Adat Istiadat Tamiang: Tradisi, Sejarah, dan Pengaruh Kerajaan Siak
Di sini dijelaskan pula sedikit banyak yang diketahui tentang adat negeri Tamiang. Dulu, di Tamiang belum terdapat panggilan (sebutan) Teuku atau Tengku, karena gelar "Tengku" ini ada setelah negeri Tamiang dikuasai oleh Kerajaan Siak yang dirampas oleh kekuasaan (subversif) penjajahan Belanda pada tahun 1866. Kerajaan Siak Sri Indrapura mulai membatalkan hak Kedaulatan Aceh atas kerajaannya dan menyerahkan kedaulatan Kerajaan Siak Sri Indrapura tersebut, di bawah Kedaulatan Kerajaan Belanda. (Menurut perjanjian Siak) yang ditandatangani oleh Raja Ismail pada tahun 1857. Pada masa itu, Aceh dipimpin oleh Sultan Ibrahim Mansur Syah (1839 — 1869 M). Sejak itulah Raja Ismail mendapat gelar Sultan. Dalam perjanjian Siak itu, Kerajaan Belanda mengakui seluruh (meliputi) daerah Sumatera Timur, termasuk wilayah dari Kerajaan Siak Sri Indrapura, maka raja-raja di Sumatera Timur harus tunduk di bawah kekuasaan Siak (bertuan ke Siak). Sehingga perbatasan dengan daerah Utara Baratnya sampai ke Sungai Tamiang sebelah Timur, maka Kerajaan kecil di Tamiang dipaksakan oleh politik subversif Belanda untuk masuk ke dalam Kerajaan Siak, yaitu: Kerajaan Tamiang Hilir dan Kerajaan Tamiang Hulu. Karena Belanda tahu saat itu suasana di Aceh Besar dalam kemelut, sebab perebutan kekuasaan. Tetapi rakyat dan raja-raja itu mulanya tidak mengakuinya. Sehingga datanglah tentara Kerajaan Siak beserta kapal perang Belanda dari Bengkalis menyerang Kerajaan Tamiang Hilir dan Bandahara. Maka, karena serangan itu terpaksa mengakui Kerajaan Siak berkuasa atas sebagian daerah Tamiang tersebut. Karena takut bertentangan dengan kekuasaan Aceh, Raja Bandahara yang bergelar Tuanku Raja Bandahara Poljut Muhammad Ali, yang telah meneken perjanjian dengan Siak dan Belanda, mengakui Pertuanan Siak dan Belanda atas daerahnya, tetapi tidak berani tinggal di Tamiang karena selalu diserang oleh tentara Sultan Aceh, akhirnya melarikan diri ke Melaka. Beberapa lama kemudian, setelah tahun 1893, barulah Raja ini kembali ke Seruai (Tamiang), karena Tamiang telah dirampas dan diduduki oleh kekuasaan Belanda seluruhnya. Tetapi Raja Tamiang Hulu yang bergelar Tuanku KeuAjruën Muda Raja Po Njak Tjut serta orang-orang yang tidak suka kepada kekuasaan Belanda dan tetap setia kepada Sultan Aceh, melarikan diri ke Keureutoë dan tidak mau mengikat perjanjian dengan Siak dan Belanda, hanya tetap mengakui kekuasaan dan kedaulatan Aceh atas kerajaannya. Setelah Tamiang seluruhnya dapat dirampas oleh Belanda tahun 1895, maka Tamiang dimasukkan dalam status pemerintahan Sumatera Timur di bawah kekuasaan seorang Resident yang berkedudukan di Bengkalis. Baru pada tahun 1908, status pemerintahan Tamiang dikembalikan ke bawah pemerintahan Gouvernement Aceh dan daerah taklukannya di bawah perintah seorang Gubernur yang berkedudukan di Kutaradja. Jadi kira-kira 15 tahun Tamiang menjadi wilayah daerah Sumatera Timur.
Sebutan dan Panggilan Kehormatan
Tradisi yang terdapat di Tamiang sejak dahulu kala mengenai perkataan kehormatan (adat) "Kerajaan", yaitu seperti: "Patik", pengganti kata 'aku' kalau berbicara dengan raja dan orang-orang bangsawan. "Perhamba", pengganti kata "aku" kalau berbicara dengan pembesar-pembesar. Dan perkataan: "Daulat-Kebawahduli", "Potuan-kami", "Tuanku", "Raja", "Srimahamulia", "Puti", "Potjut", "Tjut", "Tan", "Tu", ini semuanya panggilan terhadap Raja dan Keluarganya menurut martabat dari keturunannya masing-masing yang berhak dipanggil dengan gelar panggilan tersebut. Perkataan: "Orangkaja" (bagi lelaki) dan "Adja" (bagi wanita) adalah panggilan kepada anak Datuk 4 Suku yang umumnya turun temurun. Perkataan: "Wan" (bagi lelaki dan wanita) panggilan pada keturunan dari sebelah ibunya kaum bangsawan, dan jika di Aceh: "Tjut" terhadap lelaki dan wanitanya.
Perkataan: "Datuk" (bagi lelaki) dan "Datin" (bagi wanita), "Pangeran" (bagi lelaki) dan "Permaisuri" (bagi wanita), "Banta" (bagi lelaki) dan "Meurah" (bagi lelaki dan wanita) panggilan dari keturunan anak Raja yang ajahnya ada memerintah saja. Terdapat pula perbedaan dari martabat turunan darah, misalnya di Kerajaan Tamiang Hulu terdapat sebutan 'Raja Po', tanda anak Raja itu, ibunya gahara dan "Raja" saja menandakan ibunya bukan gahara. Di Kerajaan Karang sebutan 'Raja Tan', ibunya gahara dan "Raja" ibunya bukan gahara. Di Kerajaan Bandahara dan Tamiang Hilir terdapat "Potjut Raja", ibunya gahara dan "Kalau Potjul" saja ibunya bukan gahara, dan di Sungai Iju terdapat "Raja Banta" ibunya gahara dan kalau "Raja" saja ibunya bukan gahara (lelaki) dan "Potjut" (wanita) ibunya gahara dan "Tjut" ibunya bukan gahara (bagi wanita).
Di Tamiang Hulu dan Karang: "Poluan" (bagi wanita) ibunya gahara dan "Tjut" ibunya bukan gahara. Di Tamiang Hilir dan Bandahara: "Potjut" (bagi wanita) kepada anak gahara dan bukan gahara. Jadi, sebelum peristiwa (peralihan) tersebut di atas, maka menurut adat-istiadat Tamiang asli panggilan kepada seorang Raja yang memerintah negeri disebut Sridiraja ataupun dengan kata lain "Tuanku" dan kepada keturunannya pada pihak lelaki dipanggil 'Raja', misalnya: 'Hendak kemana Raja' dan sebagainya. Kepada seorang isteri Raja (Permaisuri) biasanya dipanggil "Potuan", misalnya: "Dari mana Potuan" dan kepada keturunan-keturunan Raja yang dari pihak wanita kalau anak dari ibu gahara dipanggil "Puti". Misalnya: 'Hendak kemana Puti' dan kalau dari ibunya keluarga orang Besar, maka dipanggil "Tan", misalnya: "Hendak kemana Tan" dan kalau ibunya dari keluarga orang kebanyakan, maka dipanggil "Tjut", misalnya: "Hendak kemana Tjut".
Begitulah, setelah negeri Tamiang masuk ke status Sumatera Timur, masuklah pengaruh adat-istiadat Sumatera Timur ke negeri Tamiang, karena itu, titel secara adat-istiadat Tamiang asli itu berganti (bercampur baur) dengan kebiasaan panggilan titel Melayu di Sumatera Timur dengan panggilan "Tengku" terhadap lelaki dan wanita, selanjutnya, tidak ada perbedaan dari keturunan ibunya lagi, walaupun bangsawan ataupun bukan bangsawan ibunya, semuanya serupa memakai titel "Tengku" terhadap lelaki dan wanitanya.
Dan di masa penjajahan Belanda, di Tamiang titel (panggilan) Sridiraja ataupun Tuanku terhadap Raja yang memerintah negeri juga hilang sendiri, diganti dengan titel yang biasa saja, dengan sebutan "Sri Peduka Tengku".
Dari sini pula diuraikan tentang tradisi kebiasaan di Tamiang, di situ tidak lazim kepada Kepala Pemerintahan (Raja) disebut (dipanggil) "Uleëbalang", sebagai di daerah Aceh, tetapi terus menerus dengan sebutan yang dikenal di bagian Aceh lainnya, Raja-raja kecil tersebut setengahnya disebut dengan kata "Uleëbalang" dan kepada Sultan Aceh Raja disebut kebiasaannya "Raja Aceh", maksudnya Sultan Aceh Raja (Maharaja atau Kaiser).
Sekarang mulai kita ceritakan perihal tata Pemerintahan Tamiang di masa zaman kekuasaan Raja-raja Tamiang asli: Raja itu menyerupai sebuah lambang Kerajaan, yang hanya mempunyai kekuasaan "Mengesahkan putusan ataupun membatalkan putusan (veto) yang diputuskan oleh Dewan Majelis Negeri Balai-Balai Empat Suku (Majelis Adat dan Hukum Agama). Vetonya ialah harus ditimbang dengan seadil-adilnya baru disahkan." Jadi, ternyata tiap-tiap putusan bukanlah dengan sekehendak Raja, tetapi wajib menurut saluran Hukum dan Adat.
Tiap-tiap pengangkatan Raja, wajib Raja itu dimusyawarahkan oleh Dewan Empat Suku. Jadi, oleh pengadilan yang mempunyai hak mutlak dalam hal ini terletak di Dewan Empat Suku, Adat seperti di Tamiang Hilir sudah termasuk dalam pelaksanaannya dengan kuasa memerintah yang lebih besar dan lebih terpenting untuk dipahami.
Posting Komentar untuk "Adat Istiadat Tamiang: Tradisi, Sejarah, dan Pengaruh Kerajaan Siak"