Hubungan Kerajaan Aceh dan Turki Utsmani: Jejak Diplomasi Islam di Asia Tenggara
Hubungan Kerajaan Aceh dengan Turki
Ada hubungan antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Turki sejak masa Sultan Ali Riayat Syah Al Qahhar, yang memerintah dari tahun 942–946 H / 1537–1568 M, dengan Sultan Salim Khan. Pada masa itu, Sultan Turki telah mengikat perjanjian persahabatan dengan Aceh dan mengirim 40 orang perwira ahli dalam bidang artileri dan kavaleri.
Selanjutnya, Sultan Mansur Syah yang memerintah pada tahun 983–993 H / 1577–1588 M juga memperbarui perjanjian lama dan saling mengirim bingkisan dengan Sultan Abdul Hamid Khan dari Turki. Hubungan tersebut kembali berlanjut pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah atau Saidil Mukammil, yang memerintah dari tahun 996–1012 H / 1588–1604 M dengan Sultan Musthafa Khan dari Turki.
Pada masa itu, Sultan Musthafa Khan mengirim tanda kehormatan kepada Sultan Aceh serta memberikan izin agar kapal perang Kerajaan Aceh boleh mengibarkan bendera Turki di tiang kapal mereka. Berdasarkan kenangan persahabatan tersebut, Sultan Iskandar Muda yang baru saja membangkitkan kemakmuran dalam wilayah kekuasaannya selalu menyimpan harapan dan perhatian untuk menjalin hubungan persahabatan dengan Turki dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya, agar Kerajaan Aceh menjadi kuat, makmur, dan maju dalam kebudayaan Islam. Namun, cita-cita tersebut tertunda menunggu waktu dan kesempatan yang baik agar sejalan dengan kemajuan dan kemakmuran negeri serta rakyatnya.
Kemakmuran Aceh serta keadilan Sultan menjadi terkenal hingga ke benua lain, sehingga bandar-bandar Aceh semakin ramai dikunjungi pedagang dari berbagai bangsa. Setiap hari puluhan kapal dari luar negeri, seperti dari Eropa: Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, Prancis, dan lainnya, serta dari benua Asia: Siam, Pegu, Burma, Tiongkok, Jepang, Manila, Persia, Arab, Turki, Bombay, Benggala, dan lain-lain, keluar masuk pelabuhan-pelabuhan Aceh untuk berdagang. Mereka membawa barang dagangan dan membeli hasil bumi untuk diperjualbelikan di negeri mereka.
Barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat Aceh (impor) dari Eropa dan Amerika, antara lain kain-kain cetak, baju kaus, tali pinggang kulit, dan lainnya. Dari tanah Arab dan Persia: kain sutra untuk kopiah, kurma, ikan kering, minyak sapi, kitab-kitab, minyak wangi, obat-obatan, manik-manik, dan permata. Dari Bombay dan Benggala: minyak sapi, kurma, rempah-rempah, obat-obatan, kain sarung, kain selendang, benang, dan lainnya. Dari Tiongkok: kain sutra Makao, tembikar, obat-obatan, gula, dan sebagainya. Dari Siam, Pegu, Burma, dan Manila: kain selimut, kain sarung sutra, dan sebagainya.
Hasil bumi Aceh (ekspor) meliputi lada hitam, pinang, sutra, gading gajah, sumbu badak, kulit lembu kering, sarang burung, damar, rotan, emas, kayu cendana, kapur barus, kemenyan, dan lainnya. Selain kapal-kapal luar negeri, ratusan perahu dan sampan dari Aceh juga menghubungkan bandar-bandar besar dengan pekan kecil di wilayah Aceh. Dalam hal ini, sungai besar dan alur air menjadi jalur utama untuk transportasi, baik dari pantai ke pantai maupun pulau ke pulau.
Suatu hari, Sultan teringat untuk mempererat hubungan Aceh dengan Sultan Turki di Rum (Turki). Sultan bermusyawarah dengan para menteri, ulama, dan hulubalang. Setelah para pemuka hadir, Sultan menyampaikan niatnya untuk mempererat persahabatan dengan Kerajaan Turki, yang saat itu merupakan kekuatan besar Islam di dunia dan yang menjaga kota suci Mekkah dan Madinah. Sultan berharap hubungan ini bisa mendatangkan bantuan dari Turki jika diperlukan, seiring dengan keberhasilan pembangunan kebun lada yang memberi hasil baik.
Seorang menteri pun berkata, "Ampun, Tuanku. Cita-cita dan maksud yang mulia ini sangat patut, meski Aceh bukan negara bawahan Turki, tetapi karena Sultan Turki menjaga tanah suci, pantaslah Tuanku bersahabat dengannya. Apalagi leluhur Tuanku telah lebih dahulu menjalin hubungan dan menerima bantuan perwira Turki."
Setelah musyawarah selesai, Sultan memerintahkan Merah Agung untuk menyiapkan tiga kapal dengan muatan bingkisan untuk Sultan Turki di Konstantinopel. Kapal pertama diisi lada, kapal kedua beras, dan kapal ketiga pinang, yang hasil penjualannya akan digunakan sebagai bekal di Bombay. Lada tersebut dipersembahkan kepada Sultan Turki, sedangkan beras sebagai bekal perjalanan. Sultan juga menugaskan Syeikh Nurdin Al Raniri untuk menulis surat dalam bahasa Arab kepada Sultan Turki, menyatakan keinginan Sultan Aceh untuk mempererat persahabatan.
Surat tersebut diberi cap kerajaan, dilipat, dan dibungkus dengan kain sutra. Untuk pemimpin utusan, Sultan memilih Khalifah Nja Dum, seorang panglima pemberani yang mahir berbahasa Arab. Ia didampingi seorang Arab dan seorang India untuk membantu komunikasi. Nja Dum berasal dari keluarga keturunan Pangwa, daerah perbatasan Meureudu. Ia berasal dari keluarga yang terkenal memiliki ilmu kebal.
Utusan ini bertugas untuk menyerahkan ketiga kapal beserta isinya kepada Sultan Turki di benua Rum.
Posting Komentar untuk "Hubungan Kerajaan Aceh dan Turki Utsmani: Jejak Diplomasi Islam di Asia Tenggara"