Sejarah Pertambangan di Aceh: Eksplorasi dan Potensi Masa Lampau
Pemeriksaan terhadap keadaan pertambangan di Aceh belum berlangsung lama. Tulisan-tulisan terkait hingga tahun 1904 telah dikumpulkan dengan cermat, termasuk karya Prof. A. Wichmann: "Über die Vulkane dari Sumatera Utara" dalam majalah "Zeitschrift der Deutschen Geologischen Gesellschaft."
Sejak Mei 1905, Insinyur Pertambangan P.J. Jansen berada di Aceh untuk memeriksa daerah Aceh Barat, termasuk jenis-jenis logam seperti emas, batu bara, dan lainnya. Ia ditugaskan membuat laporan tentang kemungkinan eksploitasi logam tersebut dengan biaya pemerintah. Hasil pendapatnya diumumkan dalam laporan triwulanan dari Jawatan Pertambangan (Mijnwezen) 1901–1905.
Dr. H. Hirschi, ahli pertambangan yang bekerja pada 1903–1905 di bawah Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij, memeriksa daerah Aceh Timur dan Aceh Utara. Pada tahun 1910, ia mempublikasikan tulisannya "Geographisch-geologische Skizze von Nordrand von Sumatra" dalam majalah "Aardrijkskundig Genootschap."
Tanah Gayo dan Tanah Alas menarik perhatian Dr. Wilhelm Volz, yang atas perintah "Königlich Preussische Akademie der Wissenschaften" di Berlin, melakukan pemeriksaan terhadap pegunungan Sumatra dan gunung berapinya pada 1904–1906, dengan pengawalan tentara. Sebelum itu, ia telah melakukan pemeriksaan serupa di Tanah Batak.
Antara 15 Oktober–16 November 1904, Dr. Volz menjelajahi pantai utara Aceh hingga Laut Tawar, serta lembah Peusangan pada 18 Oktober–19 Desember 1905, di Tanah Gayo dan Tanah Alas. Ia kemudian melintasi Sumatra dari Teluk Langsa ke Gayo Lues, melewati Bukit Barisan menuju Biang Pidie dan Susoh di pantai Aceh Barat (Selatan). Perjalanan ini berlangsung dari 23 Januari hingga 26 Februari 1906, serta mencakup pemeriksaan singkat di daerah Aceh Besar dan Gunung Seulawah (Mas = Gouden Berg). Hasil pemeriksaan ini dipublikasikan dalam buku keduanya tentang "Sumatra Utara," yang diterbitkan pada tahun 1912.
Kita mungkin tidak selalu sepaham dengan pandangan pengarang tersebut, namun ia berjasa dalam memulai pemeriksaan pertama di pedalaman Aceh yang masih asri, penuh tantangan, dan membuka jalan bagi penelitian-penelitian berikutnya.
Diketahui bahwa sejak beberapa waktu, Pemerintah melarang eksplorasi pertambangan di Aceh, terutama untuk minyak tanah, guna mempertahankan hak eksklusif eksploitasi. Namun, melalui Stb. 1921 No. 75, kebijakan ini diubah, memungkinkan pemeriksaan di beberapa daerah oleh Pemerintah, khususnya di afdeeling Aceh Timur dan Aceh Utara, sebagaimana tercantum dalam pasal 3.
Mulai tahun 1913, Jawatan Pertambangan melakukan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan minyak tanah di Peusangan dan sekitarnya. Pada Mei 1917, pemeriksaan dibagi menjadi dua fokus, yaitu minyak bumi dan logam. Di afdeeling Pantai Utara, seperti di kewedanaan Bireuen, Lhokseumawe, dan Lhoksukon, dilakukan empat percobaan penggalian dengan laporan rinci dalam Buku Tahunan Pertambangan 1917.
Pemeriksaan minyak tanah di afdeeling Aceh Besar tidak berhasil karena tidak ditemukan sumber atau indikasi yang layak dieksploitasi. Di Pantai Timur, pemeriksaan dilakukan hingga perbatasan Keresidenan Sumatra Timur. Berbagai antiklin dan kubah ditemukan dengan komposisi kimia yang rumit, beberapa di antaranya menunjukkan indikasi minyak.
Di Aceh Barat, dilakukan pula pemeriksaan logam yang menunjukkan keberadaan berbagai jenis logam, termasuk magnesit dan galena, serta batu bara, meski dalam jumlah yang belum cukup untuk dieksploitasi. Gunung-gunung di Aceh terdiri dari formasi "oude leien," yang meliputi:
- Batu schist berkilat, lensa kuarsa, dan jenis-jenis kwarsit.
- Kiezelleien merah dan biru tua serta hoornsteen.
- Chlorit dan serpentinit schist.
- Batu metamorf seperti mica schist, geneiss, kwarsit schist, chiastolit schist, hoornfels, kristal mikakalstein, dan marmer.
Batuan pada No. 4 ini mirip dengan zona kontak pada granit mica schist dan geneiss, serta ditemukan sebagai formasi tertua di beberapa pegunungan. Karena kondisi tektonis, batuan pada No. 1, 2, dan 3 tidak dapat ditentukan mana yang lebih tua. Beberapa tempat di Gayo, sekitar Kutaraja, dan selatan Indrapuri menunjukkan bahwa batu-batu ini tertutup oleh batuan karang permo-karbonis, sehingga batu-batu tersebut lebih tua dari karang tersebut.
Formasi batuan karang banyak ditemukan di bagian barat pegunungan barat laut Aceh, serta di pegunungan Gayo dan bagian timurnya. Erosi yang cepat oleh hujan di daerah panas menyebabkan terbentuknya sudut tajam, gua, dan sungai di tanah pegunungan tersebut.
Berdasarkan fosil hewan dan tumbuhan yang ditemukan di dalamnya, batu karang ini termasuk dalam formasi karbonis dan permo-karbonis, meskipun perbedaannya tidak terlalu jelas.
Selain "oude leien," ditemukan lapisan batuan yang berasal dari masa Paleogen yang tenggelam. Periode Mesozoikum tidak ditemukan di Sumatra Utara, yang menunjukkan bahwa sejak zaman primair hingga tertier, pulau Sumatra sudah merupakan daratan.
Oud tertiair dimulai dengan formasi transgresi berupa breksi dan konglomerat, kemudian lapisan pasir mika dan batu bara, dengan lapisan atas berupa batu lempung hitam. Di beberapa tempat pada lapisan bawah Paleogen, ditemukan batu karang dengan nummulites, yang menunjukkan masa Eosen.
Batuan vulkanik yang ditemukan mencakup granit, diorit, andesit, dan porfirit. Di dekat Tangse, terdapat campuran diorit dan granit, serta granit yang ditemukan di beberapa lokasi di pegunungan tengah. Bahan ini disebut sebagai "intrusif," yang lebih muda dari formasi "oude leien dan permo-karbonis."
Posting Komentar untuk "Sejarah Pertambangan di Aceh: Eksplorasi dan Potensi Masa Lampau"