah/panglima, uleebalang, dan badan masyarakat hukum untuk melancarkan hukum dan adat Raja (Adat Mahkamah).

Hukum dan adat yang belum bisa diputuskan oleh majelis, ulama, dan uleebalang setempat dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi di bawah pimpinan Sultan di Balai Bailal Rahman.

Posting Komentar untuk "Hukum dan Adat Istiadat Aceh: Pilar Keharmonisan Kerajaan dan Masyarakat"