Adat dan Syara': Harmoni dalam Tata Negara Kesultanan Aceh

 Hubungan Antara Agama  dan Adat


"Adat Bersendi Syara', Syara' Bersendi Adat"

https://kutahistori.blogspot.com/

Agama dan adat, atau syara' dan adat, memiliki hubungan erat, yakni syara' bersendi adat dan adat bersendi syara'. Jika adat kuat, agama pun kuat. Agama bersumber dari Al-Qur'an (Al-Kitab), sedangkan adat berasal dari undang-undang dan tradisi negeri yang disusun oleh raja atau sultan dengan kesepakatan para pembesar negeri.

Setiap negeri atau kerajaan memiliki adat dan lembaga masing-masing, meskipun berbeda-beda. Namun, adat berfungsi sebagai pedang kerajaan dan benteng masyarakat. Dalam catatan sejarah, adat Aceh sebagian besar bersumber dari hukum (syara'). Syara' dapat meniadakan atau menggantikan adat, hal ini umum terjadi dalam pengelolaan tata negara.

Pengangkatan sultan harus melalui kesepakatan antara hukum dan adat. Oleh karena itu, ketika seorang sultan naik tahta, ia berdiri di atas batu tabal. Seorang ulama memegang Al-Qur'an di sisi kanan, sementara perdana menteri memegang pedang di sisi kiri. Kesimpulannya, sultan bertugas menguasai dan melindungi hukum dan adat serta memikul tanggung jawab atas keduanya.

Menurut syara', pangkat sultan dan para pembesarnya seperti ulama, menteri, uleëbalang, dan lainnya, tidak diwariskan secara turun-temurun. Namun, menurut adat, pangkat tersebut diwariskan. Di Turki, gelar sultan diwariskan kepada saudara, di Minangkabau kepada kemenakan, sedangkan di Aceh kepada anak, sesuai syarat tertentu.

Adat Aceh sebelum Sultan Iskandar Muda belum tersusun dengan rapi (plakplieuëng). Pada masa Sultan Alaaddin Riayat Syah Al-Qahhar, yang menjalankan hukum dan adat adalah panglima kaum. Namun, pada masa Sultan Iskandar Muda, adat tersebut disusun, diperbarui, dan ditetapkan setelah melalui pertimbangan Dewan Kerajaan (Kabinet) yang melibatkan ulama dan ahli adat seperti menteri, uleëbalang, dan orang kaya.

Adat yang tersusun itu dikenal sebagai Adat Meukuta Alam (A.M.A.), yang menjadi landasan tata negara. Tiap kampung mendirikan meunasah (madrasah) sebagai tempat belajar dan beribadah. Kampung dipimpin oleh seorang keuchik, yang dibantu oleh ketua meunasah, wakil, serta para penasehat. Keuchik sering disebut "ayah," sementara ketua meunasah disebut "ibu."

Seiring pertumbuhan penduduk, masjid dan mukim pun bertambah. Beberapa mukim dikelola oleh seorang panglima kaum yang diangkat oleh sultan dan diberi gelar uleëbalang, sesuai pasal 7 A.M.A. Sultan Iskandar Muda menyusun tata negara sedemikian rupa, mengutamakan hukum agama dalam pembinaan negara. Dengan iman yang kuat kepada agama, masyarakat Aceh dapat bersatu tanpa mengutamakan golongan tertentu, sehingga pengaruh suku-suku seperti Dja Sandang, Lhee Reutoih, Tok Baleë, dan Imeum Peuët perlahan memudar.

Adat Meukuta Alam yang bersumber dari hukum (syara') memungkinkan Sultan Iskandar Muda mempersatukan hati rakyat dari berbagai lapisan. Hal ini menjadikan Aceh berjaya di dalam dan luar negeri, serta mampu menaklukkan wilayah-wilayah lain hingga Aceh dikenal sebagai pusat kebudayaan Islam di Nusantara, atau "Serambi Mekkah."

Adat yang disusun oleh Sultan Iskandar Muda dijunjung tinggi oleh penggantinya, Sultan Iskandar Sani, dan diperkuat oleh Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah serta sultan-sultan selanjutnya. Pada masa Sultanah Tajul Alam, hak nikah fasakh diserahkan kepada Panglima Polim Muda Perkasa. Namun, karena protes ulama, ratu tidak boleh menjadi wali 'am.

Pada masa Sultanah Nurul Alam Nakiatuddin Syah (1673–1677), setelah adanya protes dari Panglima Sagi XXV dan XXVI mukim, hak nikah fasakh diberikan kepada kedua panglima tersebut. Adat Meukuta Alam diperkuat kembali dengan perubahan kecil, seperti penunjukan tiga Panglima Sagi: Panglima Sagi XXII, XXV, dan XXVI mukim.

Pada tahun 1137 H (1723 M), Sultan Syariful Alam memperkuat kembali Adat Meukuta Alam dengan menerbitkan sarakala (maklumat). Ini menegaskan pangkat, kehormatan, kewajiban, dan hak masing-masing Panglima Sagi dan uleëbalang di wilayahnya.

Posting Komentar untuk "Adat dan Syara': Harmoni dalam Tata Negara Kesultanan Aceh"