Hubungan Sultan, Ulama, dan Uleëbalang: Fondasi Kekuasaan Aceh dalam Perspektif Islam dan Adat

Hubungan Sultan, Ulama, dan Uleëbalang: Pilar Kekuasaan Aceh

Hubungan Agama dengan Sultan

Hubungan Sultan, Ulama, dan Uleëbalang Fondasi Kekuasaan Aceh dalam Perspektif Islam dan Adat

Perhubungan antara agama dengan Sultan telah memiliki dasar yang kokoh dalam hukum agama. Hal ini dikuatkan oleh firman Tuhan dan hadis Nabi, yang dijelaskan oleh para ulama. Dalam hukum agama terdapat ketentuan khusus mengenai penobatan atau pengangkatan Sultan.

Sultan diangkat melalui mufakat rakyat, dengan persetujuan ulama dan para pemuka masyarakat yang cerdas serta bijaksana. Proses ini melibatkan diskusi mendalam antara ahli hukum (ulama) dan ahli adat (pemuka masyarakat) yang juga melibatkan Panglima Kaum. Oleh sebab itu, muncul pepatah: "Hukum dan adat ibarat zat dengan sifat" (lageë zat ngon sipheuët).

Orang yang diangkat menjadi Sultan harus memenuhi syarat-syarat agama, yaitu:

  1. Merdeka
  2. Memiliki kecakapan sebagai kepala negara, yang mencakup:
  • Dewasa
  • Berpengetahuan tentang hukum dan adat
  • Adil
  • Mampu mengurus negara, hukum, dan peperangan
  • Bijaksana dalam mempertimbangkan serta menjalankan hukum dan adat.

Menurut sejarah, negeri yang diperintah oleh Sultan atau Raja yang bergelar Sultan harus beragama Islam. Oleh karena itu, syarat-syarat di atas didasarkan pada ajaran Nabi Muhammad SAW. Sultan bertanggung jawab melindungi agama di wilayahnya, serta memiliki wewenang mengatur segala hal yang terkait dengan kepentingan agama agar selalu sesuai hukum dan keadilan.

Hak dan Kewajiban Sultan

Sultan memiliki hak untuk menjalankan kewajibannya, seperti:

  1. Mengangkat ulama yang ahli dalam hukum agama.
  2. Mengangkat orang bijaksana dan cerdas (menteri) untuk mengelola negara.
  3. Mengangkat panglima perang atau Uleëbalang untuk mempertahankan negeri.

Ketiga kelompok tersebut menjadi pembesar utama Sultan, menjalankan hukum dan perintahnya.

Tugas-Tugas Utama:

  1. Ulama
  • Memberikan nasihat kepada Sultan terkait agama.
  • Menjadi qadhi dalam menyelesaikan masalah hukum.
  • Menerima mandat untuk menikahkan orang tanpa wali serta menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan hukum agama.

    2. Menteri

  • Menasihati dan membimbing Sultan.
  • Mengelola urusan negara, diplomasi, dan siasat.
  • Menyusun serta menjaga peraturan agar tercipta kemajuan dan keselamatan.

    3. Uleëbalang

  • Menjaga keamanan negeri (peutimang nanggroë).
  • Menjalankan perintah Sultan, termasuk penangkapan terhadap pelanggar hukum dan adat.
  • Membentuk pasukan pertahanan negeri sesuai kebutuhan.

Pelantikan Uleëbalang disertai nasihat Sultan, sering dalam bentuk pepatah seperti:

"Kalau ia susah ditolong, kalau ia benar diikuti, kalau ia zalim ditegur, dan kalau ia salah dikembalikan ke jalan yang benar."

Struktur Pemerintahan Sultan di Aceh

Di Aceh Besar, Uleëbalang ada yang berada di bawah Panglima Sagi dan ada yang langsung di bawah Sultan. Namun, Uleëbalang di wilayah lainnya langsung bertanggung jawab kepada Sultan sendiri.

Posting Komentar untuk "Hubungan Sultan, Ulama, dan Uleëbalang: Fondasi Kekuasaan Aceh dalam Perspektif Islam dan Adat"