Hubungan Samudera Pasai dan Malaka: Dari Perkawinan Raja Hingga Penyebaran Islam di Nusantara
Hubungan Kerajaan Samudera Pasai dengan Malaka
Karena perkawinan Raja Machmud yang bergelar Raja Iskandar Shah dari Malaka dengan putri Sultan Zainul Abidin ini, maka bangsa Melayu di Malaka memeluk agama Islam. Juga Sultan Samudera ini mengutus dua orang bangsawan Samudera yang bernama Malik Ibrahim dan Malik Ishak dengan gelar Syeikh Awwalul Islam ke Loren (Gresik Jawa), maka dari Gresiklah berkembangnya agama Islam ke seluruh Pulau Jawa dengan bantuan dari Sultan Demak dan Gresik.
Kemudian disusul oleh keturunan Fatahillah yang menjadi Sultan di Banten (Sultan Banten berasal dari Samudera Aceh). Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, berdirilah pula Kerajaan Jawa Islam yang bernama Mataram. Di zaman VOC, seluruh Mataram Islam dipengaruhi oleh Belanda, sehingga terpecah dan tinggallah sisa Kerajaan itu dua buah lagi yang dinamakan Solo (Surakarta) dan Yogyakarta yang disebut semasa penjajahan Belanda dengan nama Vorstenlanden.
Di zaman Sultan Aceh Raja yang bergelar Sultan Ali Riayat Shah Al-Qahhar memerintah antara tahun 1337-1368. Pada masa itulah Sultan ini menaklukkan pantai Barat Pulau Sumatra, sehingga ke Indrapura di perbatasan Bengkulu. Pada zaman ini pula dimulainya kegiatan mubaligh-mubaligh Islam Aceh menyebarkan agama Islam ke Pariaman, Ulakan, dan terus menyebar ke seluruh Alam Minangkabau (Melalui Jawa). Di zaman Sultan ini juga mengirim beberapa ulama Aceh ke Tanah Jawa dan Bugis atas undangan Raja Bone kepada Sultan Aceh itu guna menyebarkan agama Islam di Sulawesi Selatan. Salah seorang bangsawan Aceh yang menyebarkan agama Islam ke Tanah Bugis itu bernama Malik Al-Amin Mansur.
Kemudian keturunan Bugis ini kembali lagi ke Aceh dan dari keturunan ini pula diangkat menjadi Sultan Aceh kembali. Itulah keturunan Sultan-Sultan Aceh dari Keluarga Bugis Dinasti Alaiddin yang terakhir memerintah Aceh. Keturunan Sultan-sultan dari Bugis ini disebut Dinasti Alaiddin, yaitu Sultan Alaiddin Muhammad Daud Shah Djohan Berdaulat Dhilullah Fil-Alam. Sultan Aceh yang terakhir ditawan Belanda pada tahun 1903 di Uteuën Meurasa (Ië Leubë Pidië) oleh Overste Van Daalen, Colijn, dan Swart.
Pada permulaan abad ke-15, kira-kira tahun 1417, semasa Sultan Haydar Bahian Shah berkuasa di Samudera, terjadilah pemberontakan Nagur dengan pengikut-pengikutnya di Samudera terhadap kekuasaan Sultan ini. Nagur itu adalah anak bekas seorang pahlawan (Panglima) dari Sultan Samudera yang telah berjasa karena menggagalkan serangan tentara Majapahit ke Peureulak/Samudera.
Pahlawan Nagur itu adalah keturunan bangsa Moor (Maroko), karena suatu kesalahan yang dilakukannya melanggar hukum, pahlawan itu akan ditangkap. Ia lari menjauhkan diri ke Pidie dan tinggal di Panté Raja (Pidie). Di sana ia mengumpulkan orang-orang pelarian yang berbalik terhadap negara, namanya disebut-sebut sebagai kaum Sigeupoh dalam bahasa Aceh. Ia mengaku dirinya orang Pidie, ditugaskan oleh Sultan muda sebagai pahlawan penjaga Kuala.
Segala hasil daerah pelabuhan Panté Raja itu dipungutnya dan melarang pembesar-pembesar negeri Pidie itu pergi berdagang ke Samudera, tetapi harus berdagang padanya saja. Karena ia bertindak sebagai wakil Sultan Samudera di Pidie. Kemudian Pahlawan Nagur itu menghasut orang-orang Pidie di sana, supaya melawan kekuasaan Sultan Haydar Bahian Shah di Pasai. Pahlawan Nagur itu membuat provokasi pada orang-orang di Pidie mengenai kesalahan orang Samudera/Pasai yang pernah menaklukkan Pidie dahulu, kesalahan-kesalahan yang dilakukan orang Samudera yang banyak merusak harta milik rakyat Poli (Pidie).
Nagur berjanji pula kepada orang Pidie, kalau mereka membantu untuk menyerang Samudera, apabila berhasil nanti ia diangkat menjadi "Maharaja" di Samudera, Kerajaan Poli (Pidie) akan merdeka dari kekuasaan Pemerintah Samudera. Menjadi negara tetangga yang merdeka dan sahabat. Kerajaan Poli (Pidie) itu adalah kerajaan yang terdiri dari beberapa kerajaan kecil yang berserikat.
Permintaan Nagur itu didengar oleh Raja Pidie, Raja Pidie pun menyediakan kapal-kapal dan mengerahkan beberapa banyak laskar-laskar untuk Pahlawan Nagur. Setelah siap menyusun angkatan dan pimpinan yang kuat terdiri dari dua pasukan laskar orang Pidie, yaitu: pasukan laut dan pasukan darat, maka Nagur mulailah mengatur pemberontakan secara frontal terhadap Sultan Samudera ke Pasai dari dua jurusan. Satu jurusan terdiri dari angkatan darat melalui daerah Samalanga dan Peusangan. Satu jurusan lagi terdiri dari angkatan laut yang kuat dengan kapal-kapal perang yang banyak telah dikumpulkan di Kuala Kerandji Panté Raja, kemudian berangkat berlayar menyerang pantai laut Pasai.
Pahlawan Nagur sesampainya di Pasai langsung mengadakan serangan yang sengit. Dalam peperangan itu, Sultan Haydar Bahian Shah yang gagah berani itu tewas dalam pertempuran. Setelah Pahlawan Nagur mendapat kemenangan, Nagur mengangkat dirinya menjadi Maharaja Samudera dengan gelar Maharaja Nagur Shah.
Setelah itu Nagur harus menepati janjinya kepada orang-orang Pidie itu. Ia lalu memerdekakan Pidie kembali dari kekuasaan pengaruh Samudera, sebagai menghormati janjinya dahulu. Maka Pidie kembali menjadi negara yang merdeka, memerintah sendiri dengan mengadakan hubungan persahabatan dan persaudaraan dengan Kerajaan Samudera/Pasai. Setelah selesai segala upacara penobatan Maharaja Nagur Shah di Pasai, orang-orang Pidie pun kembali ke negeri mereka masing-masing. Maka tinggallah Maharaja Nagur Shah memerintah di Samudera dengan segala kebesarannya.
Namun, bekas Permaisuri (Ratu) Samudera tidak diam begitu saja, terus melanjutkan politiknya. Sri Ratu mengadakan gerakan rahasia di bawah tanah dengan pembesar-pembesar Samudera yang pro kepadanya. Sri Ratu berjanji dengan sangat rahasia kepada siapa saja yang dapat membunuh Raja Nagur, orang itu akan dinobatkan menjadi Raja dari Kerajaan Pasai dan akan dikawinkan dengan salah seorang putri keluarga Bahian Shah dari Istana Samudera, yang mana disukai boleh dipilih.
Maka seorang nelayan ikan (tukang bubu laut) dan pengikut-pengikutnya yang bernama Ahmad datang dari kampung Bakoy (Aceh Besar) berhasil membunuh Raja Nagur dalam suatu upacara keramaian di Pasai, dengan menyingkirkan rezimnya. Dengan demikian mudah saja Ahmad Bakoy membunuh Raja Nagur, karena dalam batin seluruh pembesar-pembesar Samudera telah berdiri di belakangnya sehingga tidak begitu sulit menghadapi perlawanan dari rezim Nagur itu. Setelah Nagur tewas, Ahmad Bakoy menuntut janji pada Ratu. Sri Ratu terpaksa menepati janji dengan Ahmad Bakoy. Setelah itu Ahmad Bakoy dinobatkan naik tahta Kerajaan Pasai dengan nama Raja Ahmad Permala dan biasa dipanggil orang Raja Bakoy, yang dikawinkan dengan salah seorang putri Sultan Haydar dari Samudera pilihannya sendiri. Diduga putri itu bernama Narisah.
Akan tetapi kemudian Raja Bakoy dibunuh pula oleh salah seorang dari Dinasti Bahian, yaitu oleh keponakan dari Sultan Zainul Abidin Bahian Shah, saudara dari Sultan Haydar Bahian itu yang bernama Potjut Tjinde Simpol Alam, ibunya berasal dari keturunan Raja-raja dari Lamuri (Aceh Besar) dan dibesarkan di Istana Lamuri.
Potjut Tjinde Simpol Alam ini datang ke Pasai menyamar sebagai seorang Djuara Balam. Karena Raja Bakoy sangat suka bertaruh burung balam di gelanggang dengan lawan-lawannya dari raja-raja lain yang suka datang ke situ ataupun saudagar-saudagar asing yang berada di bandar itu.
Adapun sebabnya Raja Bakoy dibunuh menurut riwayat kuno, adalah sebagai berikut: Raja ini masa pemerintahannya, pada permulaan memerintah dengan baik di bawah tuntunan Permaisurinya Narisah. Yang sebenarnya Narisah lah yang menjadi Raja (Ratu) Kerajaan Samudera, Raja Bakoy hanya sebagai lambang saja. Akan tetapi kemudian, setelah meninggal Permaisuri, pikirannya rusak (gila), memerintah dengan bengis dan zalim. Ia mengabaikan Dewan Kerajaan dan ulama-ulama.
Ia memerintah dengan keras terhadap rakyatnya, tidak boleh sembarangan orang melaksanakan adat istiadat dan kebiasaan yang ada di Samudera. Karena ada seorang pembesar yang menegurnya, maka ia dihukum berat sekali.
Sejak itulah, baik pembesar-pembesar, rakyat, dan kalangan ulama merasa terganggu dengan pemerintahan Raja Bakoy. Mereka berunding untuk menggulingkan Raja Bakoy. Begitu peluang datang, Potjut Tjinde Simpol Alam bersama pembesar-pembesar kerajaan menyusun strategi untuk menjatuhkan Raja Bakoy.
Potjut Tjinde Simpol Alam dengan pasukannya menyerbu ke Istana Samudera dan membunuh Raja Bakoy, serta mengangkat dirinya menjadi Sultan Samudera. Setelah itu, Sultan Samudera yang baru ini memberikan gelar kepada dirinya, Sultan Bahian Shah ke-III.
Dengan demikian, berakhirlah pemerintahan Dinasti Nagur di Kerajaan Samudera. Sebagai penggantinya, Sultan Bahian Shah III meneruskan kembali pemerintahan sesuai dengan tradisi kerajaan Islam yang telah diwariskan.
Posting Komentar untuk "Hubungan Samudera Pasai dan Malaka: Dari Perkawinan Raja Hingga Penyebaran Islam di Nusantara"