Asal Usul Bangsa Aceh dan Perkembangannya

Bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yang mencakup berbagai suku seperti Mante (atau Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senoi, dan lainnya yang berasal dari wilayah Perak dan Pahang di Semenanjung Malaka. Menurut etnologi, suku-suku ini memiliki hubungan dengan bangsa Fenisia di Babilonia dan bangsa Dravida di lembah Sungai Indus dan Gangga. Bahkan, ada kemungkinan bahwa orang Batak/Karo memiliki hubungan erat dengan bangsa ini, sebagaimana suku Gayo dan Alas. Namun, hingga kini, keterkaitan ini masih belum sepenuhnya dipastikan oleh para ahli.

Salah satu penjelasan lain mengenai suku Mante, terutama yang tinggal di Aceh Besar, datang dari cerita-cerita rakyat. Menurut cerita orang-orang tua (mitos), tempat tinggal mereka berada di Kampung Seumileuk, juga dikenal sebagai Kampung Rumoh Dua Blaih (Rumah Dua Belai), yang terletak di Seulimeum, antara Kampung Jantho dan Tangse. Seumileuk berarti dataran yang luas. Dari suku Mante inilah kemudian berkembang ke seluruh lembah Aceh Besar yang disebut dengan Aceh Tiga Segi, dan berpindah ke berbagai wilayah lainnya.

Pada masa itu, wilayah Aceh Besar (Aceh Tiga Segi) sebagian besarnya adalah lautan, termasuk wilayah pantai Indrapuri dan Lanoh Abe (sekarang berupa pasir halus), tempat kediaman orang Hindu. Daerah seperti Biang Bintang, Ulee Kareng, Lam Baro, Lam Ateuk, Lam Nyong, Tungkop, Lam Nga, dan Tibang masih berupa lautan. Menurut mitos, pelabuhan untuk naik haji terletak di Aneuk Glé, dan di Muntasik terdapat sumur tempat pelaut-pelaut mengambil air sebelum melanjutkan perjalanan. Kampung Muntasik dulu berada di tepi laut, sementara Kampung Ateuk berasal dari kata 'Gateuek,' yaitu jenis kepiting tanah yang hidup di air asin.

Pasar besar yang disebut Kuta Masah, terletak di atas Indrapuri. Hingga saat ini, orang-orang tua di sekitar Indrapuri masih bisa menunjukkan lokasi bekas Kuta Masah. Berdasarkan keterangan ini, kita dapat meyakini bahwa Kuta Masah masih ada pada awal abad Islam, dan bahwa hingga abad ke-8 Masehi, pantai atau tepi laut Aceh Besar masih mencapai wilayah Indrapuri dan Tanoh Abe di kaki Bukit Barisan (Aneuk Glé). Lautan ini membentuk teluk yang indah pemandangannya.

Hal ini juga dapat dikaitkan dengan kunjungan Raja Harsha, yang disebut dalam bab kedua tentang asal-usul nama negeri Aceh, untuk mencari adiknya ke Aceh. Cerita ini dapat dihubungkan dengan mitos Hindu yang merencanakan pembangunan candi di Indrapuri dan Indrapatra sekitar tahun 700 Masehi.

Menurut mitos lainnya, suku Gayo berasal dari orang-orang yang melarikan diri ke pegunungan dari Aceh Timur dan Utara, karena menolak memeluk Islam. Ketika Kerajaan Peureulak diserang oleh Sriwijaya pada tahun 670 M hingga 1271 M, orang-orang yang disebut Gayo Seumamah dan Gayo Serbaja menetap di sekitar Simpang Krueng Peunarun (Aceh Timur) dan di Takengon, yang berasal dari suku Pasai dan Peusangan. Kemudian, para pengungsi dari pesisir Aceh Utara juga melarikan diri ke hulu Sungai Peusangan (Laut Tawar) atau Takengon karena takut dibawa oleh Raja Aceh ke Malaya untuk berperang.

Dalam kitab Bustanus Salatin tertulis dalam aksara Arab mengenai orang Gayo yang lari ke hulu Sungai Peusangan karena menolak memeluk Islam. Kata ‘Kajo’ yang berarti takut, lambat laun berubah menjadi ‘Gayo.’ Hal ini juga berlaku bagi suku Alas dan Karo, yang juga melarikan diri ke pegunungan untuk menghindari berbagai ancaman, termasuk serangan ekspansi Kerajaan Sriwijaya, Siam, dan Majapahit, atau bahkan perang saudara antara kerajaan-kerajaan kecil di sekitar pesisir.

Tata cara hidup bangsa Aceh yang dahulu sering mengembara, masih belum sepenuhnya dapat dijelaskan secara mendetail.

Posting Komentar untuk "Asal Usul Bangsa Aceh dan Perkembangannya"