Aceh Pra Sejarah : Asal Moyang Orang Aceh Berasal | Apakah Benar Dari Suku Mante
Aceh terletak dibagian paling utara pulau Sumatara dan paling barat bagi kepulauan Nusantara. Berikut berpuluh-puluh pulau basar dan kecil yang mendampinginya, wilayah itu kini daerah istimewa propinsi tingkat I Negara Republik Indonesia.
Diperhatikan dari peta yang antara lain seperti digambarkan oleh sarjana Van Heekeren dalam bukunya yang turut memperhitungkan pernah terjadinya kekeringan laut dan selat pemisah Sumatera, Jawa dan Kalimantan dengan tanah besar Asia dimasa Gunung Es dalam zaman-zaman purbakala, maka terlihat letak Aceh ketika itu merupakan tanjung yang didampingi oleh taluk lebar sampai kemuara sungai Irriwadhy, Birma. Dibagian lain, lebih ketimur Aceh, terlihat kawasan yang memungkinkan dapat dilakukan perpindahan secara barjalan darat bagi makhluk purba yang belum mencapai kemampuan mengarungi laut. Sebegitu jauh hanya di Jawa telah dijumpai fosil-fosil manusia kera atau kera sebagai manusia berjalan dengan dua kaki (pithecanthropus erectus) yang diperkirakan hidup antara 300.000 sampai 500.000 tahun dahulu, mirip dengan manusia kera yang pernah ditemui di Peking ataupun makhluk purba sebagai itu di Eropah. Dengan demikian perpindahan dari atau kesana tidak mustahil.
Babak terakhir abad Gunung Es barlangsung dimasa 40.000 Tahun sebalum Isa. Setelah Sumatera, Jawa dan Kalimantan terpisah dari tanah besar Asia, maka disekitar masa 10.000 tahun sebelum Isa tampillah di Indonesia jenis manusia awal yang sempurna (Homo Sapiens), Sisanya barupa tengkorak (fosil) dijumpai di Wajak, dakat pantai salatan Jawa Tengah.
Dengan memperhatikan perkembangan kemampuan manusia awal tersebut menempuh kehidupan yang barangsur-angsur dari keprimitipannya sampai keberbagai kesanggupan sedarhana dalam zaman-zaman keturunannya, maka dapatlah diperbuat pambagian zaman yang ditempuh oleh manusia purbakala itu dengan tiga zaman batu Yakni zaman batu tua (palaeolitikum), zaman batu pertengahan (mesolitikum) dan zaman batu muda (neolitikum). Adalah diluar kemampuan penulis ini untuk memperkatakan parkembangan abad-abad kebudayaan batu tersebut, Disini sekedar dimaksud hendak melihat selintas mula panyartaan Aceh sejak zaman batu bersandar bahan-bahan yang ditemukan.
Sebegitu jauh yang dapat dijadikan pagangan mengenai panyartaan daerah ini dari zaman prasejarah hanya dapat dimulai dari zaman batu partengahan (mesolitikum).
Dr.H.Kupper mencatat adanya dijumpai batu-batu bergosok sebelah pada empat tempat ekskavasi (penggalian) di Aceh: tiga dibagian Aceh Utara, yaitu di Krueng geukueh di Bukit Pangoi tidak jauh dari jalan karate api, dan di Kandang, yang satu lagi terdapat di Acah Timur yaitu diantara Kuta Binjai dangan Alua Merah.
Semula batu bargosok sebelah tarsebut mandapat nama Sumatra-Lith (kapak-Sumatra), namun nyatanya perkakas sebagai itu bukanlah spesifik Sumatera tapi dikanal diberbagai tempat dikawasan lain tarutama didaratan Asia. Dari pada adanya pangenalan tersebut.
justru memudahkan orang untuk meneliti asal muasal kedatangan penghuni sesuatu kawasan atau daerah, penemuan artefak (parkakas) dibagian Indo Cina, diantaranya di Bacson (utara Tonkin) dan di Hoa Binh (tanggara Hanoi) membawa orang untuk memperhitungkan bahwa kawasan tersebut merupakan tempat asal pendukung kebudayaan zaman batu pertangahan (mesolitikum) yang berkelana bagian keselatannya (Muang Thai, Semenanjung Melayu dan berbagai tempat dikepulauan Indonesia, termasuk Aceh), Juga dengan adanya ditemui bukit kerang (sisa makanan) dan beberapa
bekas parkakas yang tertimbun kedalamnya disepanjang pantai sejak dari Medan ke Aceh Timur, meneguhkan perhitungan sebagai itu, Dan bersandar alat perkakas yang dijumpai di Bacson dan Hoa Binh diatas, penghuni zaman dimaksud digolongkan menjadi pendukung kebudayaan Bacsano-Hoabinhian, mengambil nama tampat ditemuinya petunjuk dimaksud.
Mereka ditandai olah warna kulit menghitam, rambut agak keriting, hidung pesek dan berbadan sedikit pendek.
Penghuni-penghuni yang pada zaman kemudian manjauh diri kehutan, seperti yang diketahui di Sri Langka, dikenal dangan orang Vedda berciri-ciri sebagai itu adalah keturunan arang-orang yang mendukung kebudayaan
Bacsono-Hoabinhian tersebut, Pendukung kebudayaan yang sama dikenal di Malaysia dengan arang-orang Senoi dan Yakun, di Indonesia dangan orang Sakai, Kubu, Mentawai, Enggano dan orang Toala di Sulawesi.
Didekat Melbourne Australia ditemukan tengkorak yang dibari nama tengkorak Keilor, menurut nama lokasi penemuan benda itu. Dari penyelidikan ahli tarnyata ia nenak moyang penghuni Australia asli yang kini memencil. Inipun tergolong janis pendukung kebudayaan dimaksud diatas, sebagaimana halnya dengan orang orang Melanesia yang diam memencil diberbagai kepulauan lautan Teduh, Kemungkinan sakali Mesolitikum (zaman batu partengahan) maupun zaman batu awal (Palaeolitikum) di Jawa Tangah dikenal dengan orang Wajak itu, berkelana ka Australia dikepulauan lautan Teduh ini, baik sabelum maupun satelah tibanya pendatang baru.
Demikian semua dari pendukung kabudayaan dimaksud diatas yang kemudian keturunannya bersebar dikepulauan Indonesia, Australia dan Melanesia, diseragamkan kejenis Veddoid (menurut nama orang Vedda di Srilanka) dan jenis Australia Malanesoid, Sebagai diketahui di Aceh ada dikenal suatu golangan primitif yang memencil dipadalaman Sagi XXII atau ditempat lain diperkenalkan dangan nama orang Mante. Nama yang mirip dangan Mante ini dikenal di Malaysia dengan
sebutan Mantra, hidup memencil dihulu Malaka. Dr. Roland Braddell dalam studinya memasukkan orang Mantra ini kegolongan orang Yakun. Jika ini tepat ada kemungkinan bahwa yang disabut orang Mante (atau sebutlah Mantra) dipadalaman Aceh itu, yang sisa-sisanya pun sudah tidak atau susah dijumpai kini adalah katurunan panghuni zaman purbakala yang sisa-sisa parkakasnya telah ditemui di Aceh Utara dan Timor itu, Tagasnya tergolong Veddoid atau Australia-Melanesoid. Namun penegasan belum diperoleh.
Kahadiran zaman batu muda (neolitikum) menggantikan zaman batu pertengahan di Asia Tenggara diparkirakan terawal disekitar 2500 tahun atau paling lambat disakitar 1000 tahun sebelum Isa. Zaman ini ditandai dengan munculnya jenis bangsa yang disebut Proto-Melayu atau Melayu Tua. Inilah golongan orang-orang Malayu terdahulu dan masih berdarah murni, Kadatangan mereka berakibat tersingkirnya golongan janis bangsa Australo Melanesiaoid atau Veddoid yang labih dulu menempati kawasan ini. Golongan Melayu Tua ini membawa serta kemampuan yang lebih maju dari tardahulu, walau masih dengan bahan perkakas seroa batu, Mareka sudah tahu berumah, bercocok tanam, memancing, dan memelihara ternak. Mereka sudah mampu membuat pariuk dari tanah, menunjukkan juga bahwa mareka telah membutuhkan makanan yang dimasak. Mereka berkulit sawo matang seperti orang Mongol. Meraka ditandai dengan bahasanya, yang menurut sarjana kini dikategorikan kegolongan rumpun besar bahasa Austro-Asia.
Sekitar 300 tahun manjelang Isa muncul pula golongan yang disabut Deutero-Malayu atau Malayu Muda, yang tempat asal kedatangannya sama dengan golongan pertama, Proto-Melayu, atau Melayu Tua, Melayu Muda (Deuteuro Melayu) itu ditandai oleh kecerdasan yang sudah dimilikinya terutama dalam pangetahuan menukangi alat-alat dari bahan logam (tembaga maupun besi), Salah Batu penemuan yang cukup berkesan adalah barupa ganderang tembaga (kattledrums) yang dipergunaKan untuk sesuatu upacara. Dengan kemampuan itu Asia Tenggara memasuki zaman kebudayaan tembaga atau lebih diidentitaskan kapada nama kebudayaan Dong Son, mangambil nama dasa di Indo Cina di tempat gendarang tersebut ditamukan.
Sarjana bahasa H.Kern tokoh yang dikenal sebagai pelopor yang mempelajari bahasa-bahasa Austro-Asia, memastikan bahwa dipelajari dari sagi bahasa adapun sumber kebudayaan orang-orang Melayu itu adalah di Campa, Kocin Cina dan Kamboja. Dangan kata lain, asal muasal orang-orang Melayu adalah dari Indo Cina.
Demikian tadinya dangan golongan pandatang Melayu Tua, begitulah pula para panyusulnya Melayu Muda, setelah yang tarsebut duluan berkambang sekitar 1500 dan 2500 tahun lalu, Ketika yang balakangan ini muncul pula ke Indonesia golongan Malayu Tua menyingkir kapadalaman ataupun bagian terkecil berbaur dengan mereka, baik karena keinginan barsama maupun karena diperlukan, Golongan Malayu Tua itu kini dikenal berketurunan orang Batak, orang Nias, orang Gayo dan Alas, orang Taraja dan Iain-lain. Bahkan diantara
katurunan penghuni Malayu Tua yang dizaman dulu pernah mencapai kepulauan Pilipina, ada yang disebut sama dan berciri-ciri orang Batak. Dalam penyelidikan balakangan dikatahui adanya penduduk asli di Aceh Besar berketurunan atau mirip dengan orang Batak.
Mengenai beradanya golongan katurunan Batak di Aceh Besar itu sedikit banyak dapat diperkirakan bahwa merekalah golongan Melayu Tua yang tidak begitu jauh menyingkir kepedalaman ketika golongan Melayu Muda menjalang permulaan abad Masehi tampil ke Aceh dan menduduki pantai-pantai. Karena mereka sama saja dangan orang-orang Batak dari jenis Melayu Tua yang datang dari tanah besar Asia itu, dan karena mereka menyingkir kepedalaman, tetaplah mereka dalam kemurniannya, sehingga orang-orang yang menyaksikannya kemudian melihatnya mirip sekali dangan orang Batak yang sudah berada dipedalaman Tapanuli itu. Begitupun suatu perhitungan lain tentu turut diambil perhatian, yakni bahwa penghuni yang dianggap tarasing itu memang datang dari tanah Batak tidak lama setelah pemerintahan Islam di Aceh meluaskan pengembangannya keluar daerah itu, Dalam pemerintahan Sultan Alaiddin Al-Kahar (1537-1571 M.), hal mana dibalakang akan diungkapkan lagi telah diatur sistem pembagian suku dalam meidentitaskan peranan kegotongroyongan masing-masing dan demi bakti mereka kepada penguasa, Untuk golongan suku Batak ditandai dengan
nama suku Lee Retoh (Tiga Ratus), Van Langen mencatat bahwa tempat asli mareka di Lampagar atau Lambaid (VI Mukim), Dalam masa Sultan tersebut diketahui terjadinya ikhtiar pengembangan wilayah dan/atau Islam sampai ketanah Batak. Mungkin sebagai akibat dibawa ke Aceh manjadi tawanan perang yang akhirnya dibebaskan,maupun karena kedatangan Raja Batak dan pasukannya, dalam menyelesaikan partikaian dan akhirnya menghasilkan perdamaian sebagai diceritakan oleh Mendes Pinto pada hemat penulis tidak mustahil telah membuat tarjadinya pemindahan golongan suku tersebut kesana.
Bagaimanapun, sudahlah dapat kiranya diyakinkan bahwa golongan pendatang Melayu Tua itu tidak pindah sendiri-sendiri dari tanah asalnya, tapi baramai-ramai, terutama dalam kesempatan sebagai itu mereka dapat mamanfaatkan semangat kegotong-royongan yang telah menjadi ciri-ciri mereka dari semula lahir itu. Maka jika terlihat dimasa balakangan ini ada tardapat Bersamaan antara golongan suku-suku yang diam berjauhan, (ada yang berdiam di Tapanuli ada di Aceh dan di Pilipina), justru itulah jelas petunjuk bahwa mereka seasal, sama-sama Melayu Tua, yang datangnya dari sumber sama, dari daratan Semenanjung Asia Tenggara, Pada golongan Melayu Tua ini lebih banyak dijumpai keaslian kebudayaan yang dipunyai keturunannya dewasa ini dan itulah juga yang meneguhkan kayakinan bahwa Tingkat kebudayaan Indonesia dimasa lampau yang jauh itu sudah lebih dulu mengisi paradaban bangsa ini lama sebelum pendatang India atau asing lainnya tampil, Itulah
Pula dalil utama yang sekaligus membantah bahwa Indonesia baru beradab setalah diisi olah kabudayaan pendatang Hindu.
Saperti dicatat diatas tergolong Melayu Tua di Aceh, adalah orang Gayo dan Alas, Menarik perhatian memperkatakan panggolongan ini, bila dibaca apa yang pernah diungkapkan oleh "Hikayat Raja Raja Pasai". Disitu dikatakan antara lain sebagai berikut:
"Adapun diceritakan oleh yang empunya cerita ada suatu kaum orang dalam negeri itu tiada ia mau masuk agama Islam maka ia lari kehulu sungai Peusangan maka karena itulah dinamai orang dalam negeri itu Gayo, hingga datang pada sekarang ini".
Peristiwa yang diceritakan diatas ini menyangkut dengan pengembangan Islam oleh Sulthan Maliku's-Saleh yang menjadi raja di Pasai menjalang akhir abad ke 13, Ungkapan tersebut tentulah bukan ditulis begitu saja tanpa sipenulis mengetahui atau setidak-tidaknya pernah mendengar, bahwa suku Gayo dan Alas yang diceritakan diatas tadi tergolong konservatif dalam cara hidupnya, Sehingga mereka tidak menghendaki pembaharuan, Namun, apabila dilihat dari kemungkinan bahwa golongan suku Melayu Tua (dalam mana termasuk orang Gayo dan Alas tersebut) sudah sejak mula masuknya pendatang baru golongan Melayu Muda itu sudah pergi menyingkir kepedalaman, sebelum Islam hadir maka masa yang dapat diperkirakan barlangsungnya adalah paling lambat dipermulaan abad 1 Masehi, Kalau demikian halnya bukanlah
tidak terdapat kemungkinan bahwa cerita sipenulis bersumber dari bahan Cerita mulut kemulut yang sudah berkembang dalam masa sebelum Maliku's-Saleh, Jika ini tepat nilai dari cerita Hikayat Raja-Raja Pasai hanya dapat diterima sebagian yaitu khusus mengenai ketidak adaan kesediaan golongan Melayu Tua zaman dulu itu untuk berbaur dengan pendatang-pendatang yang telah berhasil dapat merebut tempat kediaman dipantai.
Suatu penalitian yang dapat mandekatkan tarcapainya maksud dalam mengetahui asal usul/panduduk moyang Aceh yang sejak berpuluh abad sebelum Masehi sudah diketahui berdiam diwilayah ini, tentu tidak dapat terlepas lagi dari perhitungan tentang orang-orang Mante diatas tadi, yang telah diidentitaskan sebagai golongan yang sama dengan orang Semang, Yakun, Toala dan sebagainya, yaitu dari zaman kebudayaan Bacson Hoa-Binhian, perhitungan tentang beradanya orang-orang Melayu Tua sesudahnya. Sebetulnya masih balum jelas bahwa orang Mante itulah yang dimaksud dengan golongan yang hidup dizaman Batu Pertengahan, namun karana adanya petunjuk berupa perkakas seperti yang dijumpai di Acah Utara itu, tidaklah Semata-mata mustahil bahwa marekalah katurunan pendukung kebudayaan zaman batu pertangahan tarsebut di Aceh, Dan mengenai keturunan Gayo dan Alas itu pada hemat penulis tepatlah mareka digolongkan kepada kelompok Melayu Tua.
Terkesan dari apa yang sudah diutarakan diatas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa penduduk Aceh yang berasal pendatang Melayu Muda (Deutero Melayu) memanglah juga katurunan dari panghuni asal di Indo Cina, khususnya dari Campa ataupun Khmer (Kamboja). Keturunan merekalah yang kemudian disebut manempati wilayah pantai-pantai disekeliling Aceh dan golongan Melayu Muda inilah yang aktif barkontak dengan orang-orang asing, baik karena didatangi maupun karena mendatangi.
Pada tahun 1819 G.K, Niemann menulis berkanaan dengan hasil penyelidikannya bahwa ada ratusan kata-kata Cham (Campa) yang terdapat dalam bahasa Aceh, lalu ia manyimpulkan bahwa moyang orang Aceh asalnya dari Campa. G.D. Blagden yang dalam hubungan itu meneliti pula bahasa Aceh dan dengan memperhatikan kamus kata-kata Aceh yang pernah disusun olah Van Langen (bekas pamongpraja Belanda didaerah tsb) dimana didapatinya banyak kata-kata Khmer (Kamboja) telah mengambil kesimpulan yang sama, bahwa Moyang orang Aceh dahulu berasal dari tanah Semenanjung Indo Cina itu. Dan katanya: "orang Aceh dahulu kala
mungkinlah golongan akhir dari pemindah-pemindah Indonesia yang meninggalkan Indo Cina dan mengambil tempat diwilayah dimana mereka kini berdiam. Bahasa mereka dan bahasa orang Campa menunjukkan tanda adanya pangaruh Mon Khmer Kamboja), halmana misalnya terkasan dari petunjuk penekanan suara dipatah kata terakhir dan tidak adanya patah kata akhiran saperti yang biasanya terdapat dalam bentuk kata-kata Indonesia umumnya".
Seperti dapat dipahami dari uraian diatas, baik Niemann maupun Blagden memandang asal moyang orang Acah adalah dari daratan Indo Cina. Tentang ini jadinya tidak perlu disangsikan lagi, bahkan mamperteguh apa yang telah diungkap lebih dulu bahwa penghuni purbakala orang Aceh sebagai juga moyang orang Indonesia lainnya adalah orang-orang Melayu Tua dan yang kemudian disusul olah golongan Melayu Muda. Bahwa banyaknya kata-kata Cam dan Khmer dapatlah pula diperhitungkan sekedar sebagai akibat kedatangan mereka ketempatnya yang sakarang lebih akhir daripada saudara-saudaranya tardahulu.
Roland Braddell dalam studinya yang dicatat dibagian lalu menunjuk bahwa golongan Malayu Tua (ia menyebut: Indonesian) kini diseluruh Indo Cina masih di jumpai berdiam dalam jumlah tidak kurang 600.000 jiwa, mereka menempati gunung-gunung, D,G,E, Hall pun menekankan bahwa unsur inti penduduk tanah besar IndoCina dawasa ini adalah tetap terdiri dari orang Indonesia, ("the basic elemant of tha population of the Indo-Chinese mainland today remains Indonesian").
Telah disinggung dibagian lalu, golongan Melayu Tua datang disekitar 2500-1500 tahun sebelum Masehi, disusul oleh golongan Melayu Muda yang muncul disekitar 300 tahun sebelum Isa, Seperti dikatakan jika Melayu Tua sebagai akibat kedatangan Melayu Muda mangungsi dan mengambil tempat kediaman jauh kepedalaman, golongan Melayu Muda tersebar dan menguasai paranannya dibagian pesisir.
Selagi golongan Melayu Tua masih memiliki taraf kebudayaan yang sederhana, maka golongan pendatang melayu Muda tiba dengan kelengkapan kebudayaannya yang dapat dikatakan sudah tinggi pada zaman itu. Hal ini diperteguh oleh fakta tentang berbagai kemampuan mereka terutama dalam sektor pertanian dan perternakan, seperti bersawah, membuat irigasi dan memelihara hewan, Tidak ketinggalan dalam bidang pertukangan seperti mendirikan rumah dan membuat parahu. Demikian juga dalam berbagai karajinan seperti bertenun, dan kecerdasan dibidang kesenian (musik, seni suara dan perwayangan). Sejak kedatangan mereka keaktifan kontak dengan dunia luas terlihat nyata.
Dalam bidang pelayaran melintasi lautan mereka telah memiliki kecakapan tinggi, mereka dapat mengendalikan perahu mengarungi lautan luas dan mempergunakan kompas dari pengetahuan perbintangan. Mereka juga sudah menganut aliran kepercayaan yang oleh kaum agama disebut dangan istilah pemeluk animisme.
Sebagai keadaan dibagian daerah lain baik di Indo Cina tanah asal sendiri, maupun dikawasan yang didatangi oleh perantau Melayu Tua dan Malayu Muda ini, demikian di Aceh mareka tidak lagi hidup berpindah-pindah sebagai yang terjadi dizaman batu, bahkan dalam hidup menetap dan berkeluarga/berumah tangga mareka marasakan perlunya saling bantu atau bergotong royong, Dan itulah pula yang mamudahkan mereka membangun sesuatu kehidupan berkelompok, selanjutnya dalam kerukunan bertetangga itu membangun bersama desa (kampung) atau gampong seperti yang terdapat juga di Aceh Sepanjang abad mulai ketumbuhannya, Lebih unik lagi tercermin sistem demokrasi yang mareka realisir dalam mengukuhkan kegotong royongan itu.
Sejauh mana pula antar gampong saling butuh satu dengan lain dan saling isi mengisi dengan kebutuhan tsb, dan bagaimana lanjutan Seterusnya sasuatu himpunan gampong-gampong dapat membina suatu kasatuan masyarakat yang labih besar, tersusun, berwibawa dan megah, dangan suka duka dan pasang surut naiknya, itulah yang diharapkan dapat dicerminkan pada uraian salanjutnya dalam buku sederhana ini. Bagaimanapun, tidak semudah itu saja dipastikan bahwa sesuatu desa atau gampong yang bergotong royong telah menumbuhkan kelompok keluarga lebih besar lagi, dari gampong kemukim dan dari mukim kasagi dan seterusnya manjadi unit karajaan, hanya karena kegotong royongan belaka. Sebab-sabab lain tentu ada, terutama desakan perekonomian dimana suatu pimpinan masyarakat memerlukan jaminan atas kelancaran perdagangan luar yang dibutuhkannya.
Posting Komentar untuk "Aceh Pra Sejarah : Asal Moyang Orang Aceh Berasal | Apakah Benar Dari Suku Mante"